Prasasti Talang Tuwo, Kearifan Lokal Menjaga Ekosistem Gambut (3)
Oleh Parliza HendrawanHaiz, 72 tahun, tampak bugar ketika sedang memanen kacang tunggak di kebunnya di Desa Baruh Jaya, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Ia berkata, kondisi kesehatannya sangat baik jika dibandingkan pada Agustus. Waktu itu, Haiz mengalami demam, sesak napas sampai tak bisa membaui. Ia merasai gejala terinfeksi virus corona (Covid-19), pada pekan pertama Agustus. Proses pemulihan kesehatan berlangsung selama tiga pekan. Haiz memencilkan diri di sebuah pondok dalam area kebunnya yang berjarak 12 kilometer dari rumahnya.
"Waktu itu banyak orang dibawa ke rumah sakit. Aku mau di kebun saja," katanya, Selasa, 21 September 2021.
Haiz merasa nyaman menjalani proses pemulihan di pondok berukuran 4x6 meter itu. Alasannya, supaya tidak dirawat berbareng dengan pasien Covid-19 lainnya, yang saat itu sangat banyak ketika mewabah virus varian Delta (B.1.617.2).
Sedari Juli hingga September terjadi peningkatan kasus aktif Covid-19 di semua kecamatan, di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Dinas Kesehatan Hulu Sungai Selatan, mencatat 138 warga yang terinfeksi Covid-19 di tiga kecamatan, yaitu Daha Selatan, Daha Utara, dan Daha Barat rentang Juli hingga September 2021. Angka menunjukkan lonjakan dibandingkan pada Januari hingga Juni yang tercatat 64 kasus aktif Covid-19.
Tak cuma Haiz yang memencilkan diri di kebun. Warga Desa Samuda -bersebelahan dengan Desa Baruh Jaya- juga ada yang melakukan hal sama saat mengalami gejala Covid-19. "Adik ipar aku dibawa (isolasi mandiri) ke hutan," kata Maslan, warga Desa Samuda. Saat memencilkan diri itu, Abdullah, adik ipar Maslan, menganggap pilihannya sebagai langkah yang tepat. “Di sana, dia bisa lebih enak berjemur. Sekarang sudah sembuh” ucap Maslan.
Warga yang merasa nyaman memulihkan diri di kebun area hutan tetap memperhatikan ancaman kesehatan yang disebabkan oleh asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Walaupun, asap tak selalu melewati tempat mereka memulihkan diri, tapi ketika terhirup akan memengaruhi tubuh yang sedang sakit. “Ketika orang menghirup asap (kebakaran) bisa menyebabkan penurunan daya tahan tubuh,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan, Muhammad Muslim.
Tim Pakar untuk Percepatan Penanganan Covid-19 Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menyoroti, bahwa karhutla bisa menambah buruk penanganan pandemi. "Itu terjadi bersamaan gelombang ketiga penyebaran Covid-19 di Kalimantan Selatan," kata Hidayatullah Mutaqqin, selaku anggota Tim Pakar untuk Percepatan Penanganan Covid-19 ULM.
Hidayatullah menjelaskan, Kalimantan Selatan dilanda kasus Covid-19 gelombang ketiga pada Juni hingga September 2021. Kala itu, pemerintah sempat melonggarkan aktivitas masyarakat, walaupun masih mewabah Covid-19 varian Delta. Mobilitas penduduk setelah libur panjang Idulfitri juga menjadi salah satu yang memicu penyebaran Covid-19.
Hidayatullah mengamati, penularan Covid-19 gelombang ketiga juga kasus kematian di perdesaan dan bencana karhutla masih kurang pendataan. Adapun masalahnya, karena masih terbatas pengujian (testing) dan pelacakan (tracing). Faktor itu menjadi kian rumit ketika masyarakat enggan memeriksakan diri ketika mengalami gejala Covid-19.
Jika merujuk kasus Nagara (sebutan distrik lama untuk wilayah Daha Selatan, Daha Barat, Daha Utara), populasi penduduk yang sedikit, maka minim penularan di daerah itu. Tapi, masalahnya penularan virus juga bertaut kasus terinfeksi yang masif di kawasan perkotaan.
