Hangatnya Laba Jahe Gambut Semasa Pandemi
Oleh Aries MunandarBagaimana Anda memaknai hubungan antara kita manusia, bumi, dan Tuhan?
Prinsip umum dalam Islam melihat relasi manusia dengan manusia lainnya, Tuhan, dan alam sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jadi kalau kita mau mengukur seberapa baik hubungan kita dengan Allah, salah satu tolok ukurnya adalah seberapa baik hubungan kita dengan manusia lainnya (solidaritas universal), terutama manusia yang tertindas. Lalu, dengan lingkungan yang memungkinkan manusia hidup di atasnya.
Terlebih dalam Islam, manusia diletakkan posisinya sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifatullah fil'ardh) yang tugas utamanya adalah menjaga dan merawat kehidupan, termasuk di dalamnya menjaga bumi. Itu tadi merupakan semangat beragama dalam Islam. Seperti kata Islam itu sendiri yang berarti damai dan selamat. Jadi, umat Islam, ya harus menyelamatkan, bukan sebaliknya merusak.
Bagaimana pandangan Anda tentang hubungan tersebut sekarang ini?
Kalau merujuk ke konsep manusia sebagai wakil Tuhan di bumi seperti tadi, maka tugas kita tidak bisa tidak harus merawat bumi dan kehidupan di atasnya. Masalahnya apakah itu semua sudah dilakukan umat Islam di tengah moda produksi kapitalisme yang menyimpan krisis di dalamnya? Karena mesin produksi di dalam kapitalisme selalu membutuhkan setidaknya dua hal: bahan baku yang diambil semuanya dari bumi dan proses produksi barang, semurah mungkin dengan untung sebanyak mungkin. Pertanyaannya, bagaimana umat islam atau umat beragama lainnya saat ini memosisikan sistem ekonomi dominan kapitalisme yang merusak tadi dalam kehidupan mereka? Turut mendukungnya yang berarti mendukung kerusakan terus berlangsung atau berikhtiar menciptakan moda produksi lainnya yang lebih ramah lingkungan dan menyelamatkan?
Masalahnya sebagian besar umat beragama, khususnya Islam, belum melihat kapitalisme sebagai pokok persoalan yang kita hadapi saat ini. Makanya tak jarang kita dengar slogan Islam agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam, tapi tanpa disadari prakteknya justru sebaliknya, turut menyokong ekspansi modal yang merusak lingkungan dan menghisap keringat buruh. Jadi menurut saya, gagalnya mengimplementasikan prinsip hablumminalllah, yaitu menjaga hubungan baik dengan Allah, hablumminannas, yaitu menjaga hubungan baik dengan manusia, dan hablumminal alam, yaitu menjaga hubungan baik dengan alam, itu karena kita masih membiarkan terus berlangsungnya tragedi kepemilikan bersama dirampas oleh segelintir orang untuk mengakumulasi modal. Jadi, sederhananya kita boleh memakai bumi, boleh memanfaatkan alam dan lingkungan ini, tapi tidak dalam kerangka akumulasi modal dan konsumsi tanpa batas.
Menurut saya, yang bisa disebut sebagai khalifatullah atau wakil Tuhan di muka bumi saat ini adalah orang-orang menyadari bahaya kapitalisme dan krisis yang melekat padanya, dan selemah-lemahnya iman, mengatakan sistem yang sedang berlangsung saat ini batil, dan merusak. Minimal saat ini komunitas agama harus memprotes dengan lantang pada kebijakan pemerintah yang salah arah seperti pembangunan food estate, ekspansi bisnis ekstraktif dengan melakukan deforestasi dan menggusur masyarakat adat atau petani karena seperti kita tahu pertanian di lahan gambut hanya mendatangkan masalah alih-alih menyelesaikan masalah.
