Melihat Rekam Jejak Sikap Partai Pendukung Calon Presiden
Oleh Abil Salsabila, Wahyu Perdana, Yoga Aprillianno, Iola AbasPraktik buruk pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup semakin nyata dipraktikan. Kebijakan disusun untuk memuluskan serangkaian aktivitas yang ilegal menjadi legal. Hal ini terlihat dalam agenda pemutihan kebun kelapa sawit yang terlanjur ditanam di dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar di seluruh Indonesia. Pemerintah menunjukkan betapa minimnya komitmen negara untuk melindungi lingkungan hidup, memberantas kejahatan lingkungan hidup, memberantas korupsi, dan menempatkan keberpihakannya kepada rakyat. Kebijakan tersebut bahkan melindungi kejahatan lingkungan berulang yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Menurut Greenpeace dan TheTreeMap (2019) terdapat total luas sekitar 3.118.804 hektar tanaman kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan di Indonesia. Setengahnya merupakan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mana terdapat lebih dari 600 perusahaan yang masing-masing mengusahakan lebih dari 10 hektar di dalam kawasan hutan. Lebih jauh, sawit tersebut ditanam di atas lahan hutan dengan fungsi sebagai hutan konservasi dan lindung dengan luasan berturut-turut mencapai 90.200 hektar dan 146.871 hektar. Data tersebut turut mengidentifikasi 25 besar grup anggota RSPO berdasarkan total luas kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan. Sepuluh grup teratas yang menanam sawit di dalam kawasan hutan adalah Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High.
“Perkebunan sawit ilegal menjamur di berbagai wilayah–termasuk di kawasan hutan yang menjadi area lindung dan konservasi–karena buruknya tata kelola oleh pemerintah, tidak adanya transparansi, dan lemahnya penegakan hukum. Bukannya memperbaiki hal tersebut, pemerintah justru melakukan pemutihan sawit ilegal di kawasan hutan. Kebijakan ini jelas tidak berpihak kepada lingkungan serta masyarakat adat dan masyarakat tempatan yang terdampak, melainkan ditengarai menguntungkan oligarki sawit di lingkaran kekuasaan,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Pada konteks ekologi, agenda pemutihan sawit ilegal yang berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) akan semakin memperparah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) beserta dampak ekologis yang menyertainya. Pantau Gambut (2023) mengidentifikasi bahwa dari total 3,3 juta hektar luas perkebunan sawit yang hendak diputihkan pemerintah, sebesar 407.267,537 hektar (sekitar 13-14%) berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), yang mana, sebanyak 72% perkebunan sawit di KHG yang akan diputihkan berada dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang (medium risk) dan 27% berada dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi (high risk). Lebih jauh, sebanyak 91,64% pemegang izin konsesi yang wajib menanggulangi dan memulihkan kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla di kawasannya tidak ditemukan titik implementasi restorasinya di lapangan.
Wahyu Perdana (Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut) menyampaikan; berdasarkan temuan Pantau Gambut, dari 32 entitas perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), hanya 5 perusahaan yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya, sedangkan sisa 27 (84%) perusahaan lainnya juga beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung. Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 PP No. 71 Tahun 2014 jo. PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Kondisi ini meningkatkan risiko Karhutla, khususnya pada ekosistem gambut.
Persoalan lain yang menyertai praktik buruk tersebut berkaitan karhutla yang terus terjadi di perkebunan kelapa sawit. Data burn area KLHK tahun 2015-2020 yang diolah Pantau Gambut, ditemukan bahwa ada sebelas grup korporasi dalam skema pemutihan di area kesatuan hidrologis gambut (KHG) yang memiliki histori luasan area terbakar pada Karhutla 2015-2020. Grup perusahaan dengan burn area terluas adalah Best Agro Plantation dengan total luasan area terbakar 3.605,876 ha, disusul oleh Soechi dengan total luasan 2.085,382 ha, lalu diikuti oleh Citra Borneo dengan total luasan 1.704,521 ha.
Grup-grup yang teridentifikasi memiliki keterkaitan dengan perkebunan kelapa sawit ilegal di dalam kawasan hutan merupakan pemain besar dalam industri kelapa sawit Indonesia. TuK INDONESIA (2023) mengidentifikasi terdapat 25 kelompok perusahaan besar yang menguasai total lahan perkebunan seluas 3,9 juta hektar di Indonesia. Data tersebut menunjukkan bahwa dari 3,9 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit, sebagian besar penguasaan lahan adalah oleh Sinar Mas (14%), Salim (8%), Jardine Matheson (7%), Wilmar (6%), dan Surya Dumai Grup (5%). Grup-grup perusahaan tersebut, disokong oleh pembiayaan besar dari lembaga jasa keuangan. Sinar Mas dibiayai oleh berturut-turut Banco de Sabadell dan ABN AMRO memberikan corporate loan sebesar 17,5 juta USD atau setara dengan Rp247,9 milyar. Selain itu, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Sinar Mas turut membiayai Sinar Mas. Grup lainnya, Wilmar, dibiayai oleh Oversea-Chinese Banking Corporation melalui skema revolving credit facility sebesar 24,6 juta USD pada 2018 atau setara Rp348,5 milyar, yang mana pada tahun-tahun berikutnya, melalui lembaga pembiayaan yang sama masih mendapatkan fasilitas kredit dan investasi. Menarik, bahkan lembaga jasa keuangan penyedia dana pensiun di Malaysia, Employees Provident Fund, membiayai Genting Grup yang turut diuntungkan dalam agenda pemutihan hingga sebesar 110,1 juta USD pada tahun 2022 yang senilai dengan Rp.1,7 triliun.
TuK INDONESIA turut mengidentifikasi bahwa beberapa perusahaan sawit yang masuk dalam daftar pemutihan merupakan perusahaan sawit yang berulangkali terlibat dalam kejahatan lingkungan berupa kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah berdasarkan titik apinya. Perusahaan-perusahaan tersebut meliputi: PT Bangun Cipta Mìtra Perkasa (Best Agro); PT Globalindo Agung Lestari (Genting Group); PT Karya Luhur Sejati (Best Agro); PT Rezeki Alam Semesta Raya (Soechi Group); dan PT Bangun Cipta Mìtra Perkasa (Best Agro).
Jentaka, agenda yang diklaim mengarah pada peningkatan penerimaan negara justru mengarah pada tidak terbuktinya klaim tersebut. TuK INDONESIA (2023) dalam studi kasusnya di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa realisasi pajak dari sektor sawit yang legal pun jauh dari potensi penerimaannya. Dari potensi mencapai lebih dari Rp6,4 triliun, Kalimantan Tengah bahkan hanya mampu merealisasikan sebesar Rp2,3 triliun, yang mana, itu pun merupakan realisasi pajak dari seluruh sektor. Klaim peningkatan pendapatan melalui agenda yang jelas-jelas memfasilitasi keberlanjutan kejahatan lingkungan dan porak porandanya tata kelola perkebunan dan kehutanan menjadi tidak relevan lagi.
“Pemutihan ini, jelas, adalah bentuk kejahatan oleh negara. Ini seharusnya menjadi perhatian serius oleh lembaga jasa keuangan, dan penting untuk mengevaluasi pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang bahkan terlibat dalam kejahatan lingkungan (karhutla). Adanya temuan bahwa perusahaan-perusahaan yang menanam sawit dalam kawasan hutan pun merupakan grup perusahaan anggota RSPO mendukung statement kami sebelumnya bahwa memang, sertifikasi RSPO tidak kredibel,” Abdul Haris, Pengkampanye TuK INDONESIA.