Perempuan yang Melawan: Sumarni Laman
Oleh Pantau GambutAncaman Deforestasi dan Illegal Logging
Ancaman deforestasi akibat dari kebakaran hutan dan illegal logging, konversi lahan menjadi perkebunan terus menghantui kawasan gambut dan hutan di Kabupaten Siak. Dari situs Yayasan Elang, LSM lingkungan berbasis di Riau, menyebutkan bahwa deforestasi dan kebakaran hutan telah menyebabkan 80% gambut di Kabupaten Siak terdegradasi.
Yayasan Elang menyebutkan mayoritas deforestasi ini terjadi karena kegiatan industri perkebunan HTI, sawit, pertanian dan pemukiman sementara faktor kedua degradasinya disebabkan kebakaran hutan. Dari luas gambut 479.485 hektare di Kabupaten Siak, sekitar 80% yakni 383.331 hektare terdegradasi.
Kondisi tersebut bahkan mengancam salah satu hamparan gambut yang cukup luas dan punya tegakan hutan baik di Kabupaten Siak, yaitu Ekosistem Taman Nasional Zamrud.
Aktivitas pembalakan liar pun terus meningkat di kawasan di sekeliling kawasan TN Zamrud tak terkecuali di areal Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Desa Rawa Mekar Jaya, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak.
Kekhawatiran ini disampaikan Ahmad Nawawi, Sekretaris Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Rawa Mekar Jaya.Perambahan liar sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir,namun mulai meningkat intensitasnya selama pandemi covid-19. Peningkatan terjadi karena lapangan pekerjaan di kota berkurang sehingga banyak yang kembali ke desa dan melakukan pekerjaan apa saja asal menghasilkan uang.
“(Intensitas) Tinggi. Ngeri illognya (illegal logging). Karena masih banyak Meranti, Punak, Kayu merah, Balam, Bintangor dan Suntai yang harganya sudah mahal. Bagian Timur dan Selatan Rawan. Kalau dari darat belum ada (pembalak) lewat Sungai Rawa, dan sungai itu tembus ke Danau Zamrud,” kata Nawawi.
Perhutanan Sosial demi melestarikan kawasan hutan
Pembalakan liar yang mengincar kayu-kayu bernilai tinggi di Hutan Desa Rawa Mekar Jaya (HDRMJ) inilah yang membuat warga tidak ingin tinggal diam. Pada tahun 2015, ketika pemerintah Jokowi menggencarkan program Perhutanan Sosial, muncul harapan bagi warga untuk mengusulkan kawasan hutan di desa mereka dalam program tersebut. Setelah berjuang mengusulkan Perhutanan Sosial sejak 2015 pada 7 Januari 2021, Warga Desa Rawa Mekar Jaya menerima SK Perhutanan Sosial Hutan Desa seluas 3.433 hektare. Luasannya lebih kecil dibandingkan yang diusulkan mereka yakni 4.970 hektare. SK itu diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi secara virtual.
“Di awal dulu sebelum pengajuan proposal perhutanan sosial, kita melihat skema Hutan Desa sebagai solusi untuk antisipasi kerusakan hutan gambut Rawa Mekar Jaya. Ini yang sedang kita kerjakan,” ujar Nawawi kepada Pantau Gambut.
Hutan Desa Rawa Mekar Jaya masuk ekosistem rawa gambut yang pada bagian hulunya berbatasan dengan Taman Nasional Zamrud dan sisi lain diapit perkebunan sawit serta hutan tanaman industri. Hasil pengamatan lapangan yang dilakukan warga ketika mengusulkan Perhutanan Sosial, diketahui kedalaman gambutnya mencapai 13 meter.
“Setelah dapat SK, kami lakukan sosialisasi bersama aparat pemerintah desa dan masyarakat. Dan sebelum puasa kemarin, ada tim Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) yang turun ke lapangan untuk mengecek titik-titik koordinat dalam SK,” ujar Nawawi pertengahan Juli lalu.
Tantangan Perhutanan Sosial di Desa Rawa Mekar Jaya
Namun saat turun ke lapangan, ia melihat ancaman pembalakan liar semakin tinggi. Melalui data yang ia kumpulkan, setidaknya ada belasan pembalak baik dalam operasi individu maupun kelompok yang terus menggasak hingga ke dalam kawasan Hutan Desa.
“Jadi ada satu kelompok yang beranggotakan 6 orang dan masing-masing mereka bawa chainsaw. Memang ini bukan seperti land clearing HTI atau kebun sawit yang membabat semua tegakan, tapi kayu yang diambil cukup bernilai tinggi,” katanya.
