Oleh Aries Munandar
dari Pantau Gambut

Kebun nanas berfungsi sebagai sekat bakar. Api yang menjalar dari lahan semak belukar diredam sehingga tidak menghanguskan jalan dusun dan areal pertanian lain.

Syafii mengayunkan sebilah parang di tangan kanannya. Ia sedang membersihkan tempat sumber pencahariannya, kebun nanas di lahan gambut.

Syafii yang baru genap memasuki usia 40 tahun membudidayakan nanas pada lahan gambut seluas 50 x 10 meter di Dusun Jaya, Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Awalnya Syafii menanam 500 bibit ditanam Syafii, namun 10% bibit mati, sedangkan sebagian besar tumbuh hingga dewasa. Semenjak dua tahun silam, ia sudah melewati empat kali masa panen dan setiap panennya menghasilkan 200 buah nanas dengan harga total Rp600 sampai dengan Rp800 ribu.

“Selain nanas, saya juga menanam ubi (singkong) karena tumbuhan ini paling cocok ditanam di tanah gambut. Namun saya juga membudidayakan karet di tanah aluvial,” kata Syafii.

Keuntungan ekonomi hanya salah satu manfaat besar yang diperoleh Syafii dari usaha budidaya nanas. Manfaat lain, yang tidak kalah pentingnya ialah dia dan warga sekitar terhindar dari bencana kebakaran lahan yang bahkan bisa terjadi dua kali dalam setahun.

Lahan gambut yang dikelola Syafii berada di pinggir jalan utama dusun, dan dikelilingi semak belukar. Saat kemarau panjang, kawasan tersebut kerap terbakar.

“Sumbernya tidak tahu dari mana. Api tiba-tiba saja muncul dan terus membesar,” ungkap Syafii.

Karena itu, nanas pun ditanam di pinggiran jalan dusun untuk mencegah kebakaran sejak 2018 silam. Para warga menyebutnya sebagai sekat bakar. Selain Syafii, ada tiga warga lain membudidayakan nanas pada hamparan gambut yang sama. Total luas keempat lahan tersebut sekitar 200 x 10 meter.

Kebun nanas berfungsi sebagai sekat bakar. Api yang menjalar dari lahan semak belukar diredam sehingga tidak menghanguskan jalan dusun dan areal pertanian lain milik warga.

 

 

“Nanas dipilih menjadi sekat bakar karena berdasarkan pengalaman warga nanas sulit terbakar. Hal ini disebabkan oleh jarak penanaman yang rapat dan daun tumbuhan yang tebal sehingga lebih tahan dari kebakaran,” kata Agapitus, pendamping masyarakat dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat.  

Awalnya nanas yang ditanam memang belum mampu untuk mencegah kebakaran. Belum genap setahun nanas ditanam, kebakaran lahan kembali melanda hamparan gambut tersebut pada Februari 2019 lalu.

“Mungkin karena nanasnya saat itu masih kecil-kecil jadi jaraknya belum rapat. Untungnya sebagian besar tanaman nanas tersebut selamat dan tetap hidup sampai sekarang. Sekarang, tidak pernah terjadi lagi walaupun lahan di sekelilingnya terbakar,” jelas Syafii.

Pemanfaatan nanas sebagai sekat bakar juga diterapkan di Dusun Jaya Raya, yang bersebelahan dengan Dusun Jaya. Sekitar 4.000 bibit nanas untuk kedua dusun tersebut didatangkan melalui Pontianak.

“Jarak tanamnya sekitar 1 x 1 meter. Karena berfungsi sebagai sekat bakar, jalur penanamannya memanjang,” ujar Agapitus.

Pengembangan usaha

Sejak 2018, usaha Syafii semakin berkembang. Dia memanfaatkan anakan nanas bantuan dari Walhi Kalimantan Barat tersebut sebagai bibit untuk ditanam pada lahan gambut lain. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari lokasi sekat bakar yang berada di dusunnya.

Luas penanaman pada lokasi pengembangan itu sekitar 250 x 35 meter. Syafii juga bertanam singkong, cabai, lengkuas, dan beberapa komoditas lain di sekitar kebun nanas. Lahan tersebut sebelumnya juga sering terbakar. Syafii pernah tidak tidur semalaman karena harus berjaga dan memadamkan api di sekitar pondok kerjanya.

 

 

“Saya menggunakan tangki (alat semprot pestisida) untuk memadamkan api. Kebakarannya sampai berhari-hari, dan baru betul-betul padam setelah (diguyur) hujan deras,” katanya.  

Budidaya nanas sudah lama dikenal warga Desa Sungai Enau dan wilayah di sekitarnya. Abdul Halim, Kepala Dusun Jaya juga sudah menanamnya sejak 10 tahun lalu di lokasi bekas kebakaran lahan.

“Peluang pasar untuk komoditas tersebut sebenarnya cukup menjanjikan. Permintaannya biasa melonjak menjelang lebaran karena banyak warga membutuhkan nanas untuk dibuat selai,” kata Abdul Halim.

Petani Sungai Enau umumnya menjual nanas dalam bentuk segar ke Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat. Waktu tempuhnya sekitar 1,5-2 jam dengan sepeda motor. Lama perjalanan sebenarnya bisa lebih singkat jika kondisi jalan tidak rusak berat. Halim sebenarnya ingin mengembangkan lebih luas nanas agar menjadi komoditas andalan dusun mereka sehingga tidak sekedar dimanfaatkan menjadi sekat bakar. Namun, respons yang diterimanya jauh dari harapan.

“Mereka bilang nanti susah untuk membersihkan lahan untuk kegiatan lain atau membangun rumah karena telah ditanami nanas,” ujar Halim, menirukan alasan warga. 

Namun demikian, menanam tanaman yang memerlukan lahan gambut kering, misalnya nanas, singkong, lengkuas, tidak dapat mendukung keberlanjutan lahan gambut. Lahan gambut sebisa mungkin harus tetap basah, sehingga apabila sudah terlanjur dikeringkan, praktik yang paling baik untuk dilakukan adalah membasahkan kembali lahan gambut dengan cara membangun sekat-sekat di kanal-kanal yang telah ada, dan kemudian apabila ingin memanfaatkan lahannya untuk budi daya, maka sebisa mungkin memilih jenis tanaman yang tidak memerlukan pengeringan. Membasahkan kembali lahan gambut merupakan upaya terbaik untuk menghindari terjadinya kebakaran lahan. 

 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.