Abai Gambut di Restorasi, Ancaman Karhutla Muncul Kembali
Oleh AdminBMKG juga memperingatkan bahwa ancaman karhutla di tahun 2022ini akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2021 lalu dikarenakan musim kemarau yang lebih kering pada sebagian besar wilayah Indonesia dibandingkan tahun 2021 lalu. Meskipun menurut BMKG tidak terjadi fenomena pemanasan suhu muka laut (El Nino) pada tahun 2022, persiapan menghadapi musim kemarau harus tetap diperhatikan dan kewaspadaan terhadap bencana asap selama musim kemarau harus terus ditingkatkan terutama di lahan bergambut yang akan sangat sulit untuk dipadamkan apabila terjadi kebakaran. Oleh sebab itu, pemerintah dan berbagai pihak terkait termasuk masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan dan juga persiapan dalam menghadapi ancaman karhutla.
Melihat data historis kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dalam periode 5 tahun (2015-2019)1, kebakaran paling besar terjadi pada tahun 2015 dan tahun 2019 yang membakar sekitar 2,6 juta dan 1,6 juta hektare hutan dan lahan yang ada di Indonesia. Dua kebakaran hebat yang terjadi di periode tahun tersebut juga didukung oleh kondisimusim kemarau berkepanjangan dan El Nino yang terjadi di Indonesia. Dari dua kebakaran hebat tersebut, sekitar 29% nya terjadi di lahan gambut.
Meskipun luas kebakaran yang terjadi di area gambut lebih sedikit dibandingkan dengan area non gambut, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di area bergambut ini patut menjadi perhatian lebih. Pasalnya, gambut memiliki simpanan karbon dalam jumlah yang sangat besar. Apabila gambut dikeringkan, yang menyebabkan gambut terdegradasi, maka dapat mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton CO2 setiap tahun. Angka tersebut setara dengan membakar lebih dari enam ribu galon bensin. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa 83,4% ekosistem gambut di Indonesia rusak dan perlu dipulihkan.
Apabila pengeringan gambut dilanjutkan dengan pembersihan lahan menggunakan api, emisi yang dikeluarkan dari proses pembakaran gambut akan jauh lebih besar lagi dan dapat menyebabkan percepatan pemanasan global. Berdasarkan data emisi yang dikeluarkan oleh KLHK, sektor kehutanan menjadi sektor penyumbang emisi terbesar di tahun 2015 dan 2019. Total emisi yang dikeluarkan dari sektor kehutanan pada tahun 2015 nilainya mencapai 1,5 juta Gg CO2 dan di tahun 2019 sebesar 923 ribu Gg CO2 yang mana nilai tersebut juga disumbang dari kebakaran hutan dan lahan gambut.
Kebakaran gambut juga sangat sulit untuk dipadamkan, bahkan sampai berbulan-bulan. Api yang menjalar di lapisan dalam gambut yang berisi banyak bahan organik yang telah kering seperti daun, cabang, batang pohon, menjadi bahan bakar efektif yang membuat api tetap membara di bawah permukaan gambut meskipun kebakaransudah tidak terlihatdi permukaan.
Untuk melihat wilayah gambutyang rentanterbakar, Pantau Gambut melakukan analisis historis kebakaran berdasarkan tutupan lahan yang ada di lahan gambut. Hasil analisis dari data pada periode tahun 2015-2019, belukar rawa menjadi area dengan tutupan lahan yang paling sering mengalami kebakaran. Tutupan lahan belukar rawa telah terbakar sekitar 574 ribu hektare selama periode tersebut. Tanah terbuka, perkebunan dan pertanian juga merupakan jenis tutupan lahan yang rawan mengalami kebakaran di periode 5 tahun tersebut dengan angka luasan lahan terbakar lebih dari 100 ribu hektare.
Dari 4 tutupan lahan yang rentan terbakar, didapat hasil analisi area rentan terbakar terluas di Provinsi Riau, yaitu 2 juta hektare, disusul oleh Kalimantan Tengah, seluas 1,2 juta hektare. Pantau Gambut melanjutkan analisis berdasarkan luasannya di masing-masing provinsi. Provinsi Riau memiliki area rentan terbakar terluas berdasarkan tutupan lahan seluas 2 juta hektare diikuti Kalimantan Tengah seluas 1,2 juta hektare.
Perlu perhatian lebih bagi Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah dalam hal kebakaran hutan dan lahan, karena 2 provinsi tersebut kerap mengalami kebakaran gambut setiap tahun. Berdasarkan hasil rerata terhadap data kebakaran gambut milik KLHK tahun 2015 dan 2019, 14 % area terbakar berada di Provinsi Riau, 36% berada di Provinsi Kalimantan Tengah, dan sisanya tersebar pada provinsi gambut lainnya.
Berdasarkan hasil analisa data kebakaran, luas kebakaran yang terjadi di dalam area konsesi masih jauh lebih kecil dibandingkan kebakaran di dalam area konsesi (Gambar 5), namun area konsesi tetap harus menjadi prioritas pengawasan, karena dari hasil pantauan lapangan, terlihat bahwa kegiatan pemanfaatan gambut lindung untuk area industri ekstraktif dan area bekas terbakar yang belum direstorasi malah ditanami kembali dengan jenis tanaman sawit maupun akasia (Gambar 6).
Penelusuran lebih dalam pada area kebakaran yang terjadi di area non-konsesi yang menjadi proporsi terbesar area terbakar di gambut, menunjukkan bahwa, 18,4% kebakaran terdeteksi pada radius 1 km dari batas terluar konsesi yang ada di atas gambut. Hasil verifikasi melalui citra satelit menunjukkan penampakan lahan bekas terbakar pada radius 1 km tersebut mengalami perubahan membentuk pola area perkebunan yang terstruktur dan rapi (Gambar 8, 9, 10). Perubahan pola ini menimbulkan pertanyaan, apakah ini adalah aktivitas yang sengaja dilakukan untuk perluasan area perkebunan? Dengan adanya data-data ini, diperlukan peningkatan pengawasan dan kesigapan terhadap area-area yang rentan terbakar agar kebakaran hutan dan lahan dapat dicegah.
Baca selengkapnya Laporan Pantau Gambut mengenai "Waspada Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2022" terlampir.