Jembatan Bahtera Sriwijaya dan Ancaman Pada Gambut Sumsel
Oleh Hairul SobriPenulis cerita ini adalah salah satu peserta pelatihan jurnalisme rakyat dari Sumatera Selatan
Bayangkan jika sinar matahari di pagi hari tidak lagi menembus jendela kamar Anda atau rasa sesak di dada dan mata perih, serta pandangan yang tertutup kabut pekat di luar rumah terjadi pada Anda! Yang jelas, itu bukan kabut cinta ala serial drama. Ini kabut asap. Dan ini semua bukan sekadar khayalan. Saya, Anda, dan kita mungkin merasakannya saat kebakaran hutan masif terjadi pada 2015. Masih ingatkah?
Kebakaran itu memang sudah berlalu, kalau anak jaman now mungkin akan bilang “move on, dong!” Akan tetapi, move on dari kerusakan lingkungan tidak semudah move on dari bayangan mantan. Lalu, seberapa besar dampak dari kebakaran ini dan apa yang harus kita lakukan?
Kebakaran 2015 lalu menghanguskan sekitar 2,1 juta hektar hutan dan lahan dengan 35 persen atau sekitar 660 hektar lahan yang terbakar adalah lahan gambut. BNPB mencatat ada 503.874 jiwa yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di enam provinsi sejak 1 Juli hingga 23 Oktober 2015. Penderita ISPA terbanyak ada di Provinsi Jambi dengan jumlah 129.229 jiwa, lalu di Sumatera Selatan dengan jumlah 101.333 jiwa, di Kalimantan Selatan dengan jumlah 97.430 jiwa, di Riau dengan jumlah 80.263 jiwa, di Kalimantan Tengah dengan jumlah 52.142 jiwa, dan di Kalimantan Barat dengan jumlah 43.477 jiwa. Dari jumlah keseluruhan, 19 orang meninggal akibat kebakaran hutan dan lahan tersebut.
Tidak hanya itu, negara juga mengalami kerugian sebesar 221 triliun rupiah dan diperlukan biaya restorasi gambut sebesar 12 juta rupiah per hektar dalam kurun waktu lima tahun. Dalam wawancara dengan Koran Jakarta, Prof. Dr. Azwar Maas, M.Sc mengatakan, “Kalau gambut itu sudah dibuka, maka dia tidak akan bisa kembali seperti semula, kecuali digenangi kembali, ditanami lagi dengan tanaman adaptif rawa/basah atau dibiarkan suksesi alam. Ini membutuhkan waktu lama sekali, sampai ribuan tahun. Artinya, kita hanya bisa membasahi dan memperpanjang pemanfaatan, mengurangi penipisan gambut.”
Banyak pertanyaan yang mungkin terbesit di benak kita; apakah kebakaran ini bisa terjadi lagi, siapa saja yang bisa menanggulangi masalah ini, dan bagaimana mengantisipasinya agar kebakaran tidak terjadi lagi? Untuk itu, kita perlu mengenal gambut lebih dulu agar tidak membuat kesalahan yang berakibat pada kebakaran hutan dan lahan.
Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk sehingga mengandung bahan organik yang tinggi. Menurut WRI Indonesia, Indonesia merupakan rumah bagi gambut tropis terluas di dunia. Lahan gambut tropis sendiri merupakan jenis gambut yang paling kaya akan simpanan karbonnya, dengan luas lahan 3 persen dari total dataran di dunia yang mampu menyimpan hingga 75 persen karbon di atmosfer.
Ketika kebakaran terjadi, upaya pemadaman api sangat sulit dilakukan karena dibutuhkan 500 ton air untuk memadamkan satu hektar lahan gambut. Jadi, terjawab ya mengapa sangat sulit memadamkan api pada kebakaran hutan dan lahan ini, apalagi dengan luas lahan gambut hingga ratusan hektar!
Sebagai putri daerah Sumatra Selatan, seyogianya saya berkontribusi dalam mencari solusi atas permasalahan ini sehingga saya pun mencoba untuk melakukan perjalanan ke Desa Bangsal agar dapat mengetahui secara langsung seperti apa lahan gambut yang ada di daerah saya dan bagaimana dampak karhutla terhadap masyarakat di sekitarnya.
