Oleh Ibrahim Arsyad
dari Pantau Gambut

Menganyam tikar purun bagi warga Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, merupakan kerajinan yang diwarisi dari nenek moyang mereka yang akan terus dipertahankan untuk generasi mendatang. Rusaknya ekosistem gambut,mengancam kearifan lokal yang dimiliki suku Pandesak tersebut.

Jari-jemari Depiana (36), nampak lincah merangkai setiap helai purun (Lepironia articulata) yang sudah dikeringkan untuk dibuat menjadi sebuah tikar. Ia tidak merasa canggung sedikitpun meski kerap ‘diusik’ anak bungsunya yang baru berusia 3 tahun.

Berempak (begitu warga Pedamaran menyebut untuk kegiatan menganyam tikar purun) bagi Depiana, dan perempuan suku Pandesak di Desa Menangraya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI),  adalah suatu kearifan lokal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka, sekaligus sumber ekonomi masyarakat sekitar.

Kegiatan menganyam purun ini bukan tanpa alasan, karena masyarakat Pedamaran, hidup di sekitar rawa gambut dengan luas wilayah mencapai 120.000 hektare, yang merupakan habitat asli vegetasi purun. Tidak heran jika Depi, panggilan akrab Depiana, telah mewarisi kerajinan yang berusia ratusan tahun ini sejak masih duduk di bangku sekolah dasar.

“Sehari-hari kami (ibu rumah tangga) ya menganyam tikar (purun). Ini (keterampilan mengayam) kami dapat dari gede (nenek) kami dulu,” ujar Depi, sambil memperlihatkan kelincahan jari-jemarinya merajut setiap helai purun, beberapa waktu lalu. “Merata (rata-rata) perempuan disini, bisa menganyam,” sambung ibu empat anak ini.

Ia menuturkan, seiring berjalannya waktu, tradisi yang terus dirawat tersebut semakin dapat menjadi ladang penghasilan bagi warga Pedamaran. Hal ini tentu saja dapat meringankan beban para suami sebagai tulang punggung keluarga.

“Bagi yang ada kebun, berambak ini jadi tambahan (pendapatan) untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi bagi yang tidak punya kebun, ini menjadi mata pencaharian pokok,” kata Depi.

Ancaman dan tantangan

Namun tanaman purun kini terancam akibat pesatnya investasi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI), yang secara umum menguasai lahan gambut di Sumatra Selatan, khususnya di Kabupaten OKI.

Alih fungsi hutan gambut sering kali menjadi pemicu terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada musim kering, seperti yang terjadi pada tahun 2015-2019 silam. Tidak saja menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi juga mengancam kelangsungan tradisi dan mata pencaharian tambahan (dari menganyam purun) yang telah lama menunjang perekonomian masyarakat setempat.

Saat ini dalam sehari rata-rata perempuan di Desa Menangraua, Kecamatan Pedamaran, bisa menyelesaikan tiga hingga empat helai tikar. Tidak banyak yang dapat diperoleh dari anyaman tikar ini. Meski tingkat kerumitan terbilang tinggi, sehelai tikar (ukuran 2x1 meter) hanya dihargai oleh pengepul Rp. 10.000 (kotor).

“Dari hasil penjualan tersebut, keuntungan dari jerih payah mereka hanya mencapai Rp. 3.000 per helainya. Sementara Rp. 7.000 untuk menebus bahan baku tikar (purun),” Rusmini (53) Ketua Kelompok Pemurun Desa Menangraya.

Terkait ancaman semakin tergerusnya lahan gambut menjadi area perkebunan, Rusmi mengatakan, menjaga purun di lahan gambut sangat penting, karena selain merawat tradisi (menganyam purun) juga menjadi alternatif sumber penghidupan masyarakat sekitar. “Jika ekosistem gambut rusak, maka bisa dipastikan tradisi ‘Berambak’ pun akan punah,” katanya resah.

Salah satu langkah untuk mempertahankan dan menjaga tradisi ini dilakukan oleh Rusmi dan masyarakat yang lain sejak lima tahun terakhir, yakni dengan membentuk kelompok kerajinan menganyam purun. Setidaknya ada delapan kelompok penganyam tikar khusus di Desa Menangraya, dengan beranggotakan 20 hingga 30 orang tiap kelompoknya.

Melalui kelompok kerajinan purun ini, mereka mendapat pelatihan untuk berinovasi membuat kerajinan anyaman lain, tidak hanya sebatas tikar. Contohnya, dari bahan baku yang sama mereka diajari untuk berinovasi membuat tas tangan, topi, kopiah, sendal hotel dan kerajinan lainnya yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.

