Oleh Agiel Prakoso dan Rahmah Devi Hapsari
dari Pantau Gambut

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak lama lagi headline media massa akan dihiasi dengan berita bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melanda sejumlah wilayah langganan asap. Hal ini bukan tanpa alasan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau tiba pada bulan Juni dan memuncak pada Agustus. Namun, tahun ini ancaman asap karhutla akan berlangsung di tengah pandemi COVID-19. Lantas bagaimana langkah pemerintah dalam menghadapi dua bencana nasional yang menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan manusia tersebut?

Mungkin masih hangat di ingatan kita tentang berita Jakarta sebagai kota dengan polusi paling tinggi di dunia pada Agustus 2019. Pada saat itu tingkat PM2.5 Jakarta mencapai 92,4 μg/m3 dan PM10 mencapai 53,5 μg/m3. PM2.5 dan PM10 adalah dua indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat polusi udara. 

 

Daerah yang mengalami karhutla sudah pasti mengalami kenaikan tingkat  PM10 dan PM2.5 yang bahkan lebih tinggi dari kondisi terburuk Jakarta pada tahun 2019. Sebagai contoh, penelitian BATAN menunjukkan tingkat PM2.5 dan PM10 pada saat karhutla tahun 2015 di Pekanbaru mencapai masing-masing 108 μg/m3 dan 55 μg/m3. Belum lagi ditambah gas beracun lainnya dari asap karhutla yang semakin memperburuk kualitas hidup masyarakat.

Di tengah pandemi COVID-19, asap karhutla dapat dipastikan akan memperburuk kondisi pasien COVID-19 dan orang dengan daya tahan tubuh yang lemah. Bahkan, penelitian Xiao, et.al., dari Harvard menunjukkan bahwa tingkat kematian karena COVID akan bertambah 8%  ketika paparan PM2.5 meningkat setiap 1 mikron dalam jangka waktu panjang.

Jika studi dari Xiao digunakan dalam konteks Indonesia, dapat dikorelasikan bahwa masyarakat yang tinggal di area yang selalu terpapar PM2.5 selama bertahun-tahun, seperti di area yang terdampak karhutla, mempunyai risiko kematian akibat COVID-19 yg lebih tinggi dibanding daerah lain yang memiliki kualitas udara lebih baik.

Hal ini disebabkan oleh partikel PM2.5 yang terakumulasi selama bertahun-tahun di dalam tubuh manusia sehingga menurunkan daya tahan tubuh terhadap virus yang menyerang saluran pernapasan seperti COVID-19. Hal ini dapat diperparah dengan tidak tersedianya masker N-95 yang memadai karena karakter PM2.5 yang mampu menembus masker berkualitas lebih rendah dari masker N-95.

Namun sayangnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum pernah menyajikan data resmi riwayat pengukuran PM2.5 di berbagai wilayah rawan karhutla sehingga peningkatan PM2.5 selama beberapa tahun terakhir belum dapat dipastikan. Saat ini kita hanya bisa melihat riwayat pencemaran PM10 pada saat karhutla berdasarkan arsip data KLHK.

Dari arsip tersebut dapat kita lihat bahwa pada tahun 2019 tingkat pencemaran PM10 di Kota Pekanbaru, Jambi, dan Palangka Raya masuk dalam kategori “Sangat Berbahaya” (>400 μg/m3). Angka ini jauh melampaui ambang batas yang diperbolehkan pemerintah Indonesia ataupun WHO

 

Kebakaran setara 24 kali luas daratan Jakarta berpotensi terulang tahun ini

Belum lepas masalah karhutla pada tahun lampau, masyarakat di Sumatra dan Kalimantan nampaknya akan segera berhadapan lagi dengan karhutla tahunan. Bagaikan  jadwal libur hari besar nasional, namun, alih-alih dapat digunakan untuk beristirahat, masyarakat justru harus berjibaku lebih berat karena harus menghadapi asap sekaligus COVID-19 pada tahun ini.


Jika kita berkaca pada karhutla 2019, peristiwa tersebut telah menghanguskan 1,6 juta hektar hutan di Indonesia, di mana  31% dari total areal terbakar tersebut berada di lahan gambut. Dari total 14,9 juta luasan gambut Indonesia, Pantau Gambut juga mengidentifikasi adanya pola kebakaran gambut yang berulang pada periode 2015-2019 di sebagian besar area gambut lindung, yang mana area ini seharusnya terjaga dari gangguan apapun.

Di sisi lain, penegakkan hukum kasus karhutla hingga kini banyak yang tak jelas statusnya. Walau banyak area terbakar telah disegel oleh pihak berwajib, namun proses penyelidikan dilakukan dengan lambat dan tidak transparan, hingga menimbulkan banyak pertanyaan dan ketidakpastian hukum. 

Ketidaktegasan terhadap pelaku pembakar lahan, akan menimbulkan korban yang lebih banyak lagi. Apalagi saat ini, pandemi COVID-19 masih berlangsung. Jika saat ini saja pemerintah Indonesia sudah mulai kewalahan menghadapi pandemi, coba bayangkan saat karhutla berlangsung.

 

Di mana saja wilayah Indonesia yang rentan terdampak karhutla dan COVID-19 secara bersamaan?

Menjawab ancaman karhutla di tengah pandemi COVID-19 terhadap masyarakat, Pantau Gambut telah melakukan analisis kerentanan area gambut terhadap karhutla yang digabungkan dengan peta tingkat risiko COVID-19 di Indonesia. Analisis ini akan menunjukkan area mana saja yang berpotensi terdampak karhutla dan COVID-19. 

