Pemerintah kembali mewaspadai ancaman ganda kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga pandemi Covid-19. Kewaspadaan itu terutama saat puncak musim kemarau pada rentang waktu Agustus hingga Oktober 2021. Keadaan ini lagi-lagi menjadi tantangan pemerintah untuk memusatkan perhatiannya.
Setelah geger wabah virus corona di Wuhan, Tiongkok pada penghujung 2019, tak lama hitungan bulan kepanikan melanda Indonesia. Sejak Maret 2020, pemerintah mengetahui, bahwa sudah ada orang yang terinfeksi virus corona di Indonesia. Seketika perhatian terpusat untuk menangkal pandemi, termasuk langkah lanjutan ihwal urusan ekonomi. Ketika tiba musim kemarau, para pemerhati lingkungan mulai khawatir jika terjadi karhutla. Pemerintah diingatkan mengenai risiko beban ganda (double burden), yakni bencana asap akibat karhutla dan pandemi.
Pada 2020 kebakaran memang tak sama luasnya dibandingkan tahun 2019. Berdasarkan data Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diketahui terjadi penurunan sekitar 81 persen area terbakar pada 2020. Adapun area karhutla sebesar 1,6 juta hektare pada 2019. Data pun menunjukkan area kebakaran 296 ribu hektare pada 2020.
Berdasarkan Pantau Gambut, area gambut yang terbakar menurun 97 persen. Data memerinci, yaitu 769.938 hektare pada 2019. Angka tersebut merosot jumlahnya menjadi 16.356 hektare pada 2020.
Luas area kebakaran lebih kecil karena fenomena La Nina (fase dingin) pada 2020. Fenomena itu menyebabkan curah hujan kian tinggi, walaupun saat musim kemarau. Sedangkan pada 2019 keadaannya berbeda, karena El Nino (fase hangat) yang menyebabkan musim kemarau lebih panjang, sehingga curah hujan menurun.
Pemerintah mengklaim penurunan intensitas kebakaran, karena upaya kolaborasi dengan berbagai pihak. Pada awal 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin rapat koordinasi tingkat nasional. Agenda rapat membahas penanganan ancaman karhutla. Setelah rapat itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama kepolisian mengeluarkan maklumat. Isi maklumat itu adalah imbauan kepada seluruh penanggung jawab usaha atau kegiatan di bidang sumber daya alam sub-sektor kehutanan, pertanian, dan perkebunan. Mereka wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian karhutla.
Tapi, seluruh upaya mengantisipasi kebakaran dahsyat seketika buyar karena pandemi pada Maret 2020. Upaya memusatkan alokasi anggaran dan sumber daya manusia dialihkan untuk penanganan Covid-19. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui adanya pemusatan ulang (refocusing) anggaran pengendalian kebakaran untuk penanganan Covid-19. Namun demikian, mereka membantah, bahwa kegiatan pengendalian merosot. Mereka beralasan, kegiatan tetap berlangsung dengan bantuan pendanaan yang bukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (non-APBN).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menjelaskan, bahwa penanganan kebakaran tetap prioritas di tengah pandemi. Pengawasan tetap dilakukan oleh satuan tugas (tim satgas karhutla) dan supervisi di wilayah rawan terbakar. Siti Nurbaya pun sudah menyurati kepala daerah pada awal Maret 2020. Ia meminta semua pihak termasuk swasta dan pemangku kawasan untuk mewaspadai bencana kebakaran.
Mengingat urgensi penanganan karhutla, Jokowi kembali mengadakan rapat terbatas terkait penanganan pada 23 Juni 2020. Jokowi menekankan empat poin, yaitu kegiatan pemantauan lapangan (monitoring), pencegahan, penegakan hukum, dan pengelolaan lanskap.
Ancaman karhutla 2021
Pada 2021, Jokowi melakukan langkah lanjutan memberikan arahan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Istana Negara, Senin, 22 Februari 2021. Rapat itu bagai pernyataan rutin tahunan, karena tak ada yang berbeda dari arahan tersebut seperti tahun sebelumnya. Poin penyampaian arahan, yaitu prioritas kegiatan pencegahan, pemantauan hingga tingkat tapak, restorasi gambut, dan penegakan hukum. Jokowi mengadakan rapat ketika momentum kebakaran sudah terjadi pada awal tahun 2021 di Riau, Kalimantan Tengah, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat.
