Kembali

Aturan Baru Tentang Pembangunan HTI Berpotensi Melemahkan Perlindungan Ekosistem Gambut

Siti Nurbaya
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Kategori : Restorasi Gambut
Mendukung Komitmen Payung

Sumber:

PermenLHK No 62 Pembangunan HTI

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru saja menerbitkan kembali Peraturan Menteri tentang pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) No. P.62/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019. Peraturan ini merupakan pengganti dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/2/2017 yang sudah dicabut karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan penyelenggaraan HTI. 

Penyusunan aturan ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas hutan, memenuhi kesinambungan bahan baku industri hasil hutan, diversifikasi produk hasil hutan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat setempat. Analisa areal IUPHHK-HTI dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi produksi dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan dan sosial. Lebih rinci, hasil identifikasi dan analisis areal kerja IUPHHK-HTI bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai:

  1. areal bekas tebangan yang masih berhutan yang dipertahankan untuk kawasan lindung;  
  2. areal bekas tebangan yang masih berhutan dan tidak dapat dihindari untuk diusahakan;   
  3. areal tidak berhutan/tidak produktif yang dapat diusahakan;  
  4. areal hutan alam yang memiliki karakterisitik sumberdaya hutan yang dapat diusahakan dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) dan selain THPB;  
  5. perubahan fungsi kawasan hutan dan informasi lainnya yang berkaitan dengan keadaan areal kerja. 

Terdapat beberapa poin utama tentang pengelolaan ekosistem gambut untuk IUPHHK HTI yang menarik perhatian pada peraturan ini: 

  1. Areal puncak kubah gambut spesifik masuk dalam areal identifikasi IUPHHK-HTI
    Dalam peraturan ini menyebutkan bahwa kawasan hutan bergambut berupa areal puncak kubah gambut atau areal dengan ketebalan gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa masuk dalam Kriteria 2 pada identifikasi areal IUPHHK-HTI. Peraturan Menteri sebelumnya belum menyatakan secara detail mengenai identifikasi areal IUPHHK-HTI yaitu: Fungsi Ekosistem Gambut dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu PP 57 tahun 2016. Narasi ini mengadopsi  peraturan terbaru yang diluncurkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang kubah gambut P.10/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019. 
  2. Perubahan klasifikasi penetapan tata ruang areal kerja IUPHHK HTI 
    Pada PermenLHK baru ini disebutkan bahwa areal kerja IUPHHK HTI meliputi areal budidaya dan kawasan lindung. Pada peraturan sebelumnya yaitu P.17/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/2/2017 dijabarkan mengenai tata ruang areal kerja IUPHHK HTI yaitu:
    • Areal tanaman pokok:  diarahkan pada bentang areal kerja untuk memproduksi hasil hutan kayu sebagai produk utama
    • Areal tanaman kehidupan: diarahkan pada areal yang interaksi/ketergantungan masyarakatnya tinggi dan/atau areal rawan konflik dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat melalui pola kemitraan
    • Kawasan Perlindungan Setempat dan kawasan lindung lainnya:  diarahkan pada areal berupa kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, sekitar waduk/danau, sekitar mata air, sekitar pantai berhutan bakau, dan habitat satwa dilindungi.
    • Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut: diarahkan pada areal gambut yang memenuhi kriteria fungsi lindung yang ditetapkan dalam peta fungsi Ekosistem Gambut 
  3. Pembangunan sarana dan prasarana HTI dalam kawasan lindung
    Dalam permenLHK ini dijelaskan bahwa pembangunan dan/atau pengembangan sarana dan prasarana dapat dilakukan di kawasan budidaya dan kawasan lindung tanpa ada kejelasan jenis infrastruktur pendukung di masing-masing kawasan. Padahal, dalam peraturan ini disebutkan bahwa salah satu arahan penetapan kawasan lindung adalah kawasan lindung untuk pembukaan lahan dan aktivitas lainnya terkait pembangunan sarana dan prasarana yang berpotensi merusak kawasan tersebut.
  4. Pemanfaatan kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan puncak kubah gambut  
    Terdapat kalimat yang saling menegasikan pada Permen ini. Pada peraturan disebutkan bahwa kawasan lindung diarahkan pada areal puncak kubah gambut dan pemanfaatan kawasan lindung hanya terbatas pada beberapa kegiatan dengan tidak melampaui kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut seperti: penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan jasa lingkungan. Namun, amar bertentangan tentang FLEG disebutkan juga dalam instrumen hukum ini. Pada ketentuan peralihan dijelaskan bahwa FLEG yang berada di luar areal Puncak Kubah Gambut dapat dikelola dan dialokasikan sebagai areal tanaman budidaya. Lebih lanjut, apabila telah terdapat tanaman pada areal puncak kubah gambut, dapat dipanen 1 (satu) daur untuk kemudian dilakukan pemulihan.  

    Pada peraturan pembangunan HTI sebelumnya, upaya perlindungan ekosistem gambut masih lebih kuat. Pada peraturan tersebut dikatakan bahwa hasil overlay peta RKU dengan peta kawasan gambut yang menunjukkan FLEG dan kubah gambut serta belum ditanami wajib dipertahankan sebagai kawasan lindung
  5. Hilangnya mekanisme Land Swap untuk perusahaan yang areal kerjanya terdapat di kawasan FLEG 
    Pada kuartal tiga tahun 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor. P.40/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017, tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri dalam rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Peraturan Menteri ini dikeluarkan sebagai upaya penyelesaian permasalahan pada areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada IUPHHK-HTI dan sebagai upaya tata kelola ekosistem gambut dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa pemegang IUPHHK-HTI yang minimal 40% dari areal kerjanya ditetapkan sebagai FLEG dapat mengajukan areal lahan usaha pengganti (land swap) di kawasan hutan produksi yang berupa tanah mineral.  Lebih lanjut, areal lahan usaha pengganti (land swap) yang diajukan wajib dialokasikan seluas 40% untuk usaha kelola masyarakat, dan 60% untuk usaha kelola pemegang IUPHHK-HTI. Hilangnya penjabaran mekanisme land swap pada aturan dasar pembangunan HTI menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan pemerintah terhadap perlindungan ekosistem gambut. Padahal, melalui siaran pers nya pada Juli 2017, KLHK sudah serius berkomitmen melindungi ekosistem gambut dan telah mengalokasikan area land swap seluas kurang lebih 902.210 Ha. 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.