Pada Sabtu, 4 November 2017, saya bersama sembilan orang Sahabat Walhi (SAWA) Sumatra Selatan berkesempatan untuk mengunjungi Desa Bangsal. Desa ini termasuk ke dalam kawasan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), yaitu ekosistem gambut yang letaknya di antara dua sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau pada rawa.
Untuk bisa sampai di Desa Bangsal, diperlukan waktu selama tiga jam dari Palembang dengan jarak tempuh sekitar 75 km/jam menggunakan sepeda motor. Perjalanan menuju Desa Bangsal cukup menantang karena jalannya yang rusak dan masih berupa tanah merah, tanah berkerikil, dan jalan berbatu. Beberapa kali motor kami hampir kehilangan keseimbangan karena harus melewati jalan tanah yang licin.
Sebelum mencapai Desa Bangsal, kami harus melewati beberapa desa yakni Desa Pulau Layang, Tanjung Aur, Lebung Ketepeng, Tapus, dan Kuro. Sesampainya di sana, kami berhenti di sebuah rumah panggung kayu berwarna hijau dengan kolam ikan yang disekat menjadi empat bagian di bawahnya. Di belakangnya terdapat pemandangan sungai yang berwarna agak coklat kehitaman dengan hamparan rumput dan tanah yang luas.
Ketika tiba, kami tidak langsung beristirahat. Kami disambut dengan ramah oleh sekitar 20 orang remaja yang saat itu sedang berlatih memainkan alat musik rebana dan kerincingan sambil bernyayi dan bersalawat. Pemandangan tersebut cukup membuat kami bersemangat kembali. Setelah sedikit bercakap-cakap, kami pun merapikan perlengkapan yang kami bawa dan melanjutkan aktivitas masing-masing. Beberapa teman menyiapkan makan siang dan ada juga yang memancing, sedangkan saya dan dua orang teman lainnya tertarik untuk melihat remaja yang telah selesai berlatih menuju pinggiran sungai.
Sekitar 10 meter dari tempat kami beristirahat, terdapat sebuah mobil pick up berwarna hitam. Para remaja tersebut mengumpulkan eceng gondok dan meletakkannya di mobil tersebut untuk kemudian diangkut. Cuaca saat itu begitu panas sehingga topi berbentuk kerucut berbahan tikar yang disebut caping yang mereka pakai tidak bisa menahannya. Para remaja menceburkan diri di sungai untuk melepas rasa panas setelah membersihkan pinggiran sungai dari eceng gondok.
Desa Bangsal merupakan desa seluas 320 hektar yang dihuni oleh 200 kepala keluarga dan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Mata pencarian penduduk di desa ini adalah bertani, berkebun, dan beternak ikan.
Saya dan teman-teman menginap semalam di rumah Pak Kades agar dapat melanjutkan aktivitas keesokan harinya. Selain memiliki pemandangan yang indah, desa ini juga memiliki keunikan lain seperti adanya kerbau rawa (Bubalus bubalis carabauesis) atau yang lebih dikenal dengan kerbau pampangan. Ciri khas kerbau rawa yakni berkulit dan bulu warna hitam dengan kepala besar, telinga panjang, serta tanduk pendek dan melingkar ke arah belakang. Keunikan lainnya adalah kerbau ini juga dapat menyelam sambil makan. Kerbau ini merupakan salah satu aset nasional dari tujuh rumpun kerbau asli milik Indonesia yang dipelihara secara tradisional dengan melepas kerbau di padangan pada pagi hari dan digembalakan kembali pada sore hari.
Kerbau rawa merupakan salah satu jenis fauna yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Bangsal untuk menuju desa agroekologi berbasis ekonomi rawa.
Masyarakat dapat menggembalakan kerbau rawa dan memanfaatkan hasil ternaknya seperti daging dan susu yang bisa diolah menjadi gulo puan, sagon puan, mentega, yogurt, dan minyak.
Sayangnya, hasil olahan kerbau rawa ini kurang populer di mata masyarakat Sumatra Selatan sendiri. Selain itu, bahan baku yang diperlukan pun semakin sulit didapat sehingga membuat para pengolah susu kerbau rawa harus berbagi bahan baku dengan anggota kelompok lainnya. Masalah lain yang juga muncul adalah banyaknya kerbau yang mati akibat lahan yang semakin sempit setelah kebakaran 2015 lalu. Hal ini membuat para peternak kerbau rawa tidak bisa mengolah susu kerbau setiap hari dan hanya bisa mengolahnya berdasarkan jumlah pesanan.
