Fakta di Balik Kebakaran Gambut Wilayah Korporasi
Oleh Agiel Prakoso dan Rahmah Devi HapsariDalam perjalanannya, proyek Food estate ini banyak menuai pro dan kontra. Kritik awal yang banyak dikeluarkan oleh sejumlah ahli dan pemerhati lingkungan ialah mengenai lokasi perencanaan untuk pengembangan Food Estate merupakan kawasan eks-PLG yang didominasi oleh gambut. Kawasan eks PLG merupakan kawasan yang dulunya pernah digunakan untuk pembangunan lumbung pangan namun mengalami kegagalan, sehingga banyak yang mempertanyakan mengapa masih saja menggunakan kawasan gambut untuk area Food Estate, padahal proyek yang serupa pernah gagal dan meninggalkan kerusakan parah pada ekosistem serta mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Alih-alih memperbaiki dan memulihkan kondisi lahannya, proyek ini malah diulang kembali di kawasan yang sama.
Sejumlah kritik dan saran lainnya terkait isu transparansi data hingga permasalahan skema bagi petani yang akan mengelola lahan Food estate juga banyak digulirkan. Namun, proyek ini tetap berjalan.
Dari sisi regulasi, proyek Food Estate juga banyak mengalami kejanggalan dan dianggap maladministrasi. Proyek Food Estate ini tidak ada dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024. Dokumen RPJMN sudah ditandatangani pada bulan Januari 2020 namun Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Food Estate baru ada di November 2020, setelah proyek berjalan di sejumlah daerah. Kemudian keluarnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate yang kemudian diubah menjadi Permen LHK Nomor 7/2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan yang berpotensi bertentangan dengan UU 41/1999 tentang kehutanan.
Hal yang paling kontroversial dan banyak diperbincangkan dalam Permen LHK 24/2021 adalah mengenai ancaman kawasan lindung yang dapat dimanfaatkan untuk proyek Food estate. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.7 tahun 2021 pasal 485 menyebutkan bahwa “kawasan hutan lindung yang sepenuhnya sudah tidak berfungsi lindung dapat dijadikan sebagai kawasan untuk kegiatan Food estate”, menjadi perbincangan dan perdebatan sejumlah pengamat karena bertentangan dengan pengertian Kawasan lindung sesuai Undang-Undang Kehutanan. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan, kenapa pemerintah tidak melakukan kegiatan pemulihan Kawasan lindung yang tidak lagi berfungsi lindung dan malah justru dimanfaatkan untuk kegiatan proyek Food estate?
Untuk melihat adanya indikasi ancaman pada area lindung, Pantau Gambut mencoba menganalisis data indikasi kehilangan tutupan pohon dari tahun 2020-2022 yang ada di 3 Kabupaten di Kalimantan Tengah, yakni Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Gunung Mas yang termasuk kedalam area awal pengembangan proyek Food estate.
Untuk kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, Pantau Gambut menumpang tindihkan area indikasi kehilangan tutupan pohon dengan peta no go zone yaitu peta indikatif kawasan dengan nilai konservasi tinggi yang perlu dilindungi dan dihindari dalam pengembangan proyek food estate dengan menganalisa tiga kriteria, yakni lahan gambut dengan kedalaman > 1 meter, lahan gambut bervegetasi hutan (primer dan sekunder) dan lahan gambut dengan fungsi lindung.
Hasilnya sudah terprediksi, terdapat indikasi kehilangan tutupan pohon selama periode tahun 2020-2022 di beberapa desa di 3 Kabupaten tersebut, bahkan beberapa diantaranya mencapai luas sebesar 100 hektar lebih atau setara 125 kali luas lapangan sepak bola. Pada Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas juga terdapat area terindikasi kehilangan tutupan pohon yang masuk ke dalam area no go zone, yang berarti terdapat indikasi bahwa proyek Food estate berlangsung di area yang seharusnya perlu dilindungi.
