Oleh Admin
dari Pantau Gambut
Tahun 2023 menjadi tahun terakhir Joko Widodo merayakan ulang tahunnya sebagai presiden. Di akhir masa pemerintahannya, mudah ditemui lembaga survei yang menyebutkan jika kinerjanya tergolong memuaskan.
©Sekretariat Kabinet RI
©Sekretariat Kabinet RI

Sebut saja Lembaga Survei Nasional (LSN) yang merilis angka kepuasan kinerja Jokowi mencapai 72,5% dari total responden atau Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebut angka kepuasan menyentuh 82% pada April 2023. Bercermin dari berbagai survei tersebut, sah-sah saja mengakui jika Presiden Jokowi dan jajaran lembaga eksekutif lainnya memang banyak melahirkan kebijakan populis yang berdampak instan kepada masyarakat. Sebut saja salah satunya penerbitan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.

Presiden mencetuskan peraturan tersebut atas dasar konflik menahun antara masyarakat, pemerintah, dan pemilik izin hak guna usaha konsesi perkebunan, hutan tanaman industri (HTI), maupun tambang yang belum diatur oleh peraturan sebelumnya. Program ini pun masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015–2019 sebagai upaya untuk menjawab permasalahan tentang lambatnya pemerataan akses dan distribusi aset sumber daya hutan. Program ini juga diimpikan untuk bisa menyelesaikan konflik kepemilikan hutan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam ataupun di sekitar kawasan hutan.

Selain program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, Jokowi juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2014 juncto PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Peraturan ini menjelaskan batas pemanfaatan gambut dimana tinggi muka air tidak boleh melebihi 40 cm dari permukaan tanah. Peraturan ini menjadi angin segar bagi pemerhati lingkungan karena tanah gambut akan terendam air cukup dalam sepanjang tahun. Hal yang baik untuk mencegah gambut menjadi kering dan rawan terbakar.

Di tahun yang sama, pasca Paris Agreement, Jokowi berambisi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan dan kerjasama internasional. Sektor kehutanan dan tata guna lahan (FOLU) menjadi sektor utama dalam mencapai target tersebut, dengan tujuan mencapai emisi negatif sebesar 15 juta ton.

Untuk mempertegas komitmen penyelamatan gambut, kabinet Jokowi melalui Menteri Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri LHK No. 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut. Permen LHK tersebut mempertegas bahwa kubah gambut adalah komponen yang sangat vital dalam menjaga berjalannya fungsi Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Kubah gambut mendapat pendefinisian dan pengaturan dimana kubah gambut yang berada di dalam area konsesi dan belum dilakukan budidaya wajib dipertahankan sebagai ekosistem dengan fungsi lindung. Dengan kata lain, segala bentuk kegiatan ekstraksi yang dilakukan di atas area tersebut adalah terlarang.

Konflik pun dimulai. Perlu diingat bahwa tidak semua tanaman yang tumbuh di atas gambut adalah tanaman endemik yang mampu hidup di atas tanah basah dengan keasaman tinggi ini. Sistem perakaran spesies tanaman yang berasal dari lahan kering tidak akan mampu bertahan di kedalaman tanah yang terendam air gambut. Sebagai gambaran, tanaman sawit bisa hidup pada rentang pH 4–6,5. Sementara rata-rata tanah gambut memiliki tingkat keasaman tanah 3–4.

Sehingga, tanaman non-endemik yang banyak ditanam di atas gambut oleh konsesi perkebunan jelas akan kesulitan untuk hidup atau bahkan mati. Mau tidak mau pemilik lahan harus membuat kanal untuk mengeringkan gambut, terlebih jika area tanam berada di gambut dalam. Areal usaha yang beroperasi di atas kubah gambut pun dilarang ditanami kembali setelah pemanenan karena keterlanjuran penanaman yang terjadi di area lindung hanya diberikan toleransi satu kali daur tanam. Mereka juga wajib memulihkan fungsi lindung dari kubah gambut yang sudah digunakan.

Berubah Haluan

Kebimbangan para pelaku usaha ekstraktif untuk menanamkan modal pun bermunculan. Keraguan ini terkait dengan ketidakpastian pada izin usaha karena area produksi mereka yang beririsan dengan daerah terlarang ekosistem gambut. Tersendatnya investasi karena jeritan dari pemegang izin konsesi akhirnya membuat Jokowi mengubah haluan. Restorasi ekosistem gambut tidak lagi menjadi prioritas karena menjaga iklim investasi dianggap lebih krusial untuk diselamatkan.

