Oleh Almi Ramadhi, Agiel Prakoso, Juma Maulana, Wahyu Perdana, Abil Salsabila, Johan Wahyu Inzar Robiya, Yoga Aprillianno, Iola Abas
dari Pantau Gambut
Melalui peluncuran studi "Gelisah di Lahan Basah: Korporasi, Pemerintah, dan Semua Komitmen Kosong Restorasi Gambutnya", Pantau Gambut memaparkan banyaknya infrastruktur restorasi gambut yang tidak sesuai standar.
Launching Gelisah di Lahan Basah

Almi Ramadhi, Data Analyst Pantau Gambut menjelaskan, “Banyak infrastruktur pembasahan seperti sekat kanal dan sumur bor yang rusak. Di beberapa sampel titik pengamatan juga ditemukan gambut yang kering karena tidak memenuhi standar Tinggi Muka Air Tanah (TMAT) agar tidak lebih dari 40 cm.”

Pemantauan restorasi gambut dilakukan pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang tersebar di tujuh provinsi, yaitu Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. Lokasi studi dibedakan berdasarkan dua jenis lokasi: 1) area konsesi yang menjadi tanggung jawab perusahaan dan 2) area non-konsesi yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan restorasi gambut.

Tercatat 95% dari 289 titik sampel gambut non-konsesi di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar (burned area) dan kehilangan tutupan pohon (Tree Cover Loss/TCL), telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering dan semak belukar. Sawit menjadi komoditas paling dominan. Yang menyedihkan, penutupan lahan menjadi hutan tidak mendapatkan perhatian karena hanya ditemukan pada 3% area sampel.

Diagram Proporsi Tutupan Lahan di Area Restorasi Pemerintah

Kondisi yang jauh memprihatinkan ditemukan pada area konsesi perusahaan. Hanya 1% dari 240 titik sampel area konsesi yang kembali menjadi hutan meski pernah terbakar dan mengalami kehilangan tutupan pohon. Ironisnya, kondisi tersebut terjadi di beberapa area perusahaan yang kerap memiliki masalah konflik sosial seperti PT Mayawana Persada (MP) di Kalimantan Barat dan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di Sumatera Selatan.

Diagram Proporsi Tutupan Lahan di Area Restorasi Korporasi

Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana menyebutkan, “Kewajiban pencegahan, penanganan saat kebakaran, hingga pemulihan area yang telah terbakar menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan, bukan malah dilimpahkan kepada masyarakat.” Kewajiban untuk mengembalikan lahan gambut yang rusak kembali menjadi hutan mengacu pada PP Nomor 57 Tahun 2016 jo. PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Semua temuan yang ada pun berkontradiksi dengan klaim keberhasilan pemerintah Indonesia dalam merestorasi gambut seperti yang dijelaskan pada dokumen The State of Indonesia’s Forest 2024 yang baru dirilis KLHK pada 20 Juli 2024. Selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi, restorasi gambut telah menjadi ujian dalam upaya perlindungan lingkungan. Meski begitu, bukan berarti klaim keberhasilan hanya dilihat dari angka pelaksanaan proyek semata, namun juga betul-betul memperhatikan dampak kepada sebanyak-banyaknya pihak.

Wahyu menambahkan, “Jangan sampai klaim keberhasilan ini hanya menjadi alat pencitraan pada komitmen global.” Kontradiksi antara klaim dengan temuan di lapangan ini menjadi bukti semakin menebalnya kesenjangan antara kebijakan restorasi dan realitas implementasi strategi perlindungan ekosistem gambut di Indonesia.

Terdapat lima hal penting yang Pantau Gambut dorong:

  1. Pemerintah harus memenuhi asas tanggung jawab negara (state responsibility). Pemerintah wajib melaksanakan kewajiban perlindungan gambut dan tidak melimpahkan tanggung jawab begitu saja kepada masyarakat.

  2. Pemerintah harus melakukan langkah pencegahan sebagai upaya penegakan hukum. Langkah penegakan hukum harus menjadi prioritas utama tanpa perlu menunggu terjadinya karhutla terlebih dahulu. Setiap orang dengan tindakan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
  3. Korporasi harus bertanggung jawab mutlak pada area konsesinya. Korporasi harus segera menangani kerusakan ekosistem gambut sesuai standar yang berlaku. Ini mencakup pemulihan ekosistem secara menyeluruh.
  4. Korporasi harus membuktikan klaim keberlanjutan secara berkala dan transparan. Klaim keberlanjutan tidak bisa hanya diukur berdasarkan angka pelaksanaan proyek maupun sertifikasi keberlanjutan saja. Klaim harus diimbangi oleh uji lingkungan secara berkala dan transparan.
  5. Lembaga pembiayaan harus mengetatkan audit lingkungan. Lembaga pembiayaan harus membatasi perusahaan yang tercatat pernah melakukan perusakan ekosistem gambut. Audit lingkungan yang ketat harus dilakukan sebelum perusahaan dapat mengakses pembiayaan baru.

Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut menutup, “Sebuah tanggung jawab harus diselesaikan oleh siapapun tanpa terkecuali, termasuk bagaimana menuntaskan komitmen mengembalikan ekosistem gambut menjadi lestari kembali.”

Catatan

Anda bisa mendapatkan foto-foto dokumentasi pemantauan lapangan melalui tautan berikut.

Kontak Media

Jika Anda membutuhkan panduan maupun konsultasi terkait dengan publikasi ini, Anda dapat menghubungi:

Abil Salsabila – [email protected]
Yoga Aprillianno –  [email protected]

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.