Oleh Admin
dari Pantau Gambut
Tanah Papua kini terancam pergerakan investasi industri ekstraktif dan monokultur skala besar yang dulu hanya berpusar di Indonesia bagian barat.
©Alvi KGS - Gemindo/HKV untuk Pantau Gambu
©Alvi KGS - Gemindo/HKV untuk Pantau Gambu

Dalam beberapa tahun terakhir, pergerakan investasi pada industri ekstraktif dan monokultur skala besar terus bergeser dari Indonesia bagian barat ke arah Indonesia bagian timur, termasuk Papua. Menjamurnyanya investasi di Indonesia timur ini pun menimbulkan konsekuensi pada peningkatan risiko bencana ekologi seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) maupun banjir. Menurut pengamatan Pantau Gambut, tren kenaikan kasus karhutla terjadi secara konstan sejak bulan Juli 2023, khususnya pada wilayah yang memiliki ekosistem gambut di dalamnya. Pada bulan selanjutnya, pada rentang tanggal 1 hingga 13 Agustus 2023, Pantau Gambut mencatat adanya 564 titk panas (hotspot) pada provinsi Papua Barat, Papua Selatan, dan Papua Tengah. Sebarannya mencakup 10 kabupaten/kota, diantaranya Mappi, Merauke, Panial, Asmat, Nabire, Dogiyai, Fakfak, Sorong Selatan, Boven Digoel, dan Kota Jayapura. 

Kajian kerentanan karhutla yang diterbitkan oleh Pantau Gambut pada Juli 2023 menemukan bahwa Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Ifuleki Bian–Sungai Dalik di Provinsi Papua Selatan menjadi KHG yang wilayahnya hampir terbakar seluruhnya. Total 97% area KHG tersebut berada pada kerentanan kebakaran kelas tinggi. Kerentanan pada KHG ini diindikasi berkaitan dengan lokasi indikatif proyek Food Estate yang berada di Provinsi Papua Selatan karena di bagian selatan KHG tersebut beririsan secara langsung. Terjadinya pembukaan lahan atau alih fungsi lahan gambut dari hutan menjadi peruntukan lainnya dapat memicu terjadinya karhutla, terlebih lagi jika pembukaan lahan gambut dilakukan dengan cara bakar. Cara yang tidak semestinya dilakukan ini jelas meningkatkan potensi karhutla dan potensi rusaknya ekosistem gambut. Secara umum, Provinsi Papua Selatan memiliki 547.068,89 hektare wilayah KHG dengan kerentanan karhutla kelas tinggi. Sedangkan Provinsi Papua Barat mencapai 73.329,37 hektare.

Melihat fakta-fakta di atas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas mendorong adanya upaya dua langkah tindakan strategis. “Pertama, kondisi ini harus menjadi momentum evaluasi kebijakan perlindungan ekosistem gambut, termasuk diantaranya menghentikan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate di atas ekosistem gambut.” Pemaksaan untuk terus melakukan proyek ini dapat memicu degradasi ekosistem yang lebih parah dan meningkatan risiko karhutla. Yang kedua, Iola menambahkan, “Perlu adanya evaluasi upaya penegakan hukum dan perlindungan ekosistem gambut pada wilayah konsesi yang terbakar.” 

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante menegaskan, “Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera melakukan penyelidikan terhadap dugaan karhutla yang terjadi pada area konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di Kabupaten Merauke dan Fakfak. Jika terbukti bersalah, harus ada penegakan hukum dan sanksi yang adil. Perusahaan juga harus aktif terlibat dalam pencegahan dan pengamanan lahan dan hutan dari potensi karhutla.” 

 

Kontak Media 

Jika Anda membutuhkan panduan maupun konsultasi terkait dengan publikasi ini, Anda dapat menghubungi:

 

Franky Samperante    081317286019    Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Iola Abas                     081263709484    Koordinator Nasional Pantau Gambut

Wahyu A Perdana      082112395919    Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut  

 

 

Website                       pantaugambut.id   
Email                           [email protected]   
Instagram & Twitter   @pantaugambut  

 

 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.