Kenapa karhutla berulang di lokasi restorasi gambut di Pulau Tebing Tinggi, Riau?
Oleh ZamzamiAncaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di tahun 2022 diprediksi akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2021 lalu. BMKG menjelaskan alasannya karena musim kemarau yang lebih kering pada sebagian besar wilayah Indonesia. Meskipun tidak terjadi fenomena pemanasan suhu muka laut (El Nino) pada tahun 2022, persiapan dan kewaspadaan menghadapi musim kemarau harus diperhatikan dan ditingkatkan. Terutama di lahan bergambut yang akan sangat sulit untuk dipadamkan apabila terjadi kebakaran.
Menyikapi segala potensi karhutla yang ada, Pantau Gambut mempublikasikan sebuah kajian tentang kerentanan kebakaran hutan dan lahan di empat provinsi (Jambi, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah) melalui Media Briefing yang diselenggarakan secara daring. Acara dibuka oleh Koordinator Nasional Pantau Gambut−Iola Abas. Iola mengatakan, latar belakang Pantau Gambut membuat kajian kerentanan karhutla adalah untuk mengingatkan kembali akan penegakkan hukum terhadap korporasi pelaku pembakaran dan perusak lahan gambut harus benar-benar ditegakkan dengan serius untuk mencegah terus terjadinya karhutla di area-area rentan.
Selain analisa citra satelit area rentan karhutla yang disampaikan oleh Diani Nafitri selaku perwakilan Pantau Gambut, juga mengundang empat organisasi simpul jaringan Pantau Gambut yang melakukan investigasi terkait karhutla di daerah masing-masing, diantaranya: 1) Kaliptra Andalas yang diwakili oleh Teuku Ibrahim; 2) Perkumpulan Hijau Jambi yang diwakili Angga Septia; 3) WALHI Kalimantan Barat yang diwakili Nikodemus Ale; dan 4) WALHI Kalimantan Tengah yang diwakili Bayu Herinata. Adapun beberapa poin paparan dari masing-masing narasumber:
Diani Nafitri, GIS Analyst Pantau Gambut mengatakan: ”Angka 64% adalah luas keseluruhan lahan gambut yang terbakar di luar kawasan konsesi yang tersebar sebagian besar di 8 provinsi yang memiliki wilayah gambut. Namun untuk beberapa provinsi seperti Jambi, Riau, Kalteng sebagian besar karhutla yang terjadi diatas lahan gambut, terjadi di dalam kawasan konsesi. Area konsesi tetap harus menjadi prioritas pengawasan. Terutama dari hasil pantauan lapangan terlihat bahwa kegiatan pemanfaatan gambut lindung untuk area industri ekstraktif dan area bekas terbakar yang belum direstorasi justru ditanami kembali dengan jenis tanaman sawit maupun akasia. Pada kawasan radius 1 km yang terdeteksi terjadi karhutla, hasil verifikasi melalui citra satelit menunjukkan penampakan lahan bekas terbakar pada radius 1 km tersebut mengalami perubahan membentuk pola area perkebunan yang terstruktur dan rapi. Perubahan pola ini mengindikasikan adanya aktivitas yang sengaja dilakukan untuk perluasan area perkebunan.”
Tengku Ibrahim, Plt. Direktur Kaliptra Andalas mengatakan: “Peraturan desa (perdes) penting untuk diimplementasikan di tingkat desa, karena bukan hanya perusahaaan saja yang harus disadarkan terkait dengan karhutla, tetapi juga masyarakatnya untuk tidak membakar lahan. Tree Cover Lost (TCL) juga harus mendapatkan penanganan prioritas penanganan karena kebanyakan sumber api berasal dari area TCL.”
Angga Septia, Deputi Direktur Perkumpulan Hijau Jambi mengatakan: “Wujud ketidakseriusan pemerintah dalam menangani karhutla dapat dilihat dari hanya dilakukannya antisipasi tanpa adanya proses mitigasi, sehingga karhutla terus berulang. Penanganan karhutla juga terkesan lambat karena adanya saling lempar kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan karhutla.”
Nikodemus Ale, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat mengatakan: “Pemegang hak konsesi tidak pernah memberikan laporan kepada dinas terkait dalam melakukan kegiatan pemulihan/restorasi karena lemahnya pengawasan dari dinas terkait. Bahkan, dari tahun 2015 sampai 2018, tidak ada satupun kebakaran yang terjadi area konsesi yang dijangkau oleh hukum. Untuk penegakan hukum karhutla yang ada di kawasan konsesi di Kalimantan Barat, jauh panggang dari api. Padahal, kalau peladang langsung masuk hukum”.
Bayu Herinata, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah mengatakan: “Karhutla muncul dari pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dan tidak melihat aspek lingkungan. Sehingga, aktivitas yang berkontribusi terhadap degradasi lingkungan banyak dilakukan, seperti pembuatan kanal. Penegakan hukum harus bisa lebih menyasar kepada entitas yang lebih besar dan tidak hanya pada kelompok masyarakat yang lebih kecil.”
Pelajari kajian "Waspada Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2022" pada tautan berikut.