Catatan Buruk 2020, Karhutla dan Omnibus Law Jadi Ancaman di Jambi
Oleh Feri IrawanINFO NASIONAL- Koalisi masyarakat sipil yang fokus dalam isu gambut, Pantau Gambut menemukan berbagai penyimpangan dalam tata kelola restorasi gambut di areal konsesi. Temuan tersebut dikemukakan oleh perwakilan Pantau Gambut dari Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Pantau Gambut memaparkan hasil temuan dari 1.222 titik sampel yang diobservasi pada 43 kawasan konsesi perusahaan di 7 provinsi. Selama 2015-2019 tercatat seluas 1,5 juta hektare areal gambut terbakar dengan 70 persen di antaranya berada di kawasan konsesi.
“Dari 482 titik area terbakar yang sudah diverifikasi di lapangan, sebanyak 67,8 persen menjadi lahan terlantar tanpa ada upaya pemulihan. Dan sekitar 32,2 persen sisanya ditanami tanaman ekstraktif seperti sawit atau akasia,” ujar Romes Irawan Putra yang Mewakili Simpul Jaringan Pantau Gambut dalam konferensi pers, Jumat, 28 Mei 2021.
Bahkan, kata Romes, pada verifikasi lapangan di 335 titik sampel implementasi restorasi, , sebanyak 91,5 persen tidak ditemukannya implementasi infrastruktur untuk restorasi gambut. Hanya sekitar 1,8 persen terdapat infrastruktur berupa kanal atau sumur bor.
Temuan lainnya, banyak infrastruktur untuk restorasi tidak dibangun secara layak, bahkan tidak dibangun sama sekali. “Jadi, kami melihat belum ada tanggung jawab. Upaya untuk melakukan restorasi masih sangat lemah,” kata Puspita Indah dari Pantau Gambut Sumatera Selatan seturut hasil pantauan terhadap enam perusahaan di Sumsel.
Temuan serupa terjadi di Kalimantan. Observasi terhadap 500 titik sampel yang tersebar di 12 areal konsesi, tujuh konsesi perkebunan sawit belum mengambil tindakan nyata untuk merestorasi gambut. “Hasil pantauan kami, tidak ditemukan kegiatan lapangan maupun pemulihan pasca terjadi kebakaran,” ujar Nikodemus Ale dari Pantau Gambut Kalimantan Barat. Bahkan, pada sejumlah perusahaan yang membandel ditemukan kebakaran baru.
Data dari Kalimantan Tengah lebih mencengangkan. Kebakaran besar justru terjadi di kawasan konsesi, khususnya perkebunan sawit. Selain itu masih ada perusahaan yang melakukan penanaman di area gambut yang harusnya direstorasi.
Masifnya pelanggaran oleh perusahaan besar terjadi di Papua dan Papua Barat karena membiarkan banyak kawasan gambut rusak. “Bahkan ada kawasan hutan sagu yang diubah menjadi perkebunan sawit,” kata Sulfianto Alias dari Pantau Gambut Papua Barat.
Kalaupun perusahaan mengklaim telah melakukan restorasi, yang dilakukan hanya untuk kepentingan perusahaan tersebut. “Contoh, mereka membangun kanal-kanal untuk musim hujan sehingga sawitnya tidak mati,” ujar Feri Irawan dari Pantau Gambut Jambi. Dampak kanalisasi tersebut pada lahan masyarakat di sekitarnya tidak dipikirkan.
Semua perwakilan dari berbagai daerah tersebut memberi rekomendasi kepada pemerintah agar lebih terbuka dalam memantau restorasi gambut oleh para perusahaan. Sejauh ini pemerintah, melalui Badan Restorasi Gambut dan Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutan, hanya mempublikasikan capaian besar restorasi di wilayah konsesi tanpa ada informasi detail implementasi dan tolak ukur keberhasilan restorasi tersebut. Selain itu, penegakan hukum untuk perusahaan-perusahaan yang tidak patuh peraturan juga perlu dipertegas agar memberikan efek jera. “Harapan kami, pemerintah pusat dan daerah bisa menindaklanjuti pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di areal-areal berizin. Pemerintah harus berani mencabut izin perusahaan yang melanggar,” kata Sulfianto.*
*TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN PADA TANGGAL 28 MEI 2021 DI MEDIA ONLINE TEMPO.CO