Asap Hilang, Trauma Membayang
Oleh ZamzamiPemikiran tersebut terjadi barangkali karena pemerintah lebih senang mengomersialkan setiap jangkah negeri kita ketimbang belajar untuk menjalinkan interaksi antara masyarakat dengan tanahnya. Jangankan untuk memiliki lahan sendiri, mengolah lahan orang lain saja para petani ini disia-siakan. Sebuah keberkahan yang ternyata juga menggugah nafsu kapitalis para pemilik modal dan penguasa negeri.
Cara pikir terbalik pemerintah ini pun mempengaruhi bagaimana negara agraris dimaknai. Negara agraris hanya dipandang sebagai bentang daratan yang memiliki kekayaan alam berlimpah. Padahal, memaknai negara agraris yang gemah ripah loh jinawi ternyata tidak sesederhana itu.
Terdapat banyak pelacakan yang bisa dilakukan untuk mengetahui asal muasal istilah agraris. Istilah ajrah atau agras dalam bahasa Sansekerta dapat kita maknai sebagai dataran. Hampir serupa, bahasa Yunani mengenal istilah agros yang mengandung arti sebidang tanah. Yang cukup relevan untuk dikaji lebih dalam adalah istilah ager dalam bahasa Latin yang berarti teritori, distrik, domain, atau wilayah yang dimiliki suatu komunitas.
Kata ager dalam bahasa Latin memiliki padanan kata sifatnya, yaitu agrarius (dapat menjadi agrariae atau agrarium) yang mengandung makna hal-hal yang berkaitan dengan lahan (landed property) atau tanah-tanah pertanian. Dari sini dapat kita pahami bahwa istilah agraria tidak hanya bicara soal tanah, dataran, atau lahan pertanian saja. Ada dimensi yang lebih luas, yaitu kesatuan wilayah yang menjadi basis terbentuknya sebuah komunitas masyarakat.
Hal ini cukup senada dengan definisi agraria dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Meskipun tidak ada pasal yang secara eksplisit mendefinisikan istilah ’agraria’, UUPA membahas hubungan antara manusia dengan objek yang masuk dalam cakupan agraria. Objek-objek agraria tersebut diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) UUPA, yakni seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia.
Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UUPA diatur bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, dimana pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperbolehkan. Penjabaran pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa UUPA tidak hanya mengatur objek-objek agraria. Di dalamnya juga mengatur relasi sosial dan kuasa yang berada di tengah kehidupan masyarakat dan terbentuk akibat lanskap alam beserta struktur budaya atau sosial yang mengitarinya juga diatur.
Jargon ‘negara agraris’ di Indonesia ternyata berakar dari eksploitasi ekonomi di berbagai sektor agraris sejak zaman kolonial Hindia Belanda melalui politik tanam paksa. Lailatusysyukriah (2015) dalam analisisnya yang berjudul Indonesia dan Konsepsi Negara Agraris menemukan adanya doktrinisasi bahwa sektor pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem kebutuhan sehari-hari masyarakat (subsisten).
Masyarakat pada saat itu menjadi tidak terpisah dari sektor pertanian. Padahal, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang juga hidup di wilayah pesisir dan tidak menyandarkan sumber subsistensinya pada sektor pertanian. Doktrin ini akhirnya menempatkan masyarakat terjajah untuk tidak memikirkan sektor lain diluar sektor pertanian sebagai pondasi kekuatan ekonomi mereka.
Romantisasi ini terus berlanjut hingga memasuki masa kemerdekaan. Pada era Soekarno, ketergantungan pangan masyarakat terhadap beras mulai mencuat. Hal ini diperkuat ketika Indonesia mengimpor beras sebanyak 500.000 ton dari India pada 1946. Soekarno berpesan bahwa beras merupakan simbol kemakmuran. Padahal, jauh sebelum merebaknya beras padi di Indonesia, masyarakat Nusantara sudah memiliki keragaman sumber karbohidrat, seperti sorghum, beras jewawut, atau sagu.
Puncaknya adalah pada masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Pada tahun-tahun awal kepemimpinannya, Soeharto memfokuskan diri pada sektor agraria lewat kebijakan-kebijakan revolusi hijau. Sebut saja penyelenggaraan Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW), pembangunan pabrik pupuk skala besar, dan sosialisasi pestisida.
Walaupun secara profit serangkaian kebijakan ini terbukti memacu efektivitas produksi pangan, revolusi hijau juga meninggalkan banyak jejak ekologis. Banyak varietas benih lokal yang hilang akibat derasnya bibit pilihan. Beberapa jenis serangga juga punah karena penggunaan pestisida skala masif.
Di samping itu, politik beras-isasi juga semakin nampak ketika Soeharto melancarkan program swasembada beras. Program yang dipandang ’sukses’ pada 1984 menjadi dasar untuk pengembangan proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektare di Kalimantan Tengah. Proyek yang mengonversi lahan seluas 1,45 juta hektare tersebut berambisi untuk menciptakan lumbung pangan nasional berupa sawah padi di lahan gambut.
Nyatanya, program tersebut gagal. Karakteristik lahan gambut tidak cocok ditanami padi dan berujung pada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) besar akibat kerusakan lahan gambut sepanjang 1997–1998. Tidak belajar dari kegagalan PLG di masa lampau, rezim Jokowi berusaha mengulanginya lewat Program Food Estate yang juga dilakukan di area eks-PLG.
Ketidakpekaan pemerintah dalam melihat karakteristik lahan juga berdampak pada konflik sosial. Di Kalimantan Tengah, sebagian warga mengaku adanya penyerobotan lahan milik mereka secara sepihak dan tanpa ada koordinasi. Jika mereka menolak, pemerintah tidak akan memberikan bantuan seperti pupuk, pestisida ataupun akses pasar. Sumber penghidupan masyarakat pun menjadi terancam.
Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ternyata tidak lagi bisa disebut negara agraris. Penggunaan negara agraris yang selama ini menekankan pada pemanfaatan sektor pertanian, kondisinya sungguh menyedihkan. Klaim ini setidaknya berdasarkan dua alasan: kemandirian produksi pangan dan penguasaan lahan pertanian.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya lonjakan impor beras sebesar 165,27% atau sebesar 1,1 juta ton pada periode Januari–Mei 2024 jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sepanjang periode tersebut, Indonesia total mengimpor 2,2 juta ton beras dari Thailand, Vietnam, Pakistan, India, dan Kamboja untuk memenuhi 11% kebutuhan pangan domestik. Miris ketika Indonesia harus mengimpor beras sebanyak itu ketika masih menyandang label negara agraris.
Selain beras, komoditas yang juga mengalami lonjakan impor pada periode tersebut adalah gandum sebesar 35,31% dan tepung gandum sebesar 14,43%. Impor gandum utamanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi produk-produk turunan gandum dalam negeri, seperti kue kering dan mie instan.
Meroketnya angka impor komoditas pangan sejalan dengan peningkatan petani gurem atau petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare dalam enam dekade terakhir. BPS mencatat adanya 17,24 juta rumah tangga petani gurem pada 2023. Angka ini terus meningkat dari yang sebelumnya 14,25 juta rumah tangga pada 2003 dan 5,3 juta rumah tangga pada 1963.
Meningkatnya angka petani gurem ini berkaitan erat dengan menyempitnya lahan pertanian yang kini marak ditujukan bagi proyek-proyek pembangunan infrastruktur skala besar yang dibingkai sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Penguasaan lahan pertanian yang sangat kecil tidak memungkinkan para petani untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dari hasil pertanian mereka pada lahan tersebut. Mereka harus menjual hasil taninya untuk membeli kebutuhan pangan lainnya.
Fenomena ini disebut juga sebagai depeasantization. Jumlah peasant atau petani subsisten makin habis digantikan oleh korporasi-korporasi pertanian skala besar. Proses depeasantization ini sangat jelas kita lihat pada PSN Food Estate yang kini sedang digencarkan di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Papua. Para petani dipaksa untuk menanam komoditas dari luar yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri, seperti singkong dan beras padi dengan varietas yang tidak mereka konsumsi.
Belum lagi rerata usia petani yang semakin sepuh dan ditambah dengan buruknya regenerasi petani muda. Data BPS menyebutkan mayoritas usaha pertanian Tanah Air dikelola oleh petani berusia 43-58 tahun atau generasi X, yakni sebanyak 42,39% dari total petani yang terdata. Sementara petani dari generasi Z (11-26 tahun) memiliki proporsi paling sedikit, yaitu hanya 2,14%.
Perjalanan sejarah dan fenomena tadi menunjukkan kepada kita bagaimana romantisasi negara agraris selalu menjadi kemasan proyek-proyek pangan yang – bukan hanya gagal memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara utuh dan berdaulat – tetapi juga merusak lingkungan dan budaya pangan yang telah terbangun secara turun-temurun dalam masyarakat.
Memaknai ulang negara agraris dapat tercermin dari kedaulatan rakyatnya dalam mendapatkan akses pangan dan kekayaan alamnya. Agraris bukan lagi jargon sempit yang hanya berporos pada produktivitas sektor pertanian dan peningkatan hasil panen. Sebuah negara agraris sudah semestinya juga berbicara perihal hubungan masyarakat dengan tanah, air, udara, dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya. Ini lah gambaran ideal negara agraris.
Menjadi negara agraris berarti menjamin bahwa tidak boleh ada satupun pihak yang menguasai lahan secara berlebihan sebagaimana dicita-citakan dalam UU Pokok Agraria. Pemerintah harus bisa memastikan tidak lagi ada ketimpangan penguasaan lahan yang hari ini masih dimonopoli oleh segelintir kelompok elit dan korporasi. Lahan-lahan tersebut sudah semestinya dibagikan kepada masyarakat tak bertanah lewat kebijakan distribusi dan redistribusi tanah yang menghapuskan struktur ketimpangan tersebut.
Sebuah negara yang agraris harus memastikan bahwa seluruh rakyatnya berdaulat secara utuh atas pangan sebagai basis hubungan antara rakyat dengan kekayaan alam itu sendiri. Ini berarti juga mengakui keragaman budaya pangan, termasuk paludikultur di lahan gambut yang selama ini dipandang sebelah mata karena ’tidak produktif’.
Terakhir dan terpenting, pemaknaan ulang negara agraris mencakup pula terjaminnya kelestarian alam. Sudah semestinya dalam sebuah negara agraris tidak ada lagi proyek-proyek yang bersifat destruktif dan ekstraktif terhadap alam, termasuk ekosistem gambut, demi menjaga kedaulatan pangan untuk generasi hari ini dan generasi mendatang.
Barulah setelah kita mendobrak paradigma negara agraria yang sempit, kita bisa membangun bersama cita-cita lumbung pangan nasional yang sejati. Bukan atas nama ketahanan semata, tetapi kedaulatan dan kesejahteraan pangan untuk semua. Selamat Hari Tani Nasional.
Bertepatan dengan Hari Tani Nasional, Pantau Gambut menyelanggarakan lomba menulis artikel dengan tema "Masihkah Layak Indonesia Disebut Negara Agraris?". Setelah melalui beberapa tahap penjurian, telah terpilih 5 artikel terpilih yang bisa dibaca pada tautan di bawah ini.