Tantangan lain dalam perlindungan hutan gambut HDRMJ adalah pengkaplingan lahan. Setidaknya ada kebun sawit yang sudah berusia empat hingga lima tahun. Luasnya sekitar 20 hektare. Di bagian lain Hutan Desa ini ada juga kebun sagu. Kebun sagu ini sudah turun temurun dikelola warga desa.
Kondisi ini dibenarkan oleh Nurhadi Rahim, penyuluh Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Tasik Besar Serkap yang lakukan pendampingan setelah izin diterbitkan. Tantangan itu teridentifikasi ketika pihaknya bersama LPHD melakukan pendataan potensi di lapangan untuk mengetahui tutupan maupun kondisi biofisik lahan. Hasil pendataan biofisik ini akan memudahkan LPHD dalam mengelola kawasan baik di dalam blok perlindungan maupun blok pemanfaatan.
“Kegiatan pendataan itu bukan saja untuk mengetahui situasi saat ini, tapi juga identifikasi potensi konflik di masa depan. Di sana itu kan terdapat beberapa orang yang mengklaim memiliki lahan. Kita masih proses identifikasi untuk dicarikan jalan keluarnya,” kata Rahim kepada Pantau Gambut baru-baru ini.
Soal klaim kepemilikan ini, ternyata rata-rata dimiliki oleh orang di luar desa, dan itu berada di dalam kawasan Hutan Desa. Menurut Setiono, penyuluh kehutanan swadaya masyarakat yang juga warga Desa Sungai Rawa, alas hak lahan tersebut adalah Surat Keterangan Ganti Rugi dan Surat Keterangan Riwayat Kepemilikan Tanah. Namun dalam penelusurannya, surat ini diterbitkan satu dekade lalu ketika belum ada pemekaran desa.
“Namun pemiliknya ini sudah tahu dengan keberadaan (status) Hutan Desa. Sehingga tidak ada pengolahan sejak izin Hutan Desa diterbitkan. Kedepannya, kita akan gandeng dan duduk besama untuk dicari solusi bersama, agar hutan desa tetap terjaga, namun pemiliknya juga tidak dirugikan,” kata Setiono kepada Pantau Gambut. Rahim memperkirakan akan memakan waktu cukup panjang untuk verifikasi dan penyelesaiannya. Namun, ia melihat pengurus LPHD sudah ada rencana mengadakan pertemuan untuk membahasnya.
“Saya dapat laporan sudah mau diadakan pertemuan untuk membahas itu. Estimasi saja, setengahnya sudah diklaim masyarakat. Kalau di blok perlindungan tidak ada klaimnya, yang sudah dikuasai itu di blok pemanfaatan. Dari luasan 3.000 (hektare) itu izin, hampir setengahnya (diklaim),” ujar Rahim.
Mengenai penyelesaian masalah tersebut, Nawawi dari LPHD Rawa Mekar Jaya mengatakan, kini sedang dilakukan penandaan batas untuk zonasi . Pemasangan tapal batas ini sangat penting untuk memberitahu pihak lain bahwa areal tersebut sudah ada dasar hukum pengelolaannya sehingga perambahan diharapkan berkurang.
“Kita lagi menyusun rencana kerja tahunan. Ini termasuk bagaimana skema penjagaan kawasan. Tapi dalam penjagaan ini kami berharap ada bantuan dari pihak lain, karena kalau hanya diserahkan ke pengurus, tidak akan sanggup,” kata Nawawi.
Sementara itu tantangan internal yang juga dilihat oleh Nawawi adalah bagaimana meningkatkan kapasitas para pengurus LPHD. Hampir semua pengurus punya pekerjaan utama sebagai tulang punggung keluarga. Sehingga mengelola hutan tidak sepenuh waktu dilakukan.
Hal kedua adalah terbatasnya kapasitas dan keterampilan pengurus dalam organisasi yang mengemban amanah cukup besar yakni melindungi hutan dan meningkatkan kesejahteraan warga melalui Hutan Desa.
Dengan melihat tantangan yang akan dihadapi pengurus LPHD, Nawawi berharap ada bantuan dari berbagai pihak untuk memperkuat organisasi dan dalam menjalankan program perlindungan hutan desa.
Baru-baru ini LPHD dapat bantuan dana dari Bank Pesona yang dibantu pengurusannya oleh BPSKL (Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan) 50 juta. Untuk penanaman tiga jenis tanaman hutan yakni 1.000 batang pinang, 1.000 batang sagu dan 500 batang aren. Ini akan ditanam di 20 hektare.
“Kita ini persatuan orang-orang petani, buruh yang hidup di bawah kemiskinan. Kita berharap bantuan sebanyaknya dari pendamping-pendamping NGO ini terutama dalam mengambangkan strategi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Karena masyarakat tidak bisa mengelola sendiri. Sementara untuk pengawasan, kita akan kesulitan mengantisipasi konflik ini karena kita bukan seperti polisi,” kata Nawawi.