Asap Riau, Ulah Siapa?
Oleh Agiel Prakoso dan Rahmah Devi HapsariBanjir kritik dan saran yang ditujukan pada pemerintah dalam merespon peringatan dari FAO (Food and Agriculture Organization) melalui food estate, program yang disebut bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia dan mengantisipasi krisis pangan di tengah pandemi Covid-19, tak juga membuat pemerintah bergeming. Proyek besar ini terus melaju kencang, bahkan digaungkan di empat wilayah, yaitu Kalimantan Tengah, Papua, Sumatra Selatan dan Sumatra Utara.
Pro kontra pun bermunculan, terutama Kalimantan Tengah yang punya sejarah buram atas proyek yang sama sebelumnya pada masa pemerintahan Soeharto. Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang juga dicita-citakan sebagai jawaban bagi swasembada pangan namun kini menjadi monumen proyek gagal yang meninggalkan trauma bagi banyak orang, dengan kerusakan besar-besaran lahan gambut yang mengakibatkan kebakaran berulang yang dibarengi dengan kabut asap yang menyesakkan.
Pantau Gambut, Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah (Walhi Kalteng), dan Yayasan Madani Berkelanjutan menyimpulkan bahwa kebijakan Food Estate yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo tidak tepat sasaran. Baik itu dilihat dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sesuai Pasal 10 UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, pertimbangan antara kondisi aktual pangan di Indonesia, potensi ancaman pada hutan alam dan lahan gambut, sampai pada kaitannya dengan perubahan iklim yang mengancam nasib pertanian di seluruh Indonesia.
Kebijakan jalur cepat ini juga mendapat banyak keistimewaan dengan statusnya sebagai salah satu Program Strategis Negara, dan bisa dikatakan sebagai program prioritas sesungguhnya, karena dicanangkan sebagai program lintas kementerian/lembaga, bahkan melibatkan dukungan serta peran aktif TNI dan POLRI. Sejumlah acuan teknis untuk memastikan kemudahan proyek tersebut berjalan sudah dirumuskan dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHKSETJEN/KUM.1/10/2020 tentang penyediaan Kawasan Hutan untuk pembangunan Food Estate.
Selain itu, kebijakan yang terkesan terburu-buru ini juga dinilai bukan sebagai jawaban jangka pendek yang ideal untuk menjawab masalah krisis pangan yang diprediksi akan terjadi, terutama jika menilik dampak lingkungan yang ditimbulkan jika proyek ini gagal. Pemerintah seharusnya melakukan kajian lebih mendalam (tidak sekedar KLHS Cepat) dengan mempertimbangkan rekam jejak kegagalan masa lalu.
Seharusnya krisis pandemi Covid-19 dijadikan sebagai sebuah momentum bagi pemerintah untuk mengoreksi arah kebijakan ekonomi dan pembangunan di tingkat nasional dan daerah. Perbaikan akses distribusi pangan, peningkatan kualitas pangan yang bergizi, pemberantasan korupsi, serta perbaikan akses pembiayaan bagi petani harus didahulukan bila isu pangan adalah prioritas pemerintah. Pengalihfungsian untuk tujuan produksi dalam jangka panjang pada kawasan hutan dan gambut yang merupakan sumber makanan, sumber plasma nutfah dan keanekaragaman hayati justru akan berdampak sebaliknya, yaitu mengurangi produksi pangan akibat dan memperparah pemanasan global.
Baca lebih lengkap kajian pantau gambut terlampir atau kunjungi https://foodestate.pantaugambut.id/
Materi paparan webinar dapat diunduh: https://bit.ly/FESaratKontroversi