Karhutla Berulang, Cerminan Buruk Perlindungan Gambut
Oleh Hairul SobriBulan Februari 2020, kebakaran lahan gambut melanda Desa Bagan Melibur, Kecamatan Merbau, Kepulauan Meranti di Provinsi Riau. Sedikitnya enam hektar areal semak belukar terbakar selama beberapa pekan. Data dari Pantau Gambut menyebutkan kebakaran gambut di desa ini terus berulang tiap tahun. Untuk mengatasi problem lingkungan tersebut pemerintah desa punya regulasi yang diharapkan mampu mengurangi kerusakan ekosistem gambut.
Data areal bekas kebakaran yang dianalisis Pantau Gambut mengungkapkan adanya kebakaran lahan gambut seluas 61,2 hektar yang terjadi pada 2019 di Desa Bagan Melibur.
Permasalahan kebakaran hutan dan lahan selalu terjadi setiap tahunnya di desa tersebut. Padahal sekitar 90% dari 4.072 hektar total luas desa adalah hamparan gambut yang kedalamannya bahkan mencapai tujuh meter, sehingga apabila terbakar akan menyebabkan emisi dan dampak kabut asap yang sangat berbahaya.
Desa Bagan Melibur memiliki luas wilayah 4072,98 hektar dengan luasan gambut seluas 3708 hektar. Terdapat tiga Kawasan yang ada di dalam Desa Bagan Melibur yaitu, Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 464,4 hektar, Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 1846,4 dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 1741 hektar.
Isnadi Esman, Kepala Desa Bagan Melibur mengatakan bahwa kondisi hamparan gambut di desanya cukup memprihatinkan. Di musim panas, seperti Februari lalu, kanal-kanal gambut di desanya kering diakibatkan sudah banyak perusahaan yang membangun kanal menyebabkan kekeringan gambut sekitarnya. Kondisi ini membuat gambut rentan terbakar,bahkan kebakaran juga terjadi dan meluas ke sebagian area konsesi kebun akasia PT RAPP.
“Yang Februari kemarin kita gak tau juga kenapa (terbakar). Tapi yang terbakar juga (terjadi) di konsesi RAPP. Kondisinya memang kering. Di kanal perusahaan itu sendiri kering, tidak berair. Jadi memang rentan terbakar,” ujarnya.
Sejak dulu hingga kebakaran Februari lalu, desa tidak punya alat pemadaman yang memadai. Bahkan satuan pemadaman juga belum terbentuk. Dari pengalaman tersebut, Isnadi yang baru saja dilantik pada Oktober 2019, kemudian membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA), pada April 2020.
“Waktu itu belum ada (MPA). Pemadaman (waktu itu) hanya dilakukan Kadus, RT, RW bersama masyarakat. Dulu pakai (mesin) Robin saja. Sekarang ada MPA. Anggaran dana desa telah dialokasikan untuk membangun tim ini. Kualitas peralatan alat pemadam seperti pompa air sudah lebih baik. Kesiapan selang pemadam juga sudah ada 800 meter panjangnya,” kata Isnadi.
Isnadi yang merupakan mantan Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) mengatakan, bahwa mengatasi kerentanan kebakaran pada gambut di wilayahnya tidak bisa dilakukan hanya dengan pemadaman saja. Karena itu, selama tiga bulan terakhir, ia bersama Badan Perwakilan Desa (BPD) menyusun peraturan tentang perlindungan gambut secara komprehensif. Program perlindungan gambut juga sudah masuk di RPJMDes 2019-2025, selama 5 tahun masa jabatan Kades.
Pada 12 November 2020, Pemerintah Desa menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 9 tahun 2020 tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Ekosistem Gambut dan Mangrove. Tujuh belas pasal di dalamnya mengatur tentang arah kebijakan pembangunan desa yang mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal termasuk lahan gambut dan mangrove tanpa membuka lahan dengan membakar.
Menurut Miswar Zainuddin, Ketua BPD Bagan Melibur, uniknya perdes ini tidak hanya memberi panduan rencana pembangunan dan peningkatan kesejahteraan satu desa saja, melainkan satu kawasan perdesaan. Ada lima yang punya komitmen sama dengan Desa Bagan Melibur terkait dengan peningkatan manfaat lahan gambut dengan tetap menjaga kelestariannya.
“Ada pertemuan di kecamatan yang difasilitasi BRG (Badan Restorasi Gambut). Ada lima desa dan satu kelurahan. Namun pertemuan kedua, kelurahan mengundurkan diri. Di pertemuan kedua itulah, kami kompak untuk mengusahakan dan optimalkan lahan gambut dan mangrove di lima desa dengan tetap menjaga kelestariannya,” kata Miswar Zainuddin, Kepala BPD Bagan Melibur.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada tantangan saat BPD dan pemerintah desa dalam melaksanakan regulasi ini. Menurut Miswar dan Isnadi, tingkat kesadaran masyarakat harus dibangun. Terutama di masa pandemi di saat banyak warga desa yang terdampak ekonominya. Mayoritas masyarakat Bagan Melibur adalah petani, nelayan dan buruh. Sejumlah perusahaan banyak melakukan pemutusan hubungan kerja.