Angin pun ikut berubah arah karena ekosistem gambut menjadi komoditas yang menarik untuk dieksploitasi saat KLHK menerbitkan Permen LHK No. 10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis KHG. Kubah gambut yang sebelumnya menjadi area terlarang untuk dimanfaatkan, diatur ulang untuk memfasilitasi aktivitas industri perkebunan perkebunan ataupun kehutanan. Terlebih bagi perusahaan yang kesulitan berproduksi karena memiliki lebih dari satu kubah gambut di dalam wilayah kekuasaannya.

Uniknya, PP No. 57 Tahun 2016 masih berlaku ketika Permen LHK No. 10 Tahun 2019 disahkan. Standar pembudidayaan kubah gambut pun menjadi ganda. PP No. 57 Tahun 2016 Pasal 9 Ayat 4 mengatur bahwa gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter atau lebih sudah seharusnya dijadikan fungsi lindung. Namun, Pasal 7 Permen LHK No. 10 Tahun 2019 menyebutkan bahwa puncak kubah gambut yang telah dimanfaatkan dapat terus difungsikan jika dalam area tersebut memiliki kubah gambut paling tidak 30% dari seluruh luas KHG. Dengan begitu, pengusaha boleh menggunakan gambut dalam dengan catatan. Padahal, adalah sebuah keniscayaan jika pengeringan kubah gambut untuk perkebunan akan mempengaruhi suplai air pada wilayah gambut di sekitarnya. Hamparan gambut di sekitar kubah gambut akan kekurangan daya dukung air, kering, dan rentan terbakar.

Pemerintah semakin terang-terangan mengobral ekosistem gambut ketika Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK)–sebuah peraturan yang tidak semestinya disahkan karena tiada kedaruratan dalam penerbitannya. Catatan dari Pantau Gambut menyebutkan 857 perkebunan sawit seluas 3,4 juta hektare telah aktif beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya perizinan kehutanan yang sah. Skema kemudahan untuk berusaha di dalam kawasan hutan–termasuk gambut–pun dimuluskan melalui dua skema yang diatur dalam pasal 110A dan 110B. Skema 110A mengatur bahwa perkebunan yang sebelumnya hanya memiliki izin dari pemerintah daerah sebelum UUCK berlaku, hanya perlu membayar biaya administrasi kepada KLHK sebagai kompensasi untuk melegalkan usahanya. Sementara skema 110B membuka peluang bagi perkebunan ilegal untuk mendapatkan izin berusaha hanya dengan membayar sanksi administratif. Padahal jelas bahwa perkebunan tidak boleh beroperasi di kawasan hutan.

Dalam paragraf di atas seolah memojokkan Jokowi karena perannya sebagai presiden yang harus bisa menyenangkan sebanyak mungkin pihak. Pada kenyataannya, peran Jokowi sebagai panutan bagi warga negara pun pantas mendapatkan kritik. Pada Maret 2017, Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya menjatuhkan vonis bersalah kepada Jokowi bersama dengan deretan kementerian dan pemerintah daerah lainnya atas gugatan masyarakat karena kelalaian pemerintah sehingga terjadi karhutla hebat di Kalimantan Tengah tahun 2015. Lima tahun berselang sejak putusan tersebut, Jokowi lolos dari jerat hukum setelah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) pada Bulan Agustus 2022 kepada Mahkamah Agung (MA) dan dikabulkan pada November 2022.

Para terdakwa sebetulnya “hanya” diwajibkan untuk mengeluarkan beberapa peraturan untuk menanggulangi dan menghentikan kebakaran hutan di Kalimantan. Namun, pihak istana melalui Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan pasang badan dengan menyebutkan bahwa Jokowi telah mengambil langkah taktis di lapangan dalam menyelesaikan permasalahan karhutla. Dirinya menyebut bahwa karhutla telah berkurang hingga 98%. Pernyataan tersebut hanya menjadi tameng yang digunakan istana untuk melindungi Jokowi karena nyatanya kerentanan karhutla malah menyebar beberapa bulan kemudian pada tahun 2023.