Setelah itu, Pantau Gambut mengambil data di lima desa dengan luasan kehilangan tutupan pohon dalam jumlah terbesar tiap tahunnya di 3 Kabupaten tersebut.
Dari data yang di tabel 2, terlihat bahwa indikasi kehilangan tutupan pohon dengan luasan terbesar terjadi pada tahun 2020 yang didominasi di Kabupaten Pulang Pisau dan Gunung Mas dengan luasan mencapai 717,84 ha, dan area terluas berada di Desa Garung, Kabupaten Pulang Pisau dengan estimasi luasan mencapai 143,28 ha. Seperti yang ditampilkan pada gambar 1, area yang terdeteksi oleh citra (titik ungu) berada di area peta no go zone (hijau) yang seharusnya perlu dilindungi dan dihindari dalam pengembangan proyek food estate.
Pada tahun 2021, masih terdapat adanya indikasi kehilangan tutupan pohon di 3 Kabupaten namun tidak seluas di tahun 2020 yaitu sekitar 293, 67 hektar dengan area terluas terdapat di desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau seluas 113,49 hektar. Sama halnya dengan di Desa Garung, hasil identifikasi pada Desa Tumbang Nusa juga masuk ke dalam area peta no go zone.
Pada tahun 2022, indikasi kehilangan tutupan pohon di 3 Kabupaten tersebut cenderung sedikit, ini disebabkan karena periode data yang digunakan di tahun 2022 hanya bulan Januari-Maret, diperlukan analisa dengan data yang terkini hingga akhir tahun 2022 untuk bisa melihat total indikasi kehilangan tutupan pohon di tahun 2022. Pembukaan lahan terbesar di tahun 2020 berada di Kabupaten Gunung Mas di desa Tewai Baru. Hasil visualisasi spasial (Gambar 3) menunjukkan di desa Tewai Baru (selama periode Januari-Maret) terdapat area terindikasi kehilangan tutupan pohon (titik kuning) dengan estimasi luasan mencapai 17,14 ha yang tersebar di beberapa titik.
Dari data indikasi kehilangan tutupan pohon, Pantau Gambut melakukan verifikasi lebih lanjut untuk melihat lokasi yang terindikasi terdapat kehilangan tutupan pohon melalui citra satelit untuk melihat penampakan foto-foto perubahan tutupan lahan dari lokasi-lokasi tersebut.
Hasilnya, terdapat perubahan bentang lahan di beberapa lokasi yang terindikasi kehilangan tutupan pohon tersebut. Meskipun beberapa diantaranya menunjukkan hasil “false positive”
Verifikasi dari citra satelit ini dibagi dalam dua kategori, yaitu:
Pada kategori ini, hasil visualisasi citra satelit tidak terlihat indikasi perubahan bentang alam dan pembukaan lahan. Hal ini dapat terjadi apabila:
a. Kehilangan tutupan pohon terjadi akibat kebakaran sebelum adanya wacana proyek Food estate
Berdasarkan hasil visualisasi citra satelit, kehilangan tutupan pohon yang berada di desa Garung diduga akibat terjadinya kebakaran besar pada bulan September tahun 2019 yang semula lahan berwarna hijau berubah menjadi coklat gosong. Kebakaran tersebut terjadi sebelum adanya wacana pembangunan proyek Food estate sehingga diduga kebakaran yang terjadi bukan dikarenakan pembukaan lahan baru untuk proyek Food estate.
b. Area yang diamati merupakan lahan perkebunan/pertanian sehingga pembukaan lahan yang terjadi adalah karena pemanenan
Pada kasus ini, dari hasil verifikasi citra satelit, area terindikasi kehilangan tutupan pohon tersebut ternyata memang merupakan area yang diperuntukkan untuk perkebunan/pertanian masyarakat, sehingga diduga kehilangan tutupan pohon yang terjadi adalah akibat dari aktivitas pemanenan. Terlihat pada gambar gambar 5, area yang diamati memang merupakan area perkebunan yang ditandai dengan visualisasi irigasi yang terstruktur. Kegiatan pemanenan yang dilakukan membuat area yang semula berwarna hijau berubah menjadi coklat sehingga data indikasi pembukaan tutupan pohon mengindikasikan terjadinya kehilangan tutupan pohon.
