Lomba Cerpen "Perempuan di Tanah Membara"
Oleh Admin Pantau GambutINFO NASIONAL-Koalisi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu gambut dan memantau perkembangan restorasi gambut di tujuh provinsi menemukan masih ada perusahaan konsesi yang belum melakukan upaya restorasi di lahannya. Fakta ini diungkapkan peneliti dari Pantau Gambut, Agiel Prakoso dalam diskusi virtual “Membedah Teka-Teki Kegiatan Perlindungan Ekosistem Gambut di Area Berizin”, Jumat, 28 Mei 2021. Acara yang diadakan Indonesia Forest Forum, Pantau Gambut, dan Tempo.co ini disiarkan langsung di YouTube Tempo.
Observasi dilakukan di 1.222 titik sampel implementasi restorasi, area gambut bekas terbakar dan area gambut lindung di 43 perusahaan pemilik konsesi pada tujuh provinsi. Kegiatan verifikasi lapangan dilakukan dengan beracuan pada hasil analisa desktop menggunakan citra satelit untuk menentukan hasil indikasi pelanggaran awal. Dari 482 titik verifikasi lapangan pada area gambut bekas terbakar, sebanyak 68,7 persen telah menjadi lahan terlantar tanpa upaya pemulihan. Sedangkan sisanya ditanami kelapa sawit dan akasia.
Hasil temuan ini melanggar peraturan hukum yang berlaku.. Sesuai Permen LHK No.77 Tahun 2015 pasal 8 menyebutkan Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan hutan di areal kerja yang terbakar. Selain itu, menurut Permen LHK No. 16 Tahun 2017 pasal 14 juga menyebutkan, rehabilitasi area bekas terbakar seharusnya dilakukan dengan cara revegetasi atau penanaman kembali dengan tanaman asli gambut.
“Kita hanya tahu datanya, tapi fakta di lapangan dan implementasi hukumnya tidak dibuka ke publik,” kata Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau, Romes Irawan Putra.
Untuk itu, Pantau Gambut merekomendasikan perlunya sistem pemantauan yang dapat menunjukkan kemajuan restorasi di wilayah konsesi dan mendorong mekanisme pemantauan pelaksanaan perintah pemulihan yang lebih tegas dan transparan. Selain itu, Pantau Gambut juga mendorong partisipasi multipihak untuk kemajuan dan keberlangsungan restorasi gambut.
Senada dengan itu, Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, Danang Kabul, mengatakan perlu sistem pemantauan untuk memastikan semua peraturan telah dilaksanakan. “Intinya perusahaan konsesi harus mempunyai dokumen perencanaan tunggal dan perlu dikonfirmasi antara dokumen dan implementasi di lapangan seperti apa,” katanya.
Adrianus Eryan, dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyampaikan, perlunya ketegasan terhadap korporasi besar sesuai hukum yang berlaku. Selain itu perlu diteliti juga bagaimana seharusnya instrumen hukum untuk masyarakat kecil yang melanggar.
Menjawab hal ini, Tenaga Ahli Utama Kedeputian I Kantor Staf Presiden,Trijoko Mohammad Solehoedin menyampaikan setiap kawasan gambut harus dilindungi. Seandainya dijadikan kawasan budidaya, fungsi kawasan konservasi harus berjalan.
“Peran masyarakat dalam memantau dan kontrol sosial diperlukan, tapi peran pemda berkaitan kawasan konservasi perlu dipertanyakan juga. Dengan keterlibatan semua pihak, pemerintah dapat secara maksimal menjalankan law enforcement pada perusahaan yang tidak menjalankan itu,” ujarnya.
Terkait kegiatan pencegahan karhutla, KBP Kurniadi, Kasubdit 3 Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri mengungkapkan, sejak 2019-2021 Polri sudah melaksanakan sejumlah kegiatan mitigasi diantaranya sosialisasi, membangun menara pantau, kanal, embung, monitoring titik api dan sejumlah inovasi lainnya .
“Namun, dalam penegakkan hukum kendalanya adalah penentuan titik api, di area lahan gambut. Inovasi sudah didorong, seperti membuat sistem pemantauan CCTV seperti yang dilakukan Polda Jambi. Sistem pantauan lain juga didorong lebih baik dan efektif. Pelaku usaha juga kita imbau melakukan inovasi terkait hal itu,” katanya.(*)
*TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN PADA TANGGAL 29 MEI 2021 DI MEDIA ONLINE TEMPO.CO