Oleh Yitno Suprapto
dari Pantau Gambut

Ketua Kelompok Sadar Wisata Hutan Desa Pematang Rahim, Ahmad Fauzi kelihatan masih belum bugar. Sore itu, saat Fauzi berbincang dengan Pantau Gambut suaranya terdengar agak serak. Ia masih kelelahan setelah lima hari mendampingi kunjungan mahasiswa menjelajahi belantara hutan di Desa Pematang Rahim, Tanjung Jabung Timur, Jambi. “Para mahasiswa melakukan penelitian vegetasi di hutan Pematang Rahim,” katanya, Kamis, 14 Oktober 2021.

Keanekaragaman hayati hutan gambut Pematang Rahim selalu memikat kedatangan para pelajar dan peneliti. Fauzi berkata, hampir saban bulan selalu ada peneliti yang berkunjung. “Peneliti dari luar negeri juga pernah datang ke sini,” ucapnya.

Hutan gambut Pematang Rahim luasnya 1.185 hektare. Kawasan itu bagian dari Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh yang luasnya mencapai 17.721 hektare. Pada 26 Oktober 2017, warga Pematang Rahim telah mendapat izin mengelola Perhutanan Sosial dengan skema hutan desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Presiden Joko Widodo menyerahkan izin pengelolaan kepada warga setempat untuk merawat hutan gambut, pada 17 Desember 2018.

Penghujung tahun 2019, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) menjadikan kawasan gambut Pematang Rahim sebagai ekowisata dan edukasi. “Jangan sampai anak-anak hanya tahu pohon dari buku, tapi tidak melihat yang asli,” kata Fauzi.

Sarana penunjang ekowisata tak terurus

Kawasan pelesiran hutan gambut Pematang Rahim bernama Taman Ekowisata Kebon Sari. Pada 2019, ekowisata gambut itu sangat masyhur sebagai destinasi liburan masyarakat Jambi. Pengunjung tak dimintai pungutan biaya, alias gratis. Hal itu makin mendorong minat orang mengunjungi kawasan ekowisata gambut. “Supaya Pematang Rahim makin terkenal namanya,” ucap Fauzi.

Saat itu, pasti tak ada yang terpikir akan terjadi pandemi virus corona (Covid-19). Pengelola pun baru kepikiran, ketika makin banyak pengunjung, maka memerlukan biaya untuk merawat sarana. Belakangan pengelola mafhum, betapa penting pemasukan dari pengunjung. Tapi, sudah telanjur gratis, maka tanpa ada biaya khusus untuk perbaikan, warga bergotong royong seadanya memperbaiki sebagian sarana yang rusak. Belum banyak yang diperbaiki, situasi berubah pelik ketika pandemi memasuki Indonesia, pada Maret 2020.

Perencanaan dana desa untuk perbaikan sarana beralih dipakai untuk menanggulangi masalah ekonomi warga, karena dampak Covid-19. Anggaran itu digunakan untuk bantuan langsung tunai dana desa

Perawatan sarana ekowisata juga tak berlanjut. Kepengurusan Kelompok Sadar Wisata pun menjadi semrawut, karena imbas pandemi membuat keadaan makin sulit. Kelompok Sadar Wisata sempat kosong aktivitas selama lima bulan. Setelah itu, kata Fauzi, kepengurusan Kelompok Sadar Wisata ditata ulang pada Agustus 2020. “Mereka (Kelompok Sadar Wisata) berharap ekowisata bisa dikembangkan lagi,” katanya.

Fauzi sempat mengajak Pantau Gambut sejenak menelusuri Taman Ekowisata Kebon Sari. Sebenarnya kawasan hutan berdekatan dengan desa, tapi supaya makin cepat sampai di lokasi ekowisata itu, Pantau Gambut mengendarai sepeda motor. Cukup lima menit perjalanan dari permukiman warga untuk sampai di pintu masuk area ekowisata.

Saat tiba di situ, langkah berlanjut menyusuri hutan melewati lajur susunan papan kayu sepanjang 150 meter. Ketika melintasi papan, Fauzi berkali-kali mengingatkan agar tetap mewawas langkah kaki.

“Awas sebagian kayu sudah lapuk,” ujarnya sambil memberi penjelasan jenis kayu yang dipakai untuk membuat lajur papan itu. Papan dibuat menggunakan bahan kayu racuk. Fauzi bilang, kayu racuk cepat lapuk. “Kalau tiangnya dari kayu bulian, jadi masih awet.”

