Oleh Pantau Gambut
dari Pantau Gambut

Tim Pantau Gambut melihat perlunya sejumlah kondisi pendukung agar restorasi gambut dapat terlaksana secara lebih efektif sehingga dapat memulihkan kondisi gambut dan mencegah kebakaran meluas. Kondisi-kondisi tersebut adalah realisasi restorasi sesuai perencanaan dengan tetap mempertimbangkan kepentingan masyarakat terdampak, pendanaan untuk pencegahan kebakaran dan pemeliharaan infrastruktur, dan peran aktif seluruh pihak hingga di tingkat tapak.

Pekanbaru, 4 Juli 2019: Tim Pantau Gambut menilai sejumlah kondisi pendukung diperlukan agar dapat memulihkan kondisi gambut dengan lebih efektif dan mencegah kebakaran meluas. Kondisi pendukung yang dimaksud adalah realisasi restorasi sesuai perencanaan dengan tetap mempertimbangkan kepentingan masyarakat terdampak, pendanaan untuk pencegahan kebakaran dan pemeliharaan infrastruktur, dan peran aktif seluruh pihak hingga di tingkat tapak.

Kesimpulan tersebut merupakan hasil observasi lapangan yang dilakukan Tim Pantau Gambut pada Maret 2019 di 10 Desa dan Kelurahan yang tersebar di Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Meranti, dan Kabupaten Rokan Hilir di Riau. Lokasi-lokasi tersebut termasuk wilayah prioritas restorasi gambut. 

Dari observasi di 10 Desa dan Kelurahan tersebut, tim menemukan bahwa:

1. Kebakaran tidak lagi terjadi di wilayah yang sudah terintervensi pembasahan gambut dalam jangka waktu yang cukup lama dan terdapat keterlibatan aktif masyarakat dalam pemeliharan infrastruktur restorasi dan pencegahan kebakaran, sebagaimana terjadi di Desa Tanjung Leban, Bengkalis. Adanya indikasi indikasi positif penurunan kebarakan di Desa Sungai Sigajah dan Desa Tanjung Leban di Rokan Hilir setelah pembangunan infrastruktur pembasahan gambut di akhir 2018.

2. Kebakaran terjadi di wilayah dekat dengan infrastruktur pembasahan yang menunjukkan indikasi awal bahwa intervensi restorasi memerlukan waktu lama untuk dapat meningkatkan kebasahan di lahan sekitarnya

3. Kebakaran masih terjadi di wilayah terintervensi dengan lokasi infrastruktur jauh dari lokasi terbakar/ rawan terbakar

4. Kebakaran masih terjadi di wilayah yang rencana restorasinya belum terealisasi

Isnadi Esman, Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) menggarisbawahi belum efektifnya infrastruktur pembasahan adalah karena pembahasan lahan gambut yang sudah terlalu kering membutuhkan waktu, sedangkan infrastruktur yang ada saat ini masih terbilang baru.

“Hal ini diperparah koordinasi dan upaya pencegahan yang belum efektif, dana operasional tidak ada atau terlambat dicairkan, serta sulitnya akses menuju wilayah yang terbakar,” tegasnya dalam acara Diskusi Publik Laporan Kebakaran Gambut di Wilayah Terintervensi Restorasi di Riau, di Pekanbaru, hari ini.

Romes Irawan Putra, Direktur Kaliptra Andalas yang juga Kordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau merekomendasikan sepuluh upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kondisi pendukung agar wilayah lain dapat mengikuti cerita sukses di tiga desa tersebut.

Rekomendasi yang dimaksud adalah laksanakan restorasi gambut sesuai perencanaan, pastikan infrastruktur pembasahan gambut dibangun di area rawan kebakaran, dan rumuskan indikator pulih yang dapat digunakan publik secara umum. Selain itu, pastikan pemeliharaan atas infrastruktur yang telah terbangun, dan perkuat patroli dan pencegahan kebakaran yang dilakukan di tingkat tapak.

Rekomendasi selanjutnya adalah pastikan ketersediaan alokasi dana pencegahan kebakaran tingkat desa dan kelurahan, dorong desa atau kelurahan membuka kerjasama dengan lembaga sumber pendanaan non-anggaran lainnya, pastikan supervisi dan penegakan peraturan atas rencana restorasi di wilayah konsesi, tingkatkan implementasi perencanaan yang melibatkan masyarakat (Padiatapa), serta lakukan sosialisasi pencegahan kebakaran yang memperhatikan kearifan lokal.

“Rekomendasi-rekomendasi ini harus dibarengi dengan langkah strategis dari pemerintah daerah, yaitu dengan menetapkan kebijakan khusus dari pemerintah provinsi tentang restorasi gambut. Gubernur perlu melakukan revisi terhadap SK tim restorasi gambut daerah dengan melibatkan masyarakat dan organisasi yang memiliki kemampuan di bidang tersebut,” ujar Romes

Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas menambahkan seluruh pihak perlu bersiap untuk menghadapi kemungkinan kebakaran gambut di periode puncak musim kemarau.

“Pemantauan lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah pada periode puncak musim kemarau pada Agustus-September 2019 akan terjadi kebakaran di wilayah-wilayah terintervensi tersebut. Kita harus fokus kepada wilayah-wilayah yang kondisinya masih rawan, yaitu wilayah dengan infrastruktur belum lama terbangun, dan di daerah yang belum dapat melakukan upaya pencegahan dan pemeliharan yang efektif,” pungkasnya.

 

 

    

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.