Dulu proyek satu juta hektar pertanian lahan gambut di jaman Suharto terbukti gagal, kini masa harus diteruskan lagi? Pengeringan lahan gambut untuk pertanian skala besar akan memicu kebakaran di musim panas dan menimbulkan banjir di musim hujan. Demikian juga dengan industri ekstraktif karena membabat hutan, maka yang akan diterima adalah banjir bandang seperti beberapa waktu lalu terjadi di Kalimantan Selatan. Jadi, diagnosa yang salah dari pemerintah inilah yang harus direspon oleh komunitas agama.
Bagaimana kita menempatkan diri di tengah kerusakan lingkungan secara masif terjadi sekarang?
Ya, harus memulihkan kerusakan yang sedang berlangsung. Seperti tadi, harus dicari apa pokok persoalannya dulu. Baru setelah itu mengajukan alternatifnya. Saat ini yang terjadi adalah 1% orang menguasai 99% orang lainnya. 1% ini yang terus menerus menghisap, dan merusak lingkungan dan alam secara keseluruhan. Mereka menguasai sumber daya ekonomi serta mineral di seluruh penjuru muka bumi ini. Orang beragama semestinya mengoreksi ketimpangan tadi dan memberi alternatif ekonomi yang lebih adil.
Paling tidak, lagi-lagi minimal seperti Dom Helder Camara, seorang teolog pembebasan yang berani bertanya kenapa orang menjadi miskin dan tidak bisa makan. Nah dalam konteks kerusakan lingkungan global, mestinya pertanyaanya adalah, “Siapa yang merusak ini semua? Mengapa itu semua terus berlangsung? Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari kerusakan tersebut?” Ini yang harus kita ajukan saat ini. Karena agama apapun pasti tidak mendukung kerusakan. Alih-alih membiarkan penghisapan, agama-agama memberi ajaran cinta kasih.
Sekarang agama harus turut serta mewartakan bahaya kapitalisme, bahaya perubahan iklim, bahaya deforestasi, bahaya sampah, sebagai strategi kita untuk memproteksi kehidupan ini dari kerusakan total. Mau tidak mau kita semua harus melawan kerusakan yang ditimbulkan kapitalisme, karena melawan kerusakan tadi adalah wujud nyata cinta kasih kita pada bumi, dan makhluk hidup di atasnya.
Kita harus berani melakukan breaking of the silent dalam keimanan kita yang sedang buntu dan mandul di hadapan sistem kapitalisme. Iman itu harus gelisah sekarang. Kalau nggak, jangan-jangan agama sudah tidak lagi relevan bagi kehidupan karena tidak mampu memberi penawar bagi segala krisis yang kita hadapi hari ini. Ingat, Yesus muncul itu sebagai jawaban atas krisis, demikian juga dengan Musa dan Muhammad.
Apa harapan di hari bumi ini?
Harapan ini bisa kita analogikan seperti bermain sepakbola. Ketika orang main bola sudah tahu last minute mau kalah, skor sudah 3-0, tapi tidak ada satupun pemain bola yang menyerah dan sukarela membuka gawangnya untuk musuh. Mereka tetap berjuang dan menunjukan semangat sampai menit akhir.
Begitu juga dengan kita, sampai menit terakhir pun, misalnya kita kalah dan gak bisa menyelamatkan bumi, tapi kita sudah berjuang sehormat-hormatnya dan sebaik-baiknya untuk kehidupan kita dan anak cucu kita. Kita harus hidup dengan utopia ini. Meski dengan prediksi buruk akibat kerusakan iklim di masa depan, tapi kita tidak boleh diam. Kita harus selalu memecah kesunyian, selalu bercerita, dan mengajak banyak orang.
Orang yang merusak lingkungan adalah orang yang kalah karena gagal menjadi manusia, dan menjadi wakil Tuhan di bumi. Sedangkan kita yang berjuang memulihkan kerusakan meski kelihatan kalah sesungguhnya kita menang karena tidak turut merusak dan memperparah kerusakan.