Rekam Jejak Partai Politik Belum Tersentuh Selama Debat Cawapres
Oleh AdminEnam provinsi langganan kembali ditetapkan menjadi wilayah siaga darurat bencana karhutla yang masif terjadi, yaitu: Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Asap pekat yang mengepul tidak hanya mengakibatkan jarak pandang yang terbatas, tetapi juga mengancam keselamatan warga dan membatasi aktivitas sehari-hari warga di luar ruangan.
Kabut asap tebal dari kebakaran hutan dan lahan juga mengakibatkan terjadinya fenomena langit oranye hingga merah. Siswanto, Kepala Sub-bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan fenomena langit merah disebabkan debu polutan PM 10 Dominan yang berukuran sekitar 0,7 mikrometer atau lebih dengan konsentrasi sangat tinggi dan sebaran partikel polutan yang luas.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukan peningkatan hampir 500% terhadap polutan PM10 di Provinsi Kalimantan Tengah, Jambi dan Riau pada periode 1 Juli-30 September 2019, sehingga membuat ketiga provinsi ini masuk dalam kategori “Sangat Berbahaya” (>400 μg/m3). Angka tersebut jauh melampaui Nilai Ambang Batas (NAB) PM10 yang diperbolehkan di Indonesia yaitu 150 μg/m3. Bahkan, jika merujuk petunjuk kualitas udara dari World Health Organization (WHO), angka PM10 tersebut sangat jauh dari yang diperbolehkan yaitu 20 μg/m3 (rata-rata per tahun) atau 50 μg/m3 (rata-rata per 24 jam).
Kategori sangat berbahaya (>400 μg/m3) menunjukkan tingkat kualitas udara yang berbahaya bagi semua orang dan perlu segera melakukan tindakan evakuasi ke tempat atau ruang bebas pencemaran udara, terutama bagi orang beresiko seperti: balita, ibu hamil, orang tua dan penderita gangguan pernapasan.
Kabut asap yang melambung terbawa angin memiliki berbagai dampak negatif terhadap kesehatan. Kualitas udara yang tercemar berdampak pada penurunan kondisi tubuh, iritasi pada saluran pernapasan hingga peningkatan gejala pada penderita suatu penyakit tertentu, termasuk memicu Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Data Kementerian Kesehatan yang disajikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan 919.516 orang yang tersebar di 6 provinsi siaga darurat karhutla menderita ISPA akibat karhutla. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat, seiring berlangsungnya kemarau panjang hingga November 2019. Jika melihat dari sisi medis, signifikansi insiden ISPA tidak mengenal musim tertentu, karena ISPA bisa menyerang kapan saja. Namun, faktor pemicu seperti peningkatan sebaran partikel-partikel kecil berbahaya (particulate matter) pada asap karhutla sangat berpengaruh terhadap kualitas udara yang dihirup masyarakat.
Pantau Gambut melakukan analisis sebaran titik panas yang tertangkap sensor VIIRS dengan tingkat kepercayaan tinggi pada 7 Provinsi prioritas restorasi gambut. Hasilnya, titik panas ditemukan di wilayah gambut berizin (konsesi) pada seluruh provinsi tersebut. Bahkan, sebaran titik panas di wilayah konsesi provinsi Papua mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2016-2018. Hal ini patut menjadi perhatian untuk meningkatkan kegiatan pencegahan dan pengamanan areal kerja dari potensi kebakaran, mengingat pemberian izin perusahaan di atas lahan gambut masih berlangsung meskipun pemerintah telah berkomitmen untuk melindungi kawasan gambut. Jika pengawasan tidak ditingkatkan, bukan tidak mungkin Papua di masa mendatang akan senasib seperti Kalimantan dan Sumatera.
Secara regulasi, kementerian teknis bidang lingkungan hidup, kehutanan dan pertanian telah mengeluarkan perintah untuk mengurangi potensi kebakaran, diantaranya: Peraturan Menteri Pertanian No 5 tahun 2018 yang melarang aktivitas pembakaran pada pembukaan maupun pengelolaan lahan dan surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015 yang mengarahkan upaya pengamanan areal kerja dari potensi kebakaran hutan. Bahkan, Presiden Indonesia telah menerbitkan PP 57 tahun 2016 jo PP 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lahan Gambut yang didalamnya menjelaskan mengenai larangan membakar gambut dan arahan untuk melakukan pemulihan di kawasan gambut yang rusak.
Jika menilik payung hukum yang lebih tinggi, penegakan hukum pelaku pembakaran hutan dan lahan telah tercantum dalam 3 Undang-Undang lintas sektoral. Pertama, pasal 78 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 (Kehutanan) yang menyebutkan bahwa pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi pidana penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar. Kemudian, Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 (Perkebunan) yang menyebutkan bahwa jika seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar. Yang terakhir, Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang menyebutkan seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun, serta denda maksimal Rp10 miliar
Kebakaran yang terus berulang di kawasan budidaya berizin menimbulkan pertanyaan mengenai kepatuhan perusahaan terhadap regulasi perlindungan ekosistem gambut terutama pencegahan kerusakan ekosistem gambut akibat kebakaran lahan. Namun, nampaknya peraturan-peraturan tersebut hanyalah diatas kertas yang belum sepenuhnya direalisasikan.
Penegakan hukum terhadap perusahaan dengan kasus kebakaran berulang perlu ditingkatkan, mengingat kasus-kasus seperti ini seringkali hilang tersapu hujan. Seperti misalnya: kasus PT Sumatera Riang Lestari di Provinsi Riau yang wilayah kerjanya selalu terbakar tiap tahun, mengindikasi belum adanya langkah pencegahan kebakaran yang dilakukan oleh perusahaan dan tindakan hukum yang memberikan efek jera.
Teka-teki kemudian muncul mengenai apa penyebab sebenarnya masalah kebakaran hutan yang terus berulang di area konsesi? Apakah karena aturan yang belum jelas? Atau penegakan hukum yang masih longgar?