Setelah berjalan melewati pintu masuk kawasan ekowisata, tampak rumah pohon yang terbengkalai. Rumah kayu yang berada di atas pohon setinggi tiga meter itu sudah rusak, karena melapuk. Tak jauh dari situ, ada saung yang berukuran 6x10 meter. Fauzi bilang, tempat itu biasanya digunakan pengunjung keluarga yang ingin sejenak bersantai.

“Setahun belakangan ini sepi. Memang kami setop dulu pengunjung wisata, karena (sarana) jalan papan juga berbahaya,” tuturnya. Tapi, ia menambahkan, kunjungan untuk penelitian tetap berlanjut.

Pohon yang tersisa dari kebakaran 1997

Jika merujuk data Badan Restorasi Gambut dalam laporan pemetaan tahun 2017, diketahui ada 300 jenis tumbuhan di rawa gambut daratan Sumatra. Tapi, jumlah itu telah berkurang. Pada 1997, kebakaran hutan gambut Pematang Rahim telah banyak mengurangi jumlah spesies tumbuhan. Fauzi menjelaskan, sebelum terjadi kebakaran, ada banyak rotan hitam.

“Tapi sekarang (rotan hitam) sudah habis,” kata Fauzi.

Ia hafal berbagai pohon yang tersisa di hutan rawa gambut itu. Fauzi bilang, jumlah jenis pohon ada puluhan, walaupun tak memerinci angkanya. “Pohon meranti, jenis tumbuhan yang paling banyak di hutan (Pematang Rahim) ini,” ucapnya.

Fauzi mafhum, hutan rawa gambut itu telah menopang kelestarian keanekaragaman hayati. Hutan gambut juga membantu menyaring polutan juga menyimpan karbon. “Kalau hutan ini tidak dijaga, nanti apa warisan untuk anak cucu kita?” katanya.

Ketua Kelompok Pengelola Hutan Desa, Suryani menjelaskan, kebakaran telah menghabiskan beragam pohon besar di kawasan gambut Pematang Rahim.  “Pohon diameter satu meter itu sekarang susah dicari,” katanya.

Merujuk data Global Forest Watch, Jambi kehilangan tutupan pohon (tree cover loss) 302.000 hektare selama kurun 2017 hingga 2020. Angka tutupan pohon yang hilang itu setara dengan emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 1,21 gigaton.

Belajar ekosistem gambut

Kepala Desa Pematang Rahim Muhammad Dong bertekad ingin mengembangkan lagi ekowisata. Tapi, pandemi membuat rencana itu terhenti. “Kami mengupayakan tahun 2022. Kami mengalokasikan lewat dana desa,” ucapnya.

Muhammad berencana membangun jalur (trekking) berupa papan kayu sepanjang satu kilometer  ke dalam hutan. Ekowisata akan dibuat sejalan dengan Badan Usaha Milik Desa. “Hutan desa ini nanti bisa menjadi wisata gambut di Tanjung Jabung Timur,” katanya. Rencana itu bertaut upaya menjaga hutan.

Muhammad berkeinginan hutan gambut Pematang Rahim diusulkan menjadi ruang terbuka hijau. "Saat ini sedang disusun (usulan rancangan tata ruang)," katanya. Hal itu, karena Desa Pematang Rahim termasuk kawasan kota dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kecamatan Mendahara Ulu.

Sekretaris Kelompok Sadar Wisata Hutan Desa Pematang Rahim, Cindy Amara mengatakan, bahwa penting untuk anak-anak mempelajari ekosistem gambut sejak jenjang sekolah dasar. Nanti, kalau ekowisata bisa berkembang lagi, deretan pohon di tepi jalur trekking akan dipasang papan keterangan nama jenisnya.

“Nanti akan ada juga museum gambut,” katanya.

Cindy menjelaskan, museum itu berupa bangunan kayu untuk persinggahan anak-anak. Tempat itu akan menyimpan berbagai informasi tentang gambut, termasuk diorama hutan. Mula gambut terbentuk juga merupakan penyajian informasi untuk anak-anak. “Keseluruhan kehidupan gambut, kedalaman, jenis tumbuhan, dan satwanya,” katanya.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.