Berdasarkan data yang dikeluarkan SiPongi –sistem pemantauan karhutla– Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah sebaran titik panas (hot spot) di seluruh jenis lahan yaitu gambut dan mineral memang rendah tahun ini. Data tersebut jika dibandingkan kurun waktu yang sama pada Januari hingga Juli 2020. Namun perlu diwaspadai, karena tahun ini jumlah titik panas yang terdeteksi signifikan meningkat pada Juli.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan seluruh pihak terkait untuk mengantisipasi karhutla sampai Oktober 2021. Walaupun, curah hujan masih terdeteksi pada pertengahan musim kemarau.
Tahun ini memang titik panas berkurang dibandingkan 2020. Tetapi, hasil analisis Pantau Gambut menemukan hal lain yang spesifik. Sebaran titik panas di lahan gambut ternyata makin luas pada kurun waktu Januari hingga Juli 2021, dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Analisis titik panas merujuk sensor Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) yang berfokus di area gambut (confidence level 100 persen).
Kebakaran lahan gambut yang sulit dipadamkan pasti menimbulkan kerugian besar. Peningkatan jumlah titik panas, khususnya di area gambut sudah semestinya menjadi peringatan. Pemerintah harus menentukan langkah tepat dan cepat untuk mencegah kebakaran.
Tantangan penanganan karhutla semasa pandemi Covid-19
Jika melihat hasil analisis terhadap titik panas dan riwayat kebakaran pada awal 2021, terjadi kenaikan memasuki puncak musim kemarau. Pemerintah harus waspada juga memperkuat kegiatan penanganan karhutla agar tidak terjadi bencana asap.
Kalau dibandingkan 2020, potensi ancaman beban ganda tahun ini akan lebih parah mengingat pandemi Covid-19. Seharusnya upaya tidak hanya pengulangan. Tapi, penting adanya pengembangan karena tantangan yang dihadapi semakin meningkat ketika menghadapi bencana asap semasa pandemi.
Pemerintah berupaya mencegah kebakaran melalui berbagai kegiatan kolaborasi. Adapun di antaranya pemantauan titik api secara terpadu dan mandiri, yakni satuan tugas melakukan sosialisasi terkait karhutla kepada warga. Peningkatan peran Masyarakat Peduli Api (MPA) sangat penting sebagai paralegal kelompok masyarakat yang berkesadaran hukum
Kegiatan itu masih mungkin terkendala, karena pembatasan aktivitas interaksi warga. Sebab, pemerintah mengimbau untuk memutus penularan Covid-19 varian delta yang lebih berbahaya jika dibandingkan virus corona pada awal pandemi 2020. Adapun delta (B.1.617.2) cepat menular dibandingkan varian lainnya, tepatnya 55 persen jika dibandingkan alpha. Studi dari lembaga kesehatan di Skotlandia menyatakan, orang yang terinfeksi virus corona varian delta memiliki dua kali lipat risiko untuk dirawat di rumah sakit. Risiko makin meningkat terhadap orang yang terinfeksi dalam kondisi komorbid
Demi mencegah dampak buruk varian delta dan karhutla, pemerintah perlu meningkatkan efektivitas kegiatan penanganan, salah satunya dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Teknologi ini pernah digunakan di Riau, yang fase pertamanya dilakukan pada 10 Maret hingga 5 April 2021. Hasilnya, curah hujan meningkat sekitar 34 persen sampai 64 persen. Penambahan curah hujan di lokasi penyemaian awan sekitar 194,3 juta meter kubik. Pada fase kedua, persentase meningkatkan curah hujan sebesar dua persen di Riau pada Juli 2021.
Metode TMC lebih efektif jika masih ada awan yang berpotensi disemai menjadi hujan. Hal itu lebih efektif dilakukan saat musim hujan, pancaroba, dan awal musim kemarau. Pada kurun waktu tersebut, teknologi modifikasi cuaca dilakukan untuk membasahi gambut, mengisi kanal, serta embung untuk tim pemadam di darat. Namun demikian, saat ini fakta yang ditemukan, yakni terjadi penurunan curah hujan di sejumlah provinsi rawan kebakaran. Bahkan, sejumlah provinsi mengalami kebakaran area yang lebih luas daripada tahun 2020. Fakta tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah TMC akan menjadi strategi yang efektif?
