Oleh Admin
dari Pantau Gambut
Jelang pertemuan G20 dan COP 27, pemerintah RI justru menunjukkan kemunduran pada perlindungan lingkungan dan komitmen iklim.
©Pantau Gambut
©Pantau Gambut

Jumat (4/11/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) dkk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah dengan nomor perkara 980 PK/PDT/2022. Di perkara itu, Jokowi divonis Mahkamah Agung (MA) telah melakukan perbuatan melawan hukum pada kasus karhutla tahun 2015. Duduk sebagai pemohon PK yaitu: (1) Negara cq Presiden RI cq Mendagri cq Gubernur Kalteng (2) Negara cq Presiden RI cq Menteri KLHK (3) Negara cq Presiden RI.

Secara singkat, putusan gugatan karhutla tersebut berisi perintah pengadilan kepada tergugat untuk mengeluarkan peraturan-peraturan dalam upaya menanggulangi dan menghentikan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah. Selain itu, tergugat juga wajib melindungi warga negara dari ancaman karhutla, termasuk di dalamnya membangun fasilitas kesehatan. Dengan pengajuan upaya hukum luar biasa, justru menjadi pertanyaan terhadap komitmen pemerintah pada perlindungan lingkungan dan komitmen iklim, termasuk di dalamnya upaya perlindungan ekosistem gambut.

Upaya hukum luar biasa ini bukan hal mengejutkan. Negara berulang kali melakukan kasasi pada tingkat sebelumnya dan ditolak dengan putusan memenangkan Citizen Lawsuit (CLS) pada Juli 2019. Upaya PK ini semakin memperpanjang deretan langkah mundur pemerintah dalam perlindungan lingkungan hidup dan iklim, termasuk di dalamnya komitmen terhadap restorasi dan perlindungan ekosistem gambut. Pantau Gambut memandang hal tersebut dilatarbelakangi 3 argumentasi mendasar di bawah ini:

  1. Upaya PK ini menjadi contoh buruk bagi deretan korporasi yang diputus bersalah dalam kasus KARHUTLA, dan banyak diantaranya yang belum dieksekusi hingga sekarang.
  2. Upaya PK akan meresikokan ekosistem gambut yang berdampak signifikan pada perubahan iklim. Sebagai catatan,olah data Pantau Gambutterhadap data kebakaran gambutmilik KLHK tahun 2015 dan 2019, menunjukkan 14% area terbakar berada di Provinsi Riau, 36% berada di Provinsi Kalimantan Tengah (dimana gugatan CLS terhadap kasus karhutla diajukan), dan sisanya tersebar pada provinsi gambut lainnya.
Secara subtansi,gugatan Citizen Lawsuit (CLS) di Kalimantan Tengah adalah mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan terhadap tata kelola pemerintahan yang baik. Tujuannya untuk memastikan pencegahan kerusakan lingkungan, pemulihan lingkungan,dan pemulihan hak-hak rakyat di tengah kondisi darurat ekologis. Dimana, kawasan hutan dan ekosistem gambut yang rusak dan menurun fungsinya karena deforestasi yang dilakukan oleh korporasi dan proyek pemerintah, mengakibatkan bencana ekologis banjir dan karhutla berulang setiap tahun.
Bayu Herinata (Direktur Walhi Kalimantan Tengah)

Upaya PK justru menunjukkan lemahnya komitmen iklim dan perlindungan ekosistem gambut yang terdampak karhutla dan berdampak signifikan pada pemanasan global, terlebih pasca disahkannya Omnibus Law, dan hilangnya kewenangan supervisi konsesi oleh BRGM. Diajukannya PK jelang COP 27 mengingatkan pernyataan menteri KLHK di depan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia)pada tahun 2021 di Glasgow, “Pembangunan besar-besaran di era Presiden Joko Widodo, tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi.”

Mempertimbangkan hal di atas, Pantau Gambut mengecam upaya PK dari Presiden tersebut. Kami memandang bahwa:

  1. Gugatan warga negara (CLS) pada kasus karhutla, pencemaran udara di Jakarta,dan lain sebagainya, harus dilihat sebagai upaya warga negarauntukmengingatkan pemerintah akan kelalaian pada mandat dan kewajibannya untuk menyediakan udara bersih dan menjaga lingkungan hidup yang sehat.
  2. Pantau Gambut melihat upaya hukum dari gugatan rakyat tersebut adalah upaya warga negara yang peduli, untuk mengingatkan negara menjalankan mandatnya. Sehingga, hal ini bukanlah soal kalah atau menang, apalagi menjadi malu dan marah karena diingatkan oleh rakyat melalui mekanisme legal. Pengajuan PK dan perlawanan hukum dari pemerintah justru menjelaskan watak aparatur negara yang tidak mau mendengar peringatan dan permintaan dari rakyat yang harusnya mereka urus dan layani.
  3. Pengajuan PK ini menjadi cerminan akan ketidakpahaman negara pada mandat dan kewajibannya. Dengan perlawanan yang dilakukan oleh pemerintah, justru menjelaskan bahwa terdapat pelanggaran hak asasi milik masyarakat dalam mendapatkan lingkungan hidup yang sehat di Indonesia.
  4. Pantau Gambut meyakini perlawanan pemerintah atas putusan MA ini harus menjadi perhatian Presiden. Karena sesungguhnya, meninjau pelanggaran izin konsesi, mendirikan rumah sakit bagi korban karhutla, membuat perencanaan pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik, dan menyelamatkan ekosistem gambut di Indonesia, adalah mandat dan tanggung jawab pemerintah tanpa harus diminta dan diingatkan oleh warga negara.

 

Jika Anda membutuhkan panduan maupun konsultasi terkait dengan publikasi ini, Anda dapat menghubungi:  

Wahyu A Perdana  082112395919    Campaigner Pantau Gambut 
Yoga Aprillianno     081390203344    Media Campaigner Pantau Gambut 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.