Oleh Admin
dari Pantau Gambut
Rumus berkebalikan yang dipopulerkan Joko Widodo kembali terlihat pada Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT ke-79 Republik Indonesia. Sebuah rumus yang menyebutkan untuk selalu melihat kebalikan dari yang disampaikan Presiden Jokowi.
©EMedia DPR RI 2024
©EMedia DPR RI 2024

Pantau Gambut mencatat setidaknya tiga poin pidato yang berakhir pada antitesis: 1) ketangguhan dalam menghadapi perubahan iklim, 2) Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digadang meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri, dan 3) keadilan restoratif. 

Ketiga poin tersebut merupakan catatan yang didapatkan dari Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Gedung Nusantara, Jakarta, tanggal 16 Agustus 2024. Dengan percaya diri, Jokowi menyebutkan beberapa poin pencapaian pemerintah pada berbagai aspek. Namun, rumus berkebalikan nyata adanya. 

Pernyataan pertama Jokowi yang berkebalikan dengan realita adalah ketangguhan bangsa Indonesia yang terbukti dari daya tahan menghadapi perubahan iklim. Nyatanya, Indonesia semakin menjauhkan diri dari upaya penahanan laju peningkatan suhu bumi di angka 1,5 derajat celcius seperti komitmen pemerintah dalam Perjanjian Paris. Wahyu Perdana, Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut menyebut, “Melampaui ambang batas suhu rata-rata bumi yang layak huni dengan membiarkan karhutla terus terjadi tentu saja bukan daya tahan menghadapi perubahan iklim.” 

Hingga penghujung masa pemerintahan Jokowi, Indonesia terus saja digempur oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dua karhutla besar pun terjadi pada masa kepemimpinannya. Data yang kami himpun dari KLHK menyebutkan kejadian kebakaran Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) seluas 1,3 juta hektare di tahun 2015. Sementara, karhutla besar kedua yang terjadi pada 2019 membakar 735.718 hektare KHG. Sepanjang tahun 2023, Pantau Gambut menemukan area indikatif kebakaran hutan dan lahan di area KHG seluas 524.869 hektare, angka yang mendekati 8 kali luas Provinsi Jakarta. Dan yang terbaru, 2.023 dari 6.284 titik panas yang tercatat, terjadi di wilayah milik perusahaan yang tersebar pada 229 KHG hingga Juli 2024. 

Pembakaran lahan gambut pada KHG Pulau Rupat, Provinsi Riau ©Pantau Gambut 2024
Pembakaran lahan gambut pada KHG Pulau Rupat, Provinsi Riau ©Pantau Gambut 2024

Rumus berkebalikan juga berlaku pada pernyataan PSN sebagai faktor peningkat produktivitas pangan dalam negeri. Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional Berbasis Food Estate justru menjadi sumber konflik alih-alih memenuhi kepentingan rakyat. Salah satu yang paling mencolok adalah program Food Estate di Kalimantan Tengah. Seperti terobsesi untuk melakukan proyek raksasa, pemerintah hendak mengulangi kesalahan yang sama dengan melakukan perluasan di area eks-PLG sejuta hektare untuk penanaman padi, singkong, dan jagung skala besar.  

Pelaksanaan program ini sama sekali tidak melibatkan pengetahuan pangan lokal dan minim partisipasi masyarakat. Selain benih tanaman yang “dipaksakan” karena tidak sesuai dengan karakteristik lahan, penyerobotan lahan warga juga sarat terjadi. Bahkan, berdasarkan analisis Pantau Gambut terhadap data KLHK, pada 2023 terdapat 91.352 hektare lahan yang terbakar di area eks-PLG. Angka ini mendekati luas area terbakar di kawasan yang sama pada El-Nino 2019 yang mencapai 153.193 hektar. Area yang seharusnya direstorasi tapi ditengarai malah menjadi area proyek Food Estate. 

Areal kegiatan program ekstensifikasi Food Estate di Kab. Kapuas ©WALHI Kalteng 2023
Areal kegiatan program ekstensifikasi Food Estate di Kab. Kapuas ©WALHI Kalteng 2023

Presiden juga membanggakan penguatan restorative justice yang pada nyatanya disalahgunakan agar menjadi alasan untuk mengampuni para perusak lingkungan. Wahyu menanggapi, “Praktik ini menjadi terlampau menyederhanakan konsep pertanggungjawaban hukum.” Hal ini dapat dilihat pada pemutihan 3,3 juta hektare area perusahaan perkebunan sawit dalam kawasan hutan berkat Pasal 110a dan Pasal 110b UU Cipta Kerja. Sebuah kawasan yang ilegal menjadi perkebunan sesuai dengan Pasal 92 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. 

Kegiatan ilegal tersebut seharusnya memberikan sanksi pidana kepada perusahaan. Nyatanya, perusahaan hanya perlu menyelesaikan sanksi administratif karena penerapan asas ultimum remidium pada UUCK. Asas yang mengedepankan sanksi administrasi sebelum sanksi pidana. Wahyu menambahkan, “Pengenaan sanksi administratif semestinya tidak serta merta menghapuskan tanggung jawab pidana terhadap korporasi yang selama ini beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan.” 

Kemerdekaan bukan sekadar seremonial mahal, tapi Indonesia juga harus benar-benar merdeka dari perusak alam. Meski mencintai Indonesia tidak mudah, tapi ada alam yang kita cinta. Alam yang semestinya untuk semua warga Indonesia, untuk kita semua. Bukan untuk sekelompok orang saja. Selamat ulang tahun Indonesia! 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.