Oleh Yitno Suprapto
dari Pantau Gambut

Ribuan hektar hutan rawa gambut yang tumbuh lebat di tepi Sungai Batanghari menyimpan keanekaragaman hayati ekosistem air yang unik. Namun,kegiatan alih fungsi dan pengeringan lahan gambut telah mengancam habitat jutaan ikan dan sumber penghidupan nelayan di Desa Rukam, Kabupaten Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.

Desa Rukam memiliki luasan wilayah sebesar 12.900 hektare yang membujur di tepi Sungai Batanghari. Dari total luasan tersebut, sekitar 2.800 hektare merupakan lahan gambut dengan kedalaman 2-5 meter dan sekitar 2.327 hektare merupakan hutan rawa yang masih alami.

Namun,eksistensi kampung itu tengah terancam, karena terhimpit di antara dua wilayah perkebunan raksasa yakni PT. Erasakti Wira Forestama (EWF) dan PT.Wira Karya Sakti (WKS).

Tahun 2002 PT. EWF mulai beroperasi setelah mengantongi izin Bupati Muaro Jambi, Burhanudin Mahir,untuk menggarap lebih dari 4.000 hektare lahan di Desa Rukam, Teluk Jambu, Dusun Mudo dan Sekumbung. Lebih dari separuhnya merupakan hutan adat Desa Rukam yang sebagian besar berupa rawa gambut.

Tidak lama setelah memperoleh izin, rawa gambut dikeