Karhutla Bulan Agustus Melonjak Tinggi
Oleh AdminDua tahun telah berlalu sejak Presiden Joko Widodo mengeluarkan Pepres no. 1 Tahun 2016, awal mula komitmen presiden untuk merestorasi 2 juta hektar lahan gambut di 7 provinsi prioritas. 19 LSM yang tergabung dalam Simpul Jaringan Pantau Gambut mengajukan 5 rekomendasi untuk mencapai target restorasi gambut dalam laporan bertajuk “Suara dari Garda Depan Perlindungan Gambut di 7 Provinsi: Evaluasi 2 Tahun Restorasi Gambut.”
JAKARTA (13 Februari 2018) – Dua tahun telah berlalu sejak Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden no. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut, yang menjadi awal mula komitmen presiden untuk merestorasi 2 juta hektar ekosistem lahan gambut yang terdegradasi di 7 provinsi prioritas. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Restorasi Gambut (BRG), Badan Perencanaan Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, serta beberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan beberapa kebijakan dan melaksanakan program untuk mendukung terwujudnya target restorasi tersebut.
Namun, pemantauan independen yang dilakukan oleh 19 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di 7 provinsi prioritas restorasi menemukan masih banyak ruang untuk meningkatkan kinerja restorasi gambut yang sudah terbilang baik. Berangkat dari temuan pemantauan di lapangan, 19 LSM yang tergabung dalam Simpul Jaringan Pantau Gambut mengajukan 5 rekomendasi untuk mencapai target restorasi gambut yang tertuang dalam laporan bertajuk “Suara dari Garda Depan Perlindungan Gambut di 7 Provinsi: Evaluasi 2 Tahun Restorasi Gambut.”
Pertama, restorasi gambut memerlukan koordinasi yang lebih baik antar kementerian dan lembaga di tingkat nasional maupun daerah. Restorasi gambut bukan hanya tugas BRG, tetapi juga KLHK, Kementerian Pertanian, Pemerintah Provinsi, dan Tim Restorasi Gambut Daerah.
“Minimnya koordinasi dapat menyebabkan tumpang tindih pekerjaan antar lembaga. Misalnya, Simpul Jaringan Pantau menemukan bahwa Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) yang harus disusun oleh KLHK berpotensi mengalami duplikasi dengan Rencana Restorasi Ekosistem Gambut (RREG) yang sedang dilaksanakan oleh BRG. Kedua perencanaan ini harus dikoordinasikan agar dapat menunjang satu sama lain dan tidak menjadi hal yang terpisah,” ujar Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Lebih lanjut Yohanes Akwan, Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Papua mengatakan, “Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah juga harus bersinergi dengan KLHK dan BRG, khususnya dalam hal penegakkan aturan restorasi gambut di kawasan budidaya, yang merupakan 87% dari total areal prioritas restorasi gambut.”
Kedua, restorasi gambut memerlukan transparansi data dalam proses pelaksanaannya untuk memungkinkan partisipasi dan pengawasan publik.
“Walau UU no. 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjamin hak dan kesempatan yang sama untuk masyarakat berperan aktif dalam perlindungan lingkungan hidup, Simpul Jaringan Pantau Gambut masih mengalami kesulitan untuk mengakses informasi rinci tentang restorasi gambut. Misalnya, Simpul Jaringan memerlukan lokasi rinci intervensi BRG untuk memverifikasi dampak restorasi. KLHK juga perlu untuk menyediakan data publik tentang perusahaan yang harus melakukan restorasi dan telah mengumpulkan revisi Rencana Kerja Usaha (RKU),” ujar Sarah Agustiorini, Juru Kampanye, Kaoem Telapak.
Ketiga, restorasi gambut juga perlu memasukkan program peningkatan pemahaman dan pembangunan kapasitas masyarakat terhadap restorasi gambut agar dampak restorasi dapat berkesinambungan pasca 2020.
“BRG telah berupaya mengatasi isu ini dengan pembentukan Desa Peduli Gambut. Tetapi, Simpul Jaringan menemukan bahwa masih ada desa-desa yang merupakan lokasi terjadinya kebakaran pada tahun 2015 dan lokasi tindakan restorasi masih belum menjadi bagian Desa Peduli Gambut (DPG) seperti Desa Guntung Payung di Kalimantan Selatan. DPG juga belum menyentuh hal-hal penting, seperti penyelesaian konflik karena beberapa DPG yang ditemui berada jauh dari konflik lahan,” ujar Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan.
