Menjalankan Peraturan Sekaligus Menjaga Kearifan Lokal: Polemik Pembukaan Lahan dengan Membakar
Oleh Pantau GambutPutusan Mahkamah Agung dalam pembatalan peraturan tentang lahan gambut membuat para pelaku usaha menjadi cemas. Mereka khawatir jika putusan itu berdampkan pada potensi kerugian ekonomi dan hilangnya pekerjaan akibat perubahan konsesi perusahaan menjadi kawasan lindung. Meski begitu, pemerintah telah berjanji untuk mengganti lahan konsesi tersebut melalui kebijakan pertukaran lahan sebagaimana diatur dalam PermenLHK No. 40/2017.
Artikel ini awalnya dipublikasikan di situs WRI Indonesia. Publikasi ulang di situs Pantau Gambut telah seizin penulis
Pada 2015, Indonesia menderita kebakaran besar, di mana lebih dari 50 persen kebakaran terjadi di atas lahan gambut. Untuk merespon bencana kemanusiaan tersebut, Indonesia terus meningkatkan upaya untuk melindungi dan memulihkan ekosistem yang kaya karbon ini. Nyatanya, mengubah cara Indonesia mengelola lahan gambut sangatlah penting untuk mencapai komitmen nasional dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan juga mencegah dampak berbahaya dari kebakaran. Dalam artikel pertama dari rangkaian artikel tentang tata kelola lahan gambut, kami mengelaborasi aspek hukum dari pembatalan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 17/ 2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
Indonesia telah menarik banyak perhatian dunia dalam tata kelola gambutnya. Pada pertemuan COP 23 baru-baru ini, mantan Wakil Presiden AS, Al Gore, memuji komitmen Indonesia dalam memulihkan lahan gambut yang terdegradasi sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim.
Sentimen positif tersebut tidak datang serta-merta, melainkan karena pemerintah telah melakukan berbagai upaya restorasi, mulai dari pemetaan gambut hingga pembentukan Desa Peduli Gambut. Salah satu kemajuan yang juga penting adalah dikeluarkannya empat peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang perlindungan lahan gambut, sebagai tindak lanjut atas Peraturan Presiden tahun 2016 yang melarang perusahaan menanam di atas lahan gambut yang dikategorikan untuk wilayah konservasi.
Terlepas dari kemajuan-kemajuan tersebut, upaya restorasi gambut menemui hambatan ketika Mahkamah Agung Indonesia membatalkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No. 17/2017, yang mewajibkan perusahaan untuk mengalihfungsikan lahan konsesi yang termasuk dalam kategori wilayah ekosistem gambut dengan fungsi lindung dan memulihkan lahan gambut tersebut melalui pembasahan dan penanaman. Jika konsesi perusahaan berada di atas setidaknya 40 persen kawasan gambut yang dilindungi, mereka berhak meminta pertukaran lahan.
PermenLHK yang dibatalkan tersebut sebelumnya mengundang perdebatan sengit antara pelaku usaha, termasuk serikat pekerja, dan KLHK serta pemerhati lingkungan. Di satu sisi, peraturan tersebut diperlukan untuk menghindari degradasi lahan gambut lebih lanjut yang dapat menyebabkan kebakaran hutan. Di sisi lain, pelaku usaha dan serikat pekerja merasa khawatir dengan potensi kerugian ekonomi dan hilangnya pekerjaan karena perubahan konsesi perusahaan menjadi kawasan lindung. Meskipun pemerintah telah berjanji untuk mengganti lahan konsesi tersebut melalui kebijakan pertukaran lahan sebagaimana diatur dalam PermenLHK No. 40/2017, pelaku usaha dan para buruh masih cemas akan ketersediaan dan lokasi lahan yang akan ditukarkan.
Pada Juni 2017, sebuah serikat pekerja di Provinsi Riau, KSPSI, menuntut agar PermenLHK tersebut ditinjau ulang oleh Mahkamah Agung, dengan alasan utama bahwa peraturan tersebut merupakan pelanggaran terhadap UU Kehutanan tahun 1999 dan UU Tata Ruang tahun 2007. Pada 2 Oktober 2017, pengadilan memenangkan serikat pekerja dan membatalkan PermenLHK tersebut.