Pada kategori ini, pengamatan dari data kehilangan tutupan pohon yang kemudian diverifikasi melalui citra satelit menunjukkan adanya indikasi pembukaan lahan di area bervegetasi lebat
Dari hasil verifikasi citra terlihat bahwa dalam periode 4 tahun (2019-2022) telah terjadi perubahan bentang lahan di lokasi yang diamati. Terlihat bahwa lahan yang sebelumnya tertutup vegetasi di tahun 2019, mulai dibuka, yang ditandai dengan area berwarna hijau yang berubah menjadi warna kecoklatan secara terstruktur dan masif.
Pada gambar 6, terlihat kehilangan tutupan pohon secara masif di Desa Sepang Kota, Kabupaten Gunung Mas. Pembukaan lahan ini sudah terjadi dari tahun 2019 dan terus berlanjut hingga tahun 2022. Meskipun saat ini belum diketahui peruntukan lahannya digunakan untuk apa, namun pembukaan yang tergambarkan oleh citra satelit ini terlihat sangat merusak dan membahayakan ekosistem gambut yang ada.
Pada gambar 7, kehilangan tutupan pohon yang berada di Desa Tumbang Nusa terlihat jelas seperti pembukaan lahan untuk peruntukan persawahan. Terlihat jelas dari awal mula tahun 2020 kondisi lahan masih bervegetasi ditandai dengan warna hijau kemudian dibuka dan berubah menjadi area persawahan di akhir tahun 2020. Pembukaan lahan yang terjadi di Desa Tumbang Nusa juga masuk kedalam area no go zone (hijau) yang seharusnya tidak boleh dimanfaatkan atau dibuka untuk kegiatan Food estate.
Selain mengidentifikasi data kehilangan tutupan pohon, Pantau Gambut juga melakukan analisis citra satelit mengenai titik lokasi pengembangan Food Estate padi untuk melihat perubahan bentang alam yang terjadi di area tersebut. Data titik koordinat lokasi ekstensifikasi Food Estate padi didapatkan melalui dokumen laporan hasil survey tim Universitas Palangkaraya.
Hasilnya, banyak area bervegetasi lebat yang kemudian berubah menjadi area persawahan. Terlihat dari citra satelit yang sebelumnya menggambarkan penampakan lahan berwarna hijau pada tahun 2019 yang kemudian berubah menjadi kecoklatan dan terstruktur seperti area persawahan pada tahun 2021 hingga 2022 (Gambar 8 dan 9). Meskipun area titik koordinat ekstensifikasi sawah banyak yang tidak masuk ke dalam area no go zone (hijau), namun diperlukan kajian lanjutan oleh Pemerintah dan Akademisi serta pengawasan dalam pelaksanaannya dalam bentuk monitoring dan evaluasi agar pengelolaan lahan yang berada di kawasan tersebut tidak merusak ekosistem gambut yang ada.
Dari hasil analisa ini diperlukan kajian dan verifikasi lapangan lebih lanjut untuk mengetahui dan memastikan kegiatan-kegiatan yang terjadi di lapangan terutama pada area terindikasi adanya kehilangan tutupan pohon, apakah benar adanya kegiatan deforestasi untuk pembangunan proyek Food estate ini. Implementasi proyek Food estate harus terus dikawal agar tidak merusak ekosistem gambut dan kelestarian lingkungan yang ada di sekitarnya, karena masyarakatlah yang nantinya akan menanggung dan merasakan dampak dari kegiatan yang merusak ekosistem gambut dan lingkungan.