“Tapi kerajinan ini sulit kami menjualnya. Kami hanya melayani pesanan, dan itu juga rata-rata dari dinas (instansi pemerintah) untuk dibawa pameran,” tuturnya.

Kepala Desa Menangraya, Kecamatan Pedamaran, Suparedi mengatakan bahwa kepedulian pemerintah daerah (Kabupaten OKI) belum serius terhadap purun ini. Kemudian peralihan hutan atau lahan menjadi kawasan industri perkebunan masih terjadi. Padahal kerajinan menganyam ini sudah diakui sebagai tradisi atau budaya masyarakat Pedamaran, oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2018 (Nomor 264/M/2018) sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.

“Mereka (kelompok tani perempuan Pedamaran) sudah dua kali melakukan demo ke kantor bupati, supaya pihak pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar membuat aturan agar keberadaan lahan (lebak purun) tetap terjaga,” ujarnya.

Ia menjelaskan, purun ini tidak hanya sebagai penunjang ekonomi masyarakat Menangraya, yang digeluti oleh ibu-ibu. Namun lebih dari itu, kerajinan yang sudah ada sejak lama yang terus turun temurun hingga sekarang merupakan sebuah warisan budaya dan identitas yang perlu dijaga.

“Saya tidak bisa bayangkan kalau kawasan tumbuhnya purun yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat diblok oleh perusahaan, yang artinya purun akan semakin hilang. Kalau purun hilang maka hilang pula identitas tersebut yang merupakan warisan dari nenek moyang kami,” ucapnya.

Tergerus

Masuknya industri perkebunan monokultur, khususnya perkebunan kelapa sawit, semakin mempersempit ruang dan kearifan lokal masyarakat di Pedamaran yang hidupnya  bergantung pada rawa gambut.

Izin konsesi memberi ruang seluas-luasnya bagi pemodal bahkan merampas hutan adat yang selama ini memenuhi kebutuhan masyarakat. Saat ini, mereka sudah tidak dapat lagi mengakses lahan sekitar konsesi perusahaan tempatnya dulu mencari purun dan ikan.

“Anak-anak muda (usia produktif) disini, banyak yang bekerja menjadi buruh harian di perusahaan (perkebunan kelapa sawit),” kata Hasbi (63), yang tetap setia merawat lahan seluas 1,5 hektar di kawasan Lebak Purun, itu.

Ia mengaku, industri perkebunan yang menjadi harapan untuk peningkataan kesejahteraan masyarakat, hanya isapan jempol belaka. Bahkan satu dekade lalu, banyak terjadi konflik masyarakat dengan perusahaan, di mana masyarakat tidak bisa berbuat banyak.

“Sekarang ini serba sulit, lahan-lahan sudah dikapling-kapling. Harga komoditi pertanian murah.” tuturnya.

Harapan di masa depan

Untuk mendorong pengembangan usaha purun yang berkelanjutan, sejak 2020 Eco Fesyen Indonesia melaksanakan Program Inkubator Badan Restorasi Gambut dan     Mangrove (BRGM) yang didanai oleh pemerintah Norwegia dan dikelola oleh United Nations Office for Project Services (UNOPS). Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan komitmen masyarakat dalam melestarikan tumbuhan sekaligus menjaga wilayah tumbuhnya purun sebagai bagian dari tata ruang desa untuk peningkatan kesejahteraaan masyarakat khususnya di Desa Menangraya, Desa Pulau Geronggang, dan desa lainnya yang tentu sejalan dengan tema Hari Lingkungan Hidup se-dunia, yaitu Restorasi Ekosistem.

“Selama ini purun yang tumbuh di lahan gambut hanya diolah menjadi anyaman tikar, padahal bisa dikembangkan menjadi produk fesyen yang bernilai ekonomi tinggi, tentunya hal ini perlu proses pendampingan”, ujar Merdi Sihombing.

Ia menjelaskan bahwa program inkubator ini diharapkan dapat membantu meningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar lahan gambut dan menjadi bagian dari salah satu upaya mitigasi perubahan iklim.

“Kegiatan ini tentu akan mendukung upaya restorasi lahan gambut dimana masyarakat dinilai telah memiliki kesadaran untuk berpartisipasi aktif menjaga kawasan konservasi”, ucap Eko Agus Sugianto Sekretaris TRGD, Tim Restorasi Gambut Daerah Sumsel.*

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.