Menagih Komitmen Penegakkan Hukum Karhutla di Kalimantan Selatan
Oleh Donny MuslimMudji Isa, salah satu anak dari keluarga transmigran di Kalimantan Barat, menceritakan kisah hidupnya di Kalimantan Barat ketika sedang marak pengalihan fungsi lahan gambut ke perkebunan. Pada akhirnya ia menyadari bahwa peralihan fungsi ini hanya menguntungkan segelintir orang dan menjadikan masyarakat adat, kelompok pendatang, dan lingkungan korban.
Pada tahun 1993, ayah saya mengajak kami sekeluarga untuk transmigrasi dari Magelang, Jawa Tengah ke Sanggau, Kalimantan Barat. Saat itu pemerintah berharap program transmigrasi dapat membantu pemerataan penduduk dan mengentaskan kemiskinan. Pada saat itu, ayah saya berpikir karena keadaan ekonomi di Magelang kurang baik dan agar anak-anaknya tidak putus sekolah, akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti program ini. Ada dua sistem transmigrasi, yaitu umum dan perkebunan inti rakyat (PIR). Keluarga kami mengikuti program PIR kelapa sawit. Kami tinggal di satuan pemukiman, di mana setiap keluarga diberi tanah setengah hektar untuk rumah dan pekarangan. Satuan pemukiman kami terdiri dari berbagai suku pendatang, antara lain dari Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang tinggal berdampingan dengan penduduk asli yaitu Dayak Mualang. Sedangkan, lahan kelapa sawit berada di sekeliling satuan pemukiman.
Pada saat itu, ada dua informasi yang diberikan pemerintah. Pertama, kepada para pendatang, pemerintah memberitahu bahwa tanah di Kalimantan adalah tanah gambut yang memiliki sedikit unsur hara karena pelapukan tumbuhan belum sempurna sehingga tanah tersebut hanya bisa ditumbuhi tanaman keras. Kedua, bagi penduduk asli yang awalnya memiliki hutan, pemerintah meminta mereka menyerahkan lahannya untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan mereka dijanjikan akan mendapat hak yang sama dengan pendatang, seperti diajari pertanian dengan lahan menetap.
Terlepas dari perbedaan informasi tersebut, setiap keluarga – baik pendatang maupun suku asli – mendapatkan setengah hektar lahan untuk tempat tinggal dan dua hektar lahan kelapa sawit.
Usia kelapa sawit dari awal tanam hingga panen ialah sekitar 5 tahun. Selama 5 tahun, segala biaya dari pembukaan lahan, tanam, perawatan dan pupuk ditanggung oleh perusahaan dengan pembiayaan dari bank sehingga sertifikat tanah berada di bank. Tenaga selama 5 tahun dikerjakan oleh peserta transmigrasi dengan sistem gaji harian, yang juga dibiayai oleh bank. Setelah kelapa sawit bisa dipanen, petani akan memanen hasilnya dan menjualnya ke pabrik kelapa sawit yang sudah ditunjuk. Hasil penjualan sebagian dipotong untuk membayar utang ke bank.
Jika hutang lunas, petani akan memiliki sertifikat hak milik atas tanah. Tentunya hal ini sulit dilakukan hanya dalam sekali masa panen. Sayangnya lagi, tanah dan pohon sawit sendiri tidak selamanya produktif sehingga perlu peremajaan secara berkala. Hal ini mempengaruhi jangka waktu kemampuan membayar hutang ke bank.
Usia produktif kelapa sawit berkisar sekitar 25 - 30 tahun. Sedangkan usia lahan gambut di Kalimantan hanya mampu produktif hingga usia 20 tahun. Setelah itu, perkebunan harus mengalami siklus peremajaan, yaitu penebangan pohon yang lama dan penanaman pohon yang baru. Pada saat peremajaan dilakukan, ada peraturan yang melarang penggantian sawit dengan jenis tanaman lain. Maka saat peremajaan ini petani tidak memiliki uang, sehingga akan tergantung pada bank lagi. Dan siklus itu tidak akan pernah berhenti. Dengan pola seperti itu, sampai kapan pun petani tak akan mendapatkan sertifikat. Maka tahun 1998 ayah memutuskan untuk kembali ke Jawa.
Saat itu saya tidak paham dengan pemikiran ayah. Saya penasaran ingin bekerja di pabrik kelapa sawit. Saya berdoa dan tahun 2010 Tuhan menjawab doa saya. Saya akhirnya bekerja di pabrik kelapa sawit di Labuhan Batu, Sumatra Utara. Di situlah saya memahami apa yang dialami ayah. Pada dasarnya perusahaan menginginkan Crude Palm Oil (CPO)sebagai komoditi ekspor. Kebanyakan pengusaha berasal dari Eropa karena mereka tertarik dengan Indonesia yang selalu disinari matahari sepanjang tahun dan beriklim tropis sehingga cocok untuk perkebunan kelapa sawit.
Untuk mendapatkan lahan tidak mudah karena di dalam hutan ada penduduk yang tinggal dan menggantungkan hidupnya. Oleh karena itu, pemerintah membuat tiga sistem. Sistem pertama ialah perkebunan inti, di mana pengusaha menyewa lahan kepada pemerintah untuk ditanami kelapa sawit. Kedua, petani binaan yaitu penduduk yang mempunyai lahan diminta menanam pohon kelapa sawit dan buahnya dibeli oleh perusahaan. Namun, jika hutan belantara yang dikuasai oleh kelompok masyarakat adat yang lebih cinta hutan daripada perkebunan, maka sistem ketiga adalah transmigrasi seperti penjelasan di atas. Tujuan dari ketiga sistem di atas adalah untuk mengubah fungsi lahan agar dapat ditanami kelapa sawit di Indonesia.
Walau pemerintah mengaku peralihan lahan gambut ke perkebunan kelapa sawit adalah upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan memeratakan pembangunan, pada kenyataannya hal tersebut tidak berhasil dan yang terjadi malah sebaliknya.
Suku asli seperti Dayak Mualang kehilangan hutannya, suku pendatang secara tidak langsung hanya dijadikan pekerja dan tidak dapat keluar dari siklus hutang yang melilitnya. Lahan gambut yang seharusnya ditumbuhi tanaman heterogen menjadi tanaman homogen, keanekaragaman hayati pun berkurang. Merekalah korban dari peralihan fungsi lahan gambut. Yang diuntungkan hanyalah para pengusaha yang sekarang menguasai alam Indonesia.
Oleh karena itu, mari kita berkaca pada masa lalu agar tidak mengulang kesalahan yang sama di masa sekarang. Kita mempunyai kesempatan untuk merestorasi dan melindungi lahan gambut agar tetap dapat bermanfaat bagi para kelompok masyarakat adat, kelompok pendatang, dan juga satwa yang tinggal di dalamnya.
Tulisan ini merupakan pandangan penulis dan tidak merefleksikan pendapat seluruh organisasi yang tergabung dalam inisiatif Pantau Gambut.