Di Tengah Kepungan Asap

Perlu digaris bawahi jika lahan gambut yang rusak akan memperparah dampak akibat karhutla. Dalam periode 10 tahun ke belakang, sejarah mencatat setidaknya terjadi dua karhutla besar pada tahun 2015 dan 2019 yang telah membakar jutaan hektare gambut. Pantau Gambut mengkaji kebakaran pada tahun 2015 mencapai 2,6 juta hektare dan pada 2019 kebakaran menyentuh 1,6 juta hektare dimana sekitar 29% karhutla terjadi di lahan gambut. Meskipun luas kebakaran yang terjadi di lahan gambut lebih sedikit dibandingkan lahan non-gambut, karhutla yang terjadi di area bergambut menjadi perhatian karena simpanan karbon yang luar biasa besar. Apabila gambut dikeringkan dan menyebabkan gambut terdegradasi, maka rata-rata 55 metrik ton CO2 akan lepas setiap tahunnya. Dimana, angka tersebut setara dengan membakar lebih dari enam ribu galon bensin. 

Pada tahun 2023, Pantau Gambut mencatat KHG seluas 16,4 juta hektare rentan terbakar dan lebih dari setengah total area tersebut ternyata berada pada wilayah konsesi beserta area penyangganya (buffer zone). Perusahaan dengan hak guna usaha (HGU) perkebunan dan hutan kayu (IUPHHK) mendominasi area yang rawan terbakar. Berdasarkan sebarannya, Provinsi Kalimantan Tengah (1,2 juta hektare) dan Papua Selatan (0,5 juta hektare) menjadi dua provinsi dengan kerentanan tinggi (high risk) terhadap karhutla. Selain dua provinsi tersebut, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Riau menyusul sebagai provinsi yang juga memiliki area dengan kelas high risk terhadap karhutla di area KHG pada tahun 2023 dengan luas masing-masing sekitar 400 ribu hektare.

Peta Kerentanan Karhutla KHG Indonesia. Sumber: Analisis Pantau Gambut 2023.
Peta Kerentanan Karhutla KHG Indonesia. Sumber: Analisis Pantau Gambut 2023.

Dua provinsi di Pulau Kalimantan yang menjadi langganan karhutla terbesar setiap tahunnya memunculkan kekhawatiran pada keberlangsungan dua Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kalimantan, yaitu Ibu Kota Negara (IKN) dan Program Ketahanan Pangan Nasional atau yang biasa disebut dengan Food Estate. Selain harus memikirkan kesiapan Ibu Kota Negara (IKN) sebagai kota hutan pintar, Jokowi juga harus menghadapi kenyataan bahwa lokasi IKN di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, berada di tengah ancaman kepungan asap kebakaran hutan dan lahan dari daerah penyangganya.

Sembilan KHG yang tersebar di seluruh blok eks-proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar yang berada di Provinsi Kalimantan Tengah pun masih berpotensi terus membara. Setelah 20 tahun lebih program cetak sawah sejuta hektare yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto massih menyisakan lahan yang tercabik-cabik akibat kanalisasi, karena restorasi lahan belum juga membuahkan hasil. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah dan, Presiden Jokowi juga mempertegas usaha penanggulangan karhutla melalui PP No. 71 Tahun 2014 Pasal 27 dimana penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan ekosistem gambut yang menyebabkan kerusakan ekosistem gambut di dalam atau di luar areal usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan sesuai kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan. Namun menurut catatan Pantau Gambut, hingga kini setidaknya lahan eks-PLG dengan total luas 989 ribu hektare masih berpotensi terbakar.

Selain IKN, sebagian PSN Food Estate juga dilakukan di Pulau Kalimantan dan Papua. Pada prosesnya, program strategis nasional ini menjadi polemik ketika Menteri KLHK menerbitkan Permen LHK No. 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate. Peraturan tersebut memperbolehkan pembangunan Food Estate dilakukan di hutan produksi dan/atau kawasan hutan lindung. Meskipun aturan tersebut kemudian dicabut dan digantikan dengan Permen LHK No. 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan, secara substantif tidak banyak yang berubah. Bahkan, pada Pasal 485 masih dimungkinkan Food Estate dilakukan pada kawasan hutan lindung.

Melalui Permen LHK tersebut, hampir seluruh area pelaksanaan proyek Food Estate berada di Provinsi Papua Selatan dilakukan di kawasan hutan. Empat kabupaten yaitu Merauke, Mappi, Boven Digoel, dan Yahukimo diproyeksikan menyediakan lahan seluas 2,6 juta hektare untuk kebutuhan lahan program pangan skala besar. Jika peta indikatif lokasi Food Estate ditumpang susunkan (overlay) dengan sebaran gambut, Area of Interest rencana Food Estate pada Kabupaten Mappi, Boven Digoel, dan Merauke beririsan dengan gambut dangkal (kedalaman 50–200 cm). Pantau Gambut menemukan 56% area indikatif Food Estate di Kabupaten Mappi berada dalam kategori berisiko terbakar.