Pantau Gambut menemukan bahwa parameter kerentanan wilayah terhadap karhutla berasal dari kombinasi beberapa faktor, yaitu: 

  1. tutupan lahan, 
  2. sebaran gambut, dan 
  3. tingkat kemiringan lahan. 

Analisis spasial dari ketiga faktor ini kemudian diverifikasi dengan data sebaran titik panas dan lahan yang terbakar selama periode 2016-2019. 

Sedangkan untuk parameter kerentanan wilayah terhadap COVID-19, Pantau Gambut mempertimbangkan: 

  1. hazard (sebaran wilayah positif COVID-19),
  2. vulnerability (sebaran kepadatan penduduk) dan 
  3. capacity (sebaran rumah sakit)

Dari kedua analisis tersebut, Pantau Gambut menyimpulkan bahwa mayoritas lahan gambut di masing-masing provinsi Pulau Sumatra dan Kalimantan kembali masuk dalam rentang kategori rentan hingga sangat rentan terbakar.

Jika merujuk pada data BPS tahun 2017 yang dikaitkan dengan analisis kerentanan diatas, terdapat sekitar 470 ribu jiwa masyarakat gambut di Jambi dan 2,5 juta jiwa masyarakat gambut di Riau yang patut berwaspada. Kedua provinsi ini memiliki ancaman karhutla yang sangat tinggi, dan rentang risiko COVID-19 yang sedang hingga tinggi sehingga masyarakat harus ekstra berhati-hati.

Sedangkan provinsi lain di pulau Sumatra dan Kalimantan yang memiliki lahan gambut masuk dalam risiko COVID-19 sangat rendah hingga sedang. Hasil berbeda ditunjukan pada lahan gambut di Provinsi Papua dan Papua Barat. Walaupun sebagian besar lahan gambut di kedua provinsi ini tergolong kurang rentan hingga tidak rentan terhadap karhutla, ancaman terhadap COVID-19-nya masuk dalam kategori sedang sehingga masyarakat  Papua harus tetap waspada.


      Peta interaktif kerentanan karhutla di wilayah gambut terhadap resiko persebaran COVID19

                                                                           

Kesigapan dalam menghadapi dua bencana nasional

Kedua ancaman yang kita bicarakan di atas akan menjadi pukulan telak bagi pemerintah yang tidak mempersiapkan diri. Asap yang mengepung akan menghambat aktivitas sehari-hari, memperparah kesehatan pasien COVID-19, bahkan menyumbang udara buruk bagi negara tetangga yang sedang berjuang pula menghadapi COVID-19.

Sejauh ini, pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak dari karhutla. Salah satu contohnya adalah kegiatan pengawasan terhadap titik panas dan kualitas udara yang tetap dilakukan di lapangan dengan memperhatikan protokol kesehatan COVID-19. 

KLHK bersama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga terus melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sebelum terjadi penurunan curah hujan pada bulan Juni. Kegiatan hujan buatan diutamakan pada provinsi-provinsi yang sangat rawan karhutla seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.  Hingga kini, pemerintah sudah menaburkan lebih dari 43,2 ton garam dan menghasilkan hujan hampir setiap hari dengan volume 165,61 juta m3. KLHK juga telah berkoordinasi dengan 15 gubernur dan 31 bupati atau walikota untuk mendorong dilakukannya pembasahan lahan gambut dalam pencegahan karhutla.

Namun demikian, upaya di atas masih sangat kurang untuk mengurangi dampak dua bencana  karena belum ada skenario strategis yang disiapkan di bidang kesehatan saat bencana asap tiba. Pantau Gambut melihat kapasitas rumah sakit untuk penanganan pandemi COVID-19 di provinsi rentan terbakar (Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, dan Papua) saja masih jauh dari cukup. Jika diasumsikan 30% dari 8.505 kasus positif COVID-19 di 7 provinsi rawan karhutla memerlukan perawatan intensif di rumah sakit, maka pemerintah seharusnya menyiapkan sebanyak 2.551 unit tempat tidur untuk perawatan intensif COVID-19. Faktanya, jumlah tempat tidur Intensive Care Unit (ICU) yang tersedia di seluruh provinsi tersebut hanya sebanyak 864 unit dan masih harus berbagi dengan pasien non COVID-19.

Dari sisi logistik, pemerintah juga harus memenuhi kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD). Jika tim medis (dokter, perawat, petugas kebersihan) diasumsikan membutuhkan minimal 15 set APD per hari per pasien yang terdiri dari: masker N95, kacamata/pelindung wajah, pakaian khusus anti-air, dan sarung tangan medis, maka jumlah APD yang dibutuhkan untuk perawatan intensif 8.505 pasien selama minimum 8 hari adalah 1.020.600 set APD. Pada saat bersamaan masker N95 juga diperlukan masyarakat untuk menghalau partikel beracun akibat karhutla.

Belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, pemerintah juga harus menjamin agar warga tidak terus menerus menghirup udara beracun yang menyesakkan dan menimbulkan korban jiwa. Ketidaksiapan pemerintah dan tidak adanya langkah strategis baik jangka pendek maupun jangka panjang diprediksi akan menyebabkan angka kematian dini hingga 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak selama periode 2020-2030.  

Maka itu, Pantau Gambut meminta pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk segera memutus bencana karhutla tahunan melalui kegiatan pencegahan munculnya titik api, penanggulangan karhutla secara efektif, menghukum dan menuntut ganti rugi secara tegas pada para pelaku pembakar hutan. Selain itu melihat berbagai potensi keterbatasan di bidang kesehatan, pemerintah juga harus menentukan dan melaksanakan langkah strategis dalam penanganan korban terdampak karhutla dan terinfeksi COVID-19.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.