Oleh Juma Maulana, Abil Salsabila, Agiel Prakoso, Johan Wahyu Robiya, Wahyu Perdana, Almi Ramadhi, Yoga Aprillianno, Iola Abas
dari Pantau Gambut
Siapa sangka jika sebagian lahan Food Estate Kalimantan Tengah kini hanya menjadi semak belukar dan malah bertumpang tindih dengan area perkebunan sawit milik swasta?

Melalui peluncuran studi Swanelangsa Pangan di Lumbung Nasional: Catatan Proyek Food Estate Kalimantan Tengah Setelah Tiga Tahun Berlalu, Pantau Gambut memaparkan keruhnya situasi terkini dari lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut.

Meski sudah banyak yang menilai proyek inisiasi Joko Widodo tahun 2020 tersebut gagal, area Food Estate Kalimantan Tengah justru diperluas. Selain karena ambisi Joko Widodo yang belum tercapai, Prabowo-Gibran juga memiliki misi untuk menambah empat juta hektare luasan panen tanaman pangan. Food Estate yang menjadi program prioritas Prabowo-Gibran ini pun berpotensi menjadi landasan penyusunan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) periode 2024–2029.

Masalahnya, ekstesifikasi Food Estate bertolak belakang dengan komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca hingga di angka nol (net zero emission). Pertentangan ini terjadi karena program tersebut dilaksanakan di areal eks-PLG sejuta hektare peninggalan Presiden Soeharto. Bekas proyek yang telah menjelma sebagai ‘bom karbon’ sebagaimana ditunjukkan lewat karhutla periode 1997–1998 dan 2015.

Alih-alih menghentikan proyek Food Estate dan merestorasi gambut yang sudah terdegradasi, pemerintah justru membiarkan lahan ini terbengkalai dan beralih fungsi. Pantau Gambut menemukan sebagian area yang dicadangkan sebagai lumbung pangan nasional, kini telah diakuisisi oleh PT Wira Usahatama Lestari (WUL) sebagai perkebunan sawit seluas 274,6 hektare.

Lahan Food Esate yang sudah dibuka dan dibelah oleh kanal untuk dikonversi menjadi perkebunan sawit di Desa Tajepan, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah ©Pantau Gambut 2024
Lahan Food Esate yang sudah dibuka dan dibelah oleh kanal untuk dikonversi menjadi perkebunan sawit di Desa Tajepan, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah ©Pantau Gambut 2024

Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut, Wahyu Perdana mempertanyakan, “Bagaimana mungkin area yang seharusnya digunakan sebagai lahan produksi pangan, justru dikuasai oleh perkebunan swasta?” Hal ini mengingat lokasi Food Estate yang menggunakan lahan berstatus Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP), seharusnya tidak dibebani oleh izin pemanfaatan kawasan hutan. Terlebih, perusahaan perkebunaan dengan izin HGU seharusnya tidak beroperasi di lokasi Food Estate dan hanya beroperasi di atas Area Penggunaan Lain (APL).

Tumpang tindih ini menunjukkan bahwa pelaksanaan proyek Food Estate berpotensi besar menjadi celah permainan mafia tanah ketimbang memperjuangan jargon ‘ketahanan pangan’ yang selama ini diserukan. Selain itu, terdapat pula 15 titik pemantauan lain yang telah dihilangkan vegetasinya dan kini hanya dibiarkan menjadi semak belukar.

Kegagalan berulang proyek Food Estate di Kalimantan Tengah ini pun tidak bisa dilepaskan dari ketidaksesuaian lahan dan pengelolaan yang buruk. Banyaknya studi kegagalan proyek terdahulu seharusnya bisa menjadi pelajaran. Namun, pemerintah seperti menolak untuk belajar dari masa lalu. Wahyu menambahkan, “Jangan sampai jargon swasembada pangan yang sejak dulu digembar-gemborkan malah berubah menjadi swanelangsa pangan.”

Terdapat tiga hal penting yang Pantau Gambut dorong:

  1. Pemerintah harus mengevaluasi dan menghentikan proyek Food Estate. Bukti kegagalan beruntun yang menciptakan jejak kerusakan lingkungan dan ekosistem gambut, cukup menjadi alasan untuk menghentikan proyek ini.
  2. Pemerintah harus menghentikan eksploitasi gambut dan merehabilitasi ekosistem gambut yang terdegradasi. Pengeringan gambut untuk pertanian padi dalam proyek FE hanya akan memperparah dampak lingkungan dan mempercepat proses kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
  3. Pemerintah harus meninjau kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN). UU Cipta Kerja yang mengatur PSN terlalu mudah mengorbankan standar lingkungan untuk mengeksploitasi lingkungan dan berdampak pada bencana ekologis.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.