Beberapa aktivis lingkungan menganggap putusan ini sebagai batu sandungan yang signifikan untuk mencapai target dua juta hektar restorasi lahan gambut pada tahun 2020, terutama karena sekitar 1,4 juta hektar lahan gambut yang harus dipulihkan berada di dalam konsesi perusahaan. Sebaliknya, ahli hukum lingkungan dan perwakilan KLHK menjelaskan bahwa putusan pengadilan tersebut tidak mengubah kewajiban perusahaan untuk mengembalikan ekosistem lahan gambut sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden di tahun 2016. Justru, pembatalan PermenLHK No. 17/2017 adalah kerugian perusahaan karena perusahaan tidak lagi memiliki hak untuk meminta ganti rugi lahan.
Pertimbangan utama Mahkamah Agung untuk memenangkan KSPSI adalah karena Mahkamah Agung mengatakan bahwa PermenLHK No. 17/ 2017 bertujuan untuk memasukkan ekosistem gambut sebagai kategori baru dalam fungsi zona hutan yang saat ini ada untuk konservasi, perlindungan, dan produksi, yang tertera dalam UU Kehutanan tahun 1999. Maka dari itu, pengadilan memandang PermenLHK No. 17/ 2017 sebagai pelanggaran dari UU Kehutanan tahun 1999 dan mengatur lahan gambut bukan merupakan kewenangan KLHK sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan. Pertimbangan ini selain mengkhawatirkan juga menyoroti kesalahpahaman Mahkamah Agung mengenai sejauh mana cakupan kewenangan KLHK.
Pertama, pengadilan sepatutnya mempertimbangkan bahwa KLHK adalah sebuah kementerian yang terbentuk dari penggabungan empat organisasi negara: Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengelola Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (BP-REDD+), dan Dewan Nasional Perubahan Iklim. Sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden No. 16/ 2015, KLHK sekarang mengadopsi dan melaksanakan mandat serta fungsi keempat organisasi tersebut, termasuk di antaranya untuk menerbitkan peraturan tentang hutan dan nonhutan dalam hubungannya dengan aspek lingkungan. Mandat dan fungsi keempat organisasi tersebut juga memberikan wewenang ke KLHK untuk mengatur segala kegiatan pemerintah dan swasta yang berdampak terhadap lingkungan hidup.
Kedua, dalam pengambilan putusan, pengadilan Mahkamah Agung jarang merujuk pada Undang-Undang No. 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dan berfokus hanya pada UU Kehutanan tahun 1999. Terbatasnya rujukan putusan pengadilan menunjukkan kurangnya pemahaman pengadilan tentang pentingnya undang-undang ini sebagai dasar untuk semua kegiatan yang berkaitan dengan aspek lingkungan hidup - baik yang berada di dalam ekosistem lahan gambut, kawasan hutan, Areal Penggunaan Lain (APL), atau pun yang lainnya. Pemeriksaan hukum yang tidak menyeluruh dalam pembatalan PermenLHK no. 17/ 2017 justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat yang terkena dampak dari pengelolaan ekosistem gambut yang tidak bertanggung jawab.
Mahkamah Agung memegang peran kunci dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik karena memiliki wewenang untuk mengatur keserasian peraturan turunan dengan UU yang menaunginya.
Bahkan ketika pembatalan PermenLHK No. 17/2017 tidak akan berdampak signifikan pada kemajuan pemulihan lahan gambut, alasan pengadilan dalam membatalkan peraturan tersebut dapat menjadi preseden hukum dan memungkinkan terjadinya efek domino untuk menggugurkan peraturan menteri lainnya.
Oleh karena itu, sangat penting bagi para hakim di Mahkamah Agung untuk memperbaiki kesalahpahaman mereka mengenai isu lahan gambut dan lingkup kewenangan KLHK.
Terakhir, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat yang terkena dampak perlu pula untuk memantau proses di Mahkamah Agung secara ketat, terutama karena putusan dari Mahkamah Agung bersifat final tanpa adanya kesempatan mengajukan banding. Pentingnya memantau dan mengikuti proses sejak tahap awal pengadilan memungkinkan LSM dan masyarakat yang terkena dampak untuk memberikan pandangan melalui media massa. Dengan cara ini, kita dapat bersama-sama mencegah kemungkinan terjadinya efek domino dari kesalahpahaman hakim dan terus menerapkan peraturan yang ada demi tata kelola lahan gambut yang lebih baik.