Romesh Irawan, Direktur Eksekutif Kaliptra Andalas lebih lanjut menjelaskan, “Melalui hasil wawancara Simpul Jaringan dengan warga setempat, kegiatan restorasi tidak melibatkan masyarakat secara menyeluruh. Misalnya, dalam pembuatan sumur bor yang hanya melibatkan pemerintah desa dan tidak melibatkan masyarakat yang terdampak langsung restorasi, sehingga masyarakat tidak mengetahui manfaat dan cara penggunaan sumur bor atau tidak mempunyai alat tambahan untuk menggunakannya.”
Almo Pradana, Manajer Proyek Restorasi Gambut di WRI Indonesia menambahkan, “Kapasitas Unit Pengelola Restorasi Gambut (UPRG) yang terdiri dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD), pelaku usaha, dan masyarakat juga perlu ditingkatkan agar mereka dapat menyusun dan mengimplementasikan rencana restorasi gambut dan mengelola dana restorasi gambut di daerah masing-masing secara mandiri dan terpadu.”
Rekomendasi keempat terkait dengan penguatan supervisi aktivitas restorasi gambut yang dilakukan oleh perusahaan. Enam puluh persen dari total 2,4 juta hektar area prioritas restorasi gambut berada di wilayah konsesi. Berdasarkan PP no. 57 Tahun 2016 dan Permen LHK no. 14 Tahun 2017, perusahaan diwajibkan melakukan pemulihan atas lahan gambut yang rusak karena aktivitas korporasi baik di dalam maupun di luar areal usaha.
“Namun, menurut pengamatan Simpul Jaringan Daerah, selama ini agenda restorasi gambut lebih banyak terdengar di wilayah kelola masyarakat dibandingkan dengan wilayah izin usaha. Misalnya, restorasi di konsesi perusahaan di Sum-Sel mencapai sekitar 458.430 hektar dari total luasan target 594.230 hektar. Namun, hingga kini kami belum mendapat rincian data dan informasi terkait tindak lanjut dan upaya yang dilakukan para pemegang izin dalam melaksanakan restorasi gambut di areal target tersebut,” ujar Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan.
Hadi menyarankan agar pelaksanaan komitmen pemegang izin harus dipercepat dan dipertegas, misalnya dengan memberikan batas waktu yang jelas untuk penyerahan revisi Rencana Kerja Usaha dan memberikan sanksi bagi yang melanggar.
Rekomendasi terakhir adalah kegiatan restorasi perlu mengakomodasi pengetahuan lokal karena masyarakat dengan kearifan lokalnya terbukti mampu mengelola wilayahnya. Modal dasar dari masyarakat ini dapat menjadi salah satu acuan untuk dikembangkan oleh para pihak secara berkesinambungan termasuk dalam memastikan kesejahteraan masyarakat di lahan gambut.
“Di Desa Mantangai Hulu, Kalimantan Tengah, kami mengidentifikasi kegiatan ekonomi masyarakat yang berpotensi untuk kegiatan restorasi gambut, seperti beternak ikan, budidaya purun untuk dijadikan kerajinan tangan, dan budidaya jelutung. Hal tersebut merupakan pengetahuan lokal yang telah berlangsung turun-temurun. Oleh karena itu, rencana restorasi gambut perlu juga mempertimbangkan kearifan lokal di masing-masing daerah,” ujar Dimas Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah.
Pada akhirnya, rekomendasi ini ditujukan kepada para instansi pemerintah terkait, mulai dari KLHK, BRG, Pemerintah Daerah di 7 Provinsi, Kementerian Pertanian, Badan Perencanaan Nasional, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional karena Simpul Jaringan Pantau Gambut percaya bahwa restorasi gambut merupakan tugas bersama dan bukan hanya tanggung jawab satu organisasi.
“Tugas restorasi gambut merupakan perjalanan panjang yang tidak dapat diselesaikan hanya dalam waktu 5 tahun dan pastinya tidak dapat juga hanya dibebankan di pundak satu organisasi yang bersifat ad-hoc. Restorasi gambut ini harus diinstitusionalisasikan ke dalam setiap kementerian dan lembaga di tingkat nasional dan daerah,” ujar Almo.
Laporan ini disusun berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan oleh Simpul Jaringan Pantau Gambut di tingkat nasional dan daerah. Laporan ini dapat diunduh secara gratis di pantaugambut.id/laporan-tahunan, yang merupakan platform publik untuk memantau perkembangan restorasi gambut. Platform pantaugambut.id juga menampilkan pemantauan komitmen restorasi gambut secara berkala; peta aktivitas restorasi yang dilakukan oleh pemerintah, pelaku usaha, dan LSM; berbagi cerita yang merupakan wadah untuk berbagi hikmah ajar terkait restorasi gambut; dan juga fitur pelajari untuk pengetahuan dasar mengenai gambut.