Food Estate di Kalimantan Tengah lebih menyedihkan karena permasalahan ekologi dan sosial-ekonomi sama-sama mengkhawatirkan. Saat melakukan verifikasi citra satelit di Kabupaten Pulang Pisau, Pantau Gambut menemukan kemunculan pola baru pengalihfungsian lahan pada dua desa yang menjadi lokasi pelaksanaan program Food Estate. Lokasi yang berada di Desa Pilang dan Desa Jabiren tersebut merupakan area hutan lindung gambut dengan kedalaman 2–3 meter. Pelanggaran jelas terjadi karena seharusnya pembukaan hutan dan alih fungsi lahan tidak terjadi di kedua area ini. Selama tahun 2020 hingga 2022, Pantau Gambut menemukan adanya indikasi penyusutan tutupan hutan pada tiga kabupaten area Food Estate, yakni Pulang Pisau, Kapuas, dan Gunung Mas.

Pengalihfungsian lahan pun menambah keruwetan program pemerintahan Jokowi ini. Pendekatan Jakartasentris yang membawa segala bentuk “barang” baru ke lokasi Food Estate mencabut nilai-nilai yang masyarakat lokal percaya selama ratusan tahun. Sebut saja 600 hektare hutan di Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas yang dibuka dan berubah fungsinya menjadi area kerja Food Estate. Tutupan pepohonan pun yang sebelumnya kaya akan hasil hutan, sekarang berubah menjadi hamparan kosong bekas tanaman singkong milik yang gagal tumbuh. Masyarakat desa yang sebelumnya hidup berdampingan dan menggantungkan hidup dari hasil hutan pun tersisihkan dari tanah leluhurnya karena adanya pembatasan akses untuk masuk ke dalam kawasan proyek.

Di Akhir Masa Jabatan

Setidaknya ada tiga catatan yang perlu mendapatkan perhatian karena banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Jokowi pada akhir masa pemerintahannya. Pertama, meskipun Jokowi menyatakan komitmen terhadap isu iklim dan merestorasi gambut, upaya tersebut kerap ambigu dan bertabrakan dengan kebijakan lainnya. Contohnya, aturan tentang izin pemanfaatan kubah gambut yang berseberangan dengan kodratnya yang harus selalu terjaga suplai airnya. Kemudahan izin beroperasi dengan “memutihkan” korporasi bermasalah juga menjadi problematika. Belum lagi jika berbicara kebijakan terkait Food Estate di kawasan lindung. Semuanya menunjukkan ketidaksesuaian dan perlu ada evaluasi kebijakan yang lebih menyeluruh.

Kedua, implementasi di lapangan terhadap kebijakan perlindungan lingkungan–terutama ekosistem gambut–mengalami kelemahan dalam penegakan hukum. Risiko kerusakan ekosistem gambut masih terlihat dari fakta lapangan dan studi Pantau Gambut yang mencatat terjadinya karhutla dan kerentanan yang tinggi pada wilayah konsesi. Ini menunjukkan perlunya peningkatan penegakan hukum dan kebijakan yang lebih efektif dalam perlindungan ekosistem gambut. Termasuk melakukan evaluasi terhadap pengajuan izin baru ataupun izin yang sudah berjalan, pencabutan izin yang bermasalah, serta penegakan hukum pada konsesi yang pernah terbakar berulang.

Terakhir, peran Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara ataupun warga negara dalam menghadapi masalah hukum tidak patut untuk menjadi teladan. Pembatalan vonis bersalah yang dijatuhkan kepada Jokowi dan beberapa pejabat lainnya terkait karhutla di Kalimantan Tengah, menimbulkan persepsi masyarakat kalau hukum bisa dibeli oleh kekuasaan. Pada akhirnya, komitmen Jokowi terhadap penanggulangan kerusakan lingkungan dan perlindungan yang efektif terhadap ekosistem gambut menjadi tanda tanya besar.

Secara umum, perlu adanya konsistensi, koordinasi, penegakan hukum yang lebih baik, serta kebijakan yang berfokus pada perlindungan ekosistem gambut yang efektif. Presiden Jokowi dapat memperbaiki kebijakan lingkungan di sisa masa jabatannya dengan lebih memperhatikan perlindungan ekosistem gambut, memperkuat penegakan hukum terkait lingkungan, dan mengkonsolidasikan kebijakan yang bertentangan untuk mencapai tujuan perlindungan lingkungan yang lebih kokoh dan berkelanjutan.

Selamat ulang tahun ke 62, Pak Jokowi! Kami doakan yang terbaik bagi Anda.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.