Sementara itu, hasil olahan susu kerbau lainnya seperti gulo puan juga sangat menarik. Warnanya coklat seperti gula merah, dengan aroma susu yang kuat dan rasa yang gurih; serta dapat dinikmati secara langsung atau bisa menjadi selai untuk roti. Gulo puan dijual dengan harga 80 ribuan per kilogram.
Potensi yang dimiliki masyarakat Desa Bangsal tidak hanya terletak pada pemandangan alam yang indah dan kondisi flora dan faunanya saja, tapi juga terletak pada kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan adanya MTs (Madrasah Tsanawiyah) berbentuk yayasan bernama Ibnul Fallaah yang didirikan oleh para petani di Desa Bangsal untuk meningkatkan pendidikan anak-anak mereka di sana.
Di ruangan berukuran sekitar 5x5 meter terdapat dua buah meja dan lemari berkas di belakangnya. Sesekali terdengar pengeras suara memanggil anak-anak untuk datang ke ruangan tersebut. Sekitar 2 meter dari seberang meja terdapat sebuah lemari yang di atasnya berdiri beberapa trophy dan penghargaan yang diraih oleh anak-anak madrasah. Di ruang inilah saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan salah satu pembina Ibnu Fallaah, yaitu Ibu Serli Emilda.
Sekolah ini didirikan pada 1 Juli 2008 dengan visi “Mencerdaskan anak bangsa dan membangun akhlak mulia”. Tidak seperti sekolah pada umumnya, Ibnul Fallaah memiliki waktu libur di hari Jumat dan memiliki program pertanian terpadu pada hari Sabtu dan Minggu. Sekolah ini memiliki fasilitas yang cukup sederhana dengan dua asrama untuk murid perempuan dan laki-laki, serta beberapa ruang belajar.
Selain dibekali kemampuan akademik dan agama, murid-murid juga dilatih untuk berempati terhadap lingkungan sekitar. Setiap dua minggu sekali, anak-anak akan berkeliling mengangkut sampah-sampah yang berada di bak sampah berbetuk tong bulat berbahan seng yang terdapat di setiap rumah. Mereka juga memanfaatkan sampah-sampah plastik sebagai media untuk bercocok tanam.
Dalam obrolan kami, saya tertarik untuk bertanya tentang dampak kebakaran 2015 terhadap mereka. Walaupun jarak hutan yang terbakar jauh dari wilayah mereka, namun sekolah sempat diliburkan saat kebakaran terjadi.
Lebih lanjut lagi, Ibu Serli pun mejelaskan bahwa minimnya informasi tentang manfaat lahan gambut membuat masyarakat lokal akhirnya banyak yang ikut-ikutan membakar lahan tanpa tahu dampak yang ditimbulkan akibat pembakaran lahan tersebut. Ia juga menambahkan bahwa kebakaran dapat berakibat pada kematian kerbau rawa, lahan yang semakin sempit, dan penurunan perekononomian penduduk yang mengolah hasil kerbau rawa.
Mungkin kita sering mendengar slogan “Lebih baik mencegah daripada mengobati”, walaupun ini identik dengan penyakit. Namun, menurut saya, slogan ini juga berlaku dalam menjaga alam: lebih baik mencegah kebakaran hutan daripada harus memulihkan hutan kembali. Ada harga mahal yang harus dibayar, bukan hanya soal materi, tapi juga nyawa.
Perjalanan menuju Desa Bangsal ini membuat saya menyadari bahwa pendidikan menjaga alam harus ditanamkan sejak dini agar semakin banyak generasi muda dan masyarakat yang berempati terhadap lingkungan sekitarnya. Selain itu, di zaman yang serbacanggih dan cepat ini, pemanfaatan teknologi bisa dilakukan secara optimal dengan memperbanyak informasi mengenai pentingnya menjaga alam. Nah, salah satunya adalah informasi tentang lahan gambut yang bisa diperoleh melalui situs Pantau Gambut. Anda bisa mengakses berbagai informasi di sini, bahkan bisa berbagi cerita dan sama-sama memantau komitmen pemerintah dalam memulihkan lahan gambut.