Asap Riau, Ulah Siapa?
Oleh Agiel Prakoso dan Rahmah Devi HapsariMelalui peluncuran studi Dari Konsesi ke Konsekuensi, Pantau Gambut memaparkan efek domino yang muncul akibat rapuhnya kerangka regulasi yang menyebabkan korporasi perkebunan dapat mengeksploitasi ekosistem gambut tanpa adanya pengawasan dan penindakan yang tegas.
Studi lanjutan ini memaparkan 281.253 km kanal telah membelah ekosistem gambut di regional Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Panjang kanal yang setara dengan 120 kali bolak-balik Tol Trans Jawa ini mayoritas ditemukan pada konsesi Hak Guna Usaha (HGU) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan luasan masing-masing 3.993.626 Ha dan 2.547.356 Ha.
Wahyu Perdana, Manajer Advokasi, Kampanye, dan Komunikasi Pantau Gambut menjelaskan, “Ada korelasi kuat antara aktivitas korporasi ekstraktif dengan peningkatan kerentanan banjir dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).” Hal ini disebabkan karena gambut tidak lagi berfungsi seperti sedia kala sebagai penyerap air. Fenomena irreversible drying ini yang menyebabkan genangan air menjadi limpasan yang tidak terkontrol dan justru menciptakan daya rusak kepada lingkungan sekitarnya.
Wahyu menambahkan, “Kerusakan gambut ini berpangkal pada kerangka hukum perlindungan ekosistem gambut yang masih pincang dan meninggalkan celah besar.” PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No. 71 Tahun 2014, tidak banyak mengubah realitas pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut dan justru semakin diperlemah oleh UU Cipta Kerja Pasal 110 A dan B.
Sebut saja PT Bumi Andalas Permai (BAP), PT SBA Wood Industries, dan PT Bumi Mekar Hijau yang menjadi tergugat kasus asap karhutla di Provinsi Sumatera Selatan. Meski telah melangsungkan persidangan berulang kali, tidak membuat Pengadilan Negeri (PN) Sumatera Selatan bersedia melanjutkan gugatan dan justru memutuskan niet ontvankelijke (NO) yang berarti menunda atau bahkan menggagalkan proses keadilan bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut.
Ketiga perusahaan yang ada di satu hamparan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Sugihan–Lumpur ini menjadi contoh dampak kerusakan ekosistem gambut akibat aktivitas perusahaan tidak sepenuhnya bisa mendapatkan perlindungan hukum. Tanpa adanya penegakan hukum preventif (bukan represif setelah bencana terjadi), masyarakat akan terus menjadi korban.