“Selama terjadinya Covid 19 banyak pengangguran. Apalagi para pekerja itu kini mencari pekerjaan ke luar negeri. Mereka kurang yakin dengan program restorasi dan tujuan Perdes ini. Biasanya mereka dapat gaji bulanan, sementara ini, kita sama-sama menciptakan kesempatan dan sama-sama baru membangun. Pertama kali kita sosialisasi, (mereka) kurang yakin,” ujar Miswar.
Padahal banyak hal yang bisa dilakukan di desa dan program yang terkandung dalam perdes tersebut cukup menjanjikan. Di antara perwujudan perdes itu berupa program restorasi, revitalisasi dan kompensasi. Pemerintah desa juga membangun BUMDES atau Badan Usaha Milik Desa. Bersama lima desa lainnya, juga telah dibangun BUMDESMA atau Badan Usaha Milik Desa Bersama.
Isnadi mengatakan, sejumlah program peningkatan kesejahteraan berbasis pemanfaatan lahan gambut mulai dikerjakan. Di antaranya menanam pohon sagu, yang merupakan tanaman endemik, seluas 35 hektar di areal gambut rentan terbakar seperti semak belukar. Bibit sagu juga ditanam dengan menyisip pada kebun karet tua dengan luasnya 15 hektar. Selama ini petani menjual langsung sagu ke tauke dengan sistem ijon. Petani mendapatkan uang sebelum panen terjadi. Sehingga ketika panen uangnya sudah habis bahkan tidak sedikit yang berutang kepada tauke.
Selaras dengan perdes, program sagu ini akan menciptakan sumber ekonomi alternatif berbasis non lahan. Sagu akan dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti unggas dan sapi. Saat ini sedang tahap uji coba terhadap 18 sapi. Sagu ini dicampur tumbuh-tumbuhan lokal sehingga kaya vitamin dan kandungan gizi.“Kita dibantu oleh BRG yang mendatangkan tim ahli dari IPB“, ujar Isnadi.
“Kita lakukan uji coba. Riset sederhana, bagaimana hasil olahan sagu ini jadi pakan ternak. Kalau ini berhasil, kita bisa menciptakan sumber ekonomi alternatif bagi masyarakat dari berbasiskan lahan ke yang tidak berbasiskan lahan,” ujar Isnadi.
Pengembangan bisnis ternak ini juga akan diperkuat dengan pembenahan kelembagaan bisnis tani. Secara administrasi usaha peternakan ini akan dilengkapi sehingga bisa mendapatkan bantuan pendanaan. Menyambut ini, pemerintah desa sudah membangun BUMDES dan BUMDESMA untuk lima desa.
“Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam mengolah gambut terutama lahan terlantar, semak belukar dan mangrove untuk peningkatan sumberdaya ekonomi. Di kawasan mangrove, selain untuk antisipasi abrasi yang cukup tinggi, akan ada penanaman mangrove dan pembibitan ikan,” katanya.
Sejauh ini, baik Isnadi maupun Miswar sangat yakin, program-program ini akan bisa mengurangi aktivitas ekonomi yang selama ini hanya bersumber pada kebutuhan lahan dan beralih ke sumber pendapatan non lahan. Apalagi dukungan dari pemerintah cukup kuat.
“Kita tidak ingin kebakaran gambut ganas pada tahun 2011, 2012 dan 2015 lalu di Bagan Melibur kembali terjadi. Program-program yang selama ini dari kabupaten ke desa, kini desa yang usulkan ke kabupaten. Tanggapan sejauh ini cukup bagus. Ini yang memang sangat diharapkan oleh pemerintah kabupaten, terutama dalam mengendalikan kebakaran gambut di kabupaten dan provinsi Riau,” ujar Miswar.
Romes Irawan Putra, Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau mengatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah Desa Bagan Melibur dan masyarakatnya melalui peraturan desa bisa disebut sebagai terobosan positif dari akar rumput. Covid-19 telah memukul sumber mata pencaharian rakyat. Dengan program produksi pakan ternak jika dilakukan secara serius serta dukungan berbagai pihak bisa menciptakan sumber ekonomi alternatif.
“Tekanan terhadap gambut akan berkurang. Lebih jauh lagi regulasi desa dan kesadaran penuh semua masyarakat bisa mengikat semua pihak yang beraktifitas di wilayah desa termasuk perusahaan HTI. Sebab kerusakan hamparan gambut di desa juga merupakan dampak dari ekspansi perusahaan HTI di wilayah itu yang telah menggali kanal dan membuat gambut kering,” terangnya.
Ia menambahkan, inisiatif ini harusnya dilihat pemerintah provinsi yang saat ini tengah mencanangkan Riau Hijau, dimana restorasi menjadi syarat mutlak program unggulan Gubernur Riau Syamsuar. “Jadi restorasi gambut sebenarnya tidak hanya pembangunan infrastruktur pembasahan, tapi juga penting untuk menyadarkan pemdes, masyarakatnya agar restorasi gambut berdaya guna bagi ekosistem dan ekonomi. Ini bisa diduplikasi di desa-desa rentan kebakaran lainnya di Riau,” tambah Romes.