Kendala pengelolaan lanskap
Restorasi merupakan salah satu kegiatan pengelolaan lanskap untuk memperbaiki ekosistem gambut. Di Indonesia, instansi negara yang berwenang untuk kegiatan tersebut, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Wilayah yang diamati meliputi area kerja masyarakat (non-konsesi) dan wilayah yang berizin (konsesi).
Tiap tahun, masing-masing instansi melaporkan keberhasilan restorasi berbasis luas (hektare) dalam periode tertentu. Restorasi area non-konsesi kerap diuraikan dalam bentuk cerita atau dokumentasi lapangan.
Tapi, kegiatan restorasi gambut di area kerja berizin belum sepenuhnya transparan. Publik tidak mengetahui sejauh mana perkembangan kegiatan restorasi yang dilakukan di kawasan tersebut. Hasil investigasi Pantau Gambut di 1.222 titik sampel dari 43 konsesi di tujuh provinsi menemukan hasil yang miris, karena masih di bawah 10 persen perusahaan yang melaksanakan restorasi.
Kegiatan pemulihan yang belum menyeluruh itu menimbulkan keraguan terhadap komitmen pemerintah mengelola lanskap, khususnya terkait perlindungan ekosistem gambut. Padahal, pengelolaan lanskap merupakan salah satu kegiatan pencegahan yang efektif dan efisien untuk mencegah karhutla.
Ironi di balik restorasi
Demi penyediaan pangan semasa pandemi, Jokowi meluncurkan program food estate yang termasuk Proyek Strategis Nasional. Lumbung pangan skala besar ini mengingatkan lagi kegagalan proyek pemerintah rezim terdahulu, yaitu Mega Rice Project pada 1996 era kekuasaan Soeharto. Pada 2010, ada juga proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate semasa kepemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Proyek food estate rezim Jokowi ini sudah direncanakan pada 2020. Semula proyek itu menyasar Kalimantan Tengah, provinsi yang memiliki lahan gambut. Selanjutnya, ambisi proyek lumbung pangan itu juga menyasar Jambi, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Papua.
Pemerintah menjamin pelaksanaan proyek telah melalui berbagai analisis untuk mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Tapi, proyek food estate justru menimbulkan kecenderungan merusak, terutama kawasan lindung ekosistem gambut akibat aktivitas pengeringan. Kegiatan pertanian di lahan gambut hanya mungkin dilakukan di area yang dangkal. Maka, penting memperhatikan beberapa hal, yaitu penggunaan pupuk alami, kebasahan gambut terjaga, dan pemilihan jenis padi yang bisa tumbuh di lahan basah. Pertanian di area gambut berpotensi menyebabkan degradasi akibat kegiatan pengeringan. Jika pertanian skala besar itu dipaksakan berlanjut akan menyebabkan gambut kering, sehingga rentan terbakar.
Hasil analisis Pantau Gambut dalam dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk wilayah Kalimantan Tengah, Jambi, Sumatera Utara menunjukkan, rencana area food estate berada di beberapa Taman Nasional, antara lain Sebangau, Berbak, Kerinci, dan Gunung Leuser.
Area rencana food estate juga berada di lahan gambut yang memiliki karakteristik berbeda dengan tanah mineral. Lahan gambut sangat mudah rusak jika pengelolaannya tidak dilakukan sangat hati-hati dan mematuhi kaidah. Maka, apapun rencana pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan atau pertanian harus dipertimbangkan.
Bengkak Anggaran Tersebab Asap
Seandainya karhutla terjadi saat puncak kemarau tahun ini, biaya yang diperlukan untuk penanganannya pasti akan membengkak. Padahal, kegiatan pemadaman di darat maupun udara tidak sepenuhnya efektif untuk melenyapkan api di wilayah gambut.
Jika terjadi kebakaran, maka pemerintah di provinsi yang rawan akan kewalahan menghadapi dua bencana besar itu. Pemerintah harus menyadari, bencana asap dan Covid-19 makin membebani ekonomi dan kesehatan masyarakat. Kebijakan yang diambil harus nyata efektivitasnya, sehingga tak mengulang kegagalan juga menambah masalah di lahan gambut.