Setelah “Nafas” BRGM Diperpanjang
Oleh Kisworo Dwi CahyonoSuku Mpur-Kebar di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, menemui jalan buntu dalam memperjuangkan tanah adatnya yang dialihfungsikan untuk kepentingan perkebunan sawit. Penyerobotan tanah ini semakin mengancam ruang hidup mereka, khususnya setelah pemerintah mengalokasikan hutan Papua untuk kebijakan land swap demi perlindungan lahan gambut.
Di tengah lembah lapang di bawah matahari yang bersinar terik, tak kurang dari 15 orang duduk berkumpul dalam lingkaran. Sayup-sayup terdengar suara memecah keheningan. Sakeus Manim, tokoh agama Suku Mpur-Kebar, sedang memimpin doa siang itu, Jumat, 27 Juli 2018.
“Tuhan, kami sudah berupaya bertemu semua pihak, namun hutan masih saja digugur. Mereka minta Tuhan berperkara, maka Tuhan lah yang berperkara. Karena manusia dunia yang mereka bertemu, sudah tak mendengar suara mereka,” ucap Sakeus.
Kalimat-kalimat doa yang diucapkan Sakeus mewakili kegelisahan 6 marga Suku Mpur-Kebar di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, karena tanah adat mereka diduga telah diserobot oleh perusahaan bernama PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) yang bergerak di sektor perkebunan. Perwakilan-perwakilan Suku Mpur-Kebar ini telah membawa masalah ini kepada banyak pihak, termasuk Gubernur Papua Barat, Komandan Kodim, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Fraksi Otonomi khusus DPR Papua Barat. Namun, hingga kini belum ada jalan keluar.
Tambrauw adalah kabupaten baru hasil pemekaran pada 2008 dengan luas wilayah sekitar 1,1 juta hektar. Menurut data Dinas Kehutanan Kabupaten Tambrauw, luas total hutan di kabupaten ini mencapai 593.475 hektar. Dari total tersebut, 242.363 hektar atau 40 persennya merupakan hutan lindung, 215.594 hektar atau 36 persen adalah hutan PPA (perlindungan dan pelestarian alam).
Jika penyerobotan benar terjadi, situasi di Tambrauw ini meningkatkan kekhawatiran atas perlindungan kawasan hutan di tanah Papua. Apalagi mengingat baru-baru ini ada kajian dari Koalisi Anti Mafia Hutan yang menyebutkan bahwa sejumlah luasan hutan di Papua dan Papua Barat dialokasikan untuk kebijakan lahan usaha pengganti (land swap).
Kebijakan land swap adalah upaya pemerintah menawarkan penggantian lahan untuk perusahaan-perusahaan yang wilayah kerjanya diketahui berada di kawasan gambut. Total lahan di seluruh Indonesia yang dialokasikan untuk land swap ini adalah 921.230 hektar. Menurut laporan Koalisi Anti Mafia Hutan, 65.758 hektar hutan alam di Provinsi Papua, terutama di bagian selatan yang relatif datar dan intensitas hujannya relatif rendah, berada dalam alokasi lahan untuk ditukar. Sementara itu di Provinsi Papua Barat, ada 3.565 hektar hutan alam dalam 4.890 hektar total alokasi land swap. Dengan angka luasan yang signifikan itu, Koalisi Anti Mafia hutan menganggap pemerintah masih melihat tanah Papua sebagai area eksploitasi.
Land swap bisa jadi merupakan salah satu upaya melindungi kawasan gambut. Namun, upaya ini hanya akan memperburuk deforestasi hutan-hutan Indonesia jika pengalokasian lahan tidak dipertimbangkan dengan baik. Koalisi Anti Mafia Hutan pun merekomendasikan perbaikan untuk kebijakan ini, antara lain dengan mengusulkan agar area-area yang ditukar hanya berdasarkan hutan tanaman saat ini dan bukan berdasarkan luas izin perusahaan. Selain itu, area yang menjadi lokasi penukaran hendaknya juga diprioritaskan pada area berizin pada tanah mineral tapi selama ini tidak beroperasi, bukan merupakan hutan alam, dan bukan merupakan wilayah kelola masyarakat adat. (laporan lengkap dapat dilihat di sini)
Sejalan dengan kriteria di atas, ada beberapa hal pula yang harus diperbaiki dan diperhatikan. Pertama adalah kriteria dan prosedur penetapan areal pengganti. Dasar pelaksanaan land swap saat ini, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.40/2017, tidak mengatur lebih rinci mekanisme verifikasi teknis dan penelaahan areal pengganti dan kriteria-kriteria seperti klasifikasi tanah, status dan fungsi lahan, serta batas luas areal.
Kedua, perlu ada mekanisme pengendalian dampak lingkungan hidup dengan kepastian hukum yang jelas. Saat ini, Permen LHK P.40 mengatur verifikasi aspek sosial dan lingkungan hidup dengan hanya merujuk pada dokumen UKL/UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup). Dengan dokumen ini, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) bukan merupakan kewajiban. Namun, di lain pihak, ada Pasal 2 ayat (2) (b) Permenhut P.21 tahun 2014 jo. Permen LH No. 5 Tahun 2012 yang menetapkan bahwa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman (IUPHHK-HT) untuk luasan lebih atau sama dengan 5.000 hektar merupakan kegiatan usaha wajib AMDAL. Perbedaan ini tentunya membingungkan dan melemahkan pengendalian dampak lingkungan dalam implementasi land swap.
Ketiga, perlu adanya keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan land swap ini. Keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat dalam proses pemberian lahan pengganti ini sangat penting untuk memastikan akuntabilitas dan tidak terjadi permasalahan lainnya, seperti tumpang tindih lahan, konflik sosial, dan juga konflik lingkungan.