“Akhirnya, Covid-19 akan sampai di daerah terpencil," kata Hidayatullah.
Bencana asap selalu ada
Pantau Gambut mengamati asap terus mengepul di kawasan hutan rawa gambut pada pukul 08.30, Selasa, 21 September. Kepulan asap memang tak terlalu pekat, tapi baunya sampai di permukiman warga Desa Baruh Jaya, sekitar 20 kilometer dari area kebakaran.
Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Hulu Sungai Selatan, Bakeri menuturkan, bahwa asap kebakaran itu muncul pada pagi dan malam. "Kalau di kampung (permukiman) asapnya lewat saja," tuturnya.
Kebanyakan area terbakar di lahan rawa gambut yang bukan garapan petani lokal. “Lahan petani yang terbakar itu jarang ada, tapi selalu di hutan sekitar perkebunan sawit," kata Bakeri.
Pada kurun Juli hingga September 2021, analisis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dengan tingkat kepercayaan data (konfidensial) rendah menemukan ada 107 titik panas (hotspot) di kawasan Nagara. Adapun di Daha Selatan berjumlah 38 titik. Di kawasan Daha Utara juga sebanyak 38 titik. Wilayah Daha Barat terdapat 31 titik.
Jika dibandingkan jumlah titik panas perbedaannya cukup besar pada 2020. Data LAPAN menunjukkan, 41 titik panas selama kurun Juli hingga September 2020. Di Daha Utara ditemukan 15 titik panas. Sebanyak 15 titik panas juga terdapat di Daha Barat. Adapun di Daha Selatan berjumlah 11 titik panas.
Pengamatan Pantau Gambut melalui sensor satelit Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) Burned Area Product diketahui area terbakar di Daha Selatan luasnya 668,08 hektare. Adapun di Daha Barat luasnya 234,25 hektare. Kebakaran di wilayah itu dalam kurun waktu Juli hingga Oktober 2020. Tak ditemukan area terbakar di Daha Utara selama tahun 2020
Bakeri mengatakan, kebakaran terasa paling parah terjadi pada Agustus hingga September 2020. “Di Desa Baruh Jaya juga sekitarnya berkabut asap sampai satu pekan, (tiap hari) siang, malam,” katanya. Ia menambahkan, kebakaran tahun ini tak sebegitu parah, karena intensitas curah hujan.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Hulu Sungai Selatan, Syamsudin menjelaskan perbandingan kebakaran tahun 2020 dan 2021, titik lokasi cenderung tak jauh berbeda. “Kalau bicara asap, kemungkinan yang parah tahun 2020. Asap sering masuk masuk ke permukiman, karena (terdorong) arah angin,” katanya.
Menurut dia, biasanya kebakaran terjadi jauh dari pemukiman warga. "Biasanya itu di tengah hutan," ujarnya. Syamsudin menambahkan, BPBD Hulu Sungai Selatan tak menemukan kebakaran di dalam Hak Guna Usaha (HGU) pada 2021. “Kalau di luar sekitar HGU pun jangan sampai terjadi, kami sudah mewanti-wanti perusahaan,” katanya.
Jika terjadi kebakaran di sekitar HGU, maka perusahaan harus ikut memadamkan api. “Kami mengarahkan kepada Tim Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat (TKTD) perusahaan," ucap Syamsudin.
Aktivitis lingkungan menyoroti, bahwa pemerintah harus melakukan mitigasi bencana secara menyeluruh. Tak hanya penanganan Covid-19, tapi juga karhutla. Hal itu terkait berfungsinya infrastruktur pencegahan kebakaran. “Bisa berfungsi di semua desa yang rentan terkena dampak kebakaran lahan gambut," kata Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Muhammad Jefry Raharja.
Soal Covid-19, Jefry menganggap penting peran pemerintah untuk edukasi, terutama sosialisasi program vaksinasi. "Kita tidak tahu karhutla yang akan datang, jadi perlu ada mitigasi bencana yang benar-benar dijalankan," ujarnya.