Oleh Zamzami
dari Pantau Gambut

Kebakaran hutan gambut di Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau kembali terjadi pada Februari 2019, seperti mengulang kebakaran di awal tahun sebelumnya. Api yang mudah menjalar di lahan gambut dan lokasi yang sulit dijangkau membuat kebakaran baru dapat dikendalikan setelah hampir dua bulan.

Awal tahun ini, Riau sempat membara dengan terbakarnya sejumlah kawasan hutan dan lahan gambut. Analisis Pantau Gambut (PG) atas jumlah titik panas di Riau selama Januari-Maret 2019 bahkan menunjukkan tren meningkat dibandingkan periode yang sama pada 2015. Pada Februari 2019, titik panas yang terpantau sensor VIIRS mendeteksi 94 titik panas. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan Februari 2015 yakni 74 titik panas.

Sejumlah daerah yang terbakar pada periode ini termasuk wilayah hutan gambut Desa Lukun. Menariknya, kebakaran ini terjadi di areal yang sama dengan kebakaran tahun 2014 dan 2018. Ada sebagian kawasan hutan yang masih lebat juga ikut terbakar.

Pada pekan kedua Maret 2019, atau hampir sebulan sejak api pertama kali diketahui, kepulan asap masih membumbung di sejumlah titik di hutan. Menurut Amran, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Lukun, jika tidak segera dipadamkan, kepulan asap itu bisa dalam sekejap merambat ke bagian hutan yang lebih dalam. Bagian hutan ini belum pernah terbakar.

“Ini kawasan yang belum pernah terbakar. Kayu-kayunya masih besar dan padat. Ini yang harus kita selamatkan,” kata Amran.

Ia menceritakan, kebakaran ini awalnya diketahui pada tanggal 10 Februari 2019 malam. Setelah memastikan lokasi kebakaran, Amran bersama Lukman, Kepala Desa Lukun serta masyarakat segera berangkat. Mereka membawa alat-alat pemadaman kebakaran sekadarnya. Mereka sampai di lokasi tepat tengah malam. Api berkobar hebat di areal yang dulu pernah terbakar.

Sejumlah pihak turut serta dalam pemadaman tersebut, termasuk Kepala Desa, Manggala Agni, serta beberapa anggota Polri dan TNI. Namun, yang paling lama memadamkan api adalah tim pemadam dari Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Lukun. Bahkan, mereka menginap hampir dua bulan penuh di dekat lokasi kebakaran yang memang cukup jauh dari desa.

Menurut laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, kebakaran di seluruh Kabupaten Kepulauan Meranti hingga akhir Maret 2019 adalah 232,4 hektar. Lahan gambut dan hutan yang terbakar di kabupaten tersebut tersebar di beberapa desa, satu di antaranya Desa Lukun. Angka luasan terbakar yang diungkap BPBD ini jauh berbeda dengan data di lapangan. Berdasarkan keterangan dari tim LPHD, kebakaran di Lukun luasannya  mencapai 400 hektar pada periode yang sama.

Untuk memastikan luasan kebakaran di Lukun, Pantau Gambut melakukan analisis spasial atas area bekas terbakar di desa ini. Analisis yang dilakukan adalah normalized burn ratio dengan menggunakan data Landsat yang diunduh pada periode 8 Februari 2019 hingga 30 April 2019.

Dari hasil analisis, luasan terbakar di Lukun pada periode 8 Februari 2019 hingga 30 April 2019 mencapai 1.450,73 hektar. Luasan hasil analisis spasial ini menggambarkan bekas area yang terbakar api yang terpantau pada Februari hingga Maret.

Berdasarkan data dari sensor VIIRS, NASA, hotspot dengan tingkat kepercayaan tinggi terpantau di 20 titik pada Februari hingga Maret 2019. Selama April 2019, tidak ada titik panas dengan kepercayaan tinggi yang tertangkap sensor. Sehingga, luasan kebakaran yang tampak dari peta adalah bekas akibat kebakaran yang terjadi pada periode Februari hingga Maret.

Perbedaan data soal luasan kebakaran di Lukun ternyata bukan terjadi kali ini saja. Pada awal 2018, hutan gambut di desa ini terbakar. BPBD Riau menyebut luas hutan dan lahan yang terbakar dari awal Januari hingga 26 Februari 2018 mencapai 731,5 hektar untuk satu provinsi. Dari luasan itu, kebakaran di Desa Lukun mencapai 200 hektar. Namun, data yang jauh berbeda disampaikan peneliti dari Universitas Riau. Penelitian yang difasilitasi Badan Restorasi Gambut (BRG) ini menyebut luas kebakaran di Lukun saja telah mencapai 1.224 hektar.

Lukun merupakan salah satu desa yang wilayahnya menjadi target restorasi 2 juta hektar lahan gambut. Sejak 2017, BRG telah melaksanakan sejumlah program restorasi, terutama pembangunan infrastruktur pembasahan gambut (rewetting) berupa sekat kanal yang bertujuan menjaga tingkat kebasahan gambut sehingga tidak mudah terbakar. Selain (rewetting), ada juga program revitalisasi ekonomi masyarakat dan penelitian. Program restorasi gambut di Lukun melibatkan masyarakat, yaitu melalui kerjasama BRG dengan Pusat Studi Bencana LPPM Universitas Riau pada 2017 dan juga oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas) Damai pada 2018.

Dari pengamatan di lapangan, memang terlihat sejumlah sekat kanal yang sudah beroperasi. Tim Simpul Jaringan Pantau Gambut sempat mengunjungi Lukun dan melihat ada 17 sekat kanal di desa ini. Sejumlah 16 sekat kanal ada di kanan atau kiri jalan poros desa yang terletak dekat dengan pemukiman penduduk. Jarak satu sekat kanal dengan sekat kanal lainnya sekitar 150 meter hingga 300 meter. Dari plang proyek, beberapa sekat kanal merupakan kegiatan yang dilakukan pada 2017.

Sementara itu, 1 sekat kanal lainnya berada di wilayah yang agak jauh dari pemukiman dan lebih mudah dijangkau dengan transportasi air. Lokasi gambut terbakar pada awal tahun 2019 ini terletak di dekat sekat kanal yang jauh dari pemukiman tersebut (lihat peta).

Dari peta terlihat bahwa sekat kanal banyak berada di kawasan yang tidak rentan terbakar atau terpantau titik panas. Karena ini lah sejumlah warga menilai program pembangunan infrastruktur pembasahan di Lukun tidak tepat sasaran sehingga kebakaran terus berulang di lokasi yang seharusnya bisa diantisipasi.

Terkait dengan ini, Deputi Bidang Edukasi Sosialisasi Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna A Safitri mengakui bahwa program yang sudah terlaksana jauh dari titik kebakaran. Namun pemilihan lokasi pembangunan semuanya diserahkan kepada usulan warga.

“Mengenai kebakaran, kami sudah cek. Lokasinya agak jauh dari (pemukiman) warga. Kami memprioritaskan usulan pembangunan sekat kanal di dekat (pemukiman) warga atas usulan warga. Ada proses Padiatapa,” kata Myrna, merujuk pada singkatan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan.

Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Lukun, Lukman. Menurut dia, pembangunan sekat kanal di dekat pemukiman juga penting karena lokasi ini pernah nyaris terbakar pada 2014 lalu. Selain itu, masalah biaya juga menjadi pertimbangan. Pembiayaan pembuatan sekat kanal yang telah dianggarkan tidak akan cukup jika pembangunan dilakukan di dalam hutan yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki sejauh 3 kilometer.

“Kalau dibuat di sana (lokasi terbakar), kan jauh. Jadi harus ada biaya angkut bahan-bahan bangunannya,” kata Lukman. Meski demikian, warga berharap program berikutnya bisa menjangkau lokasi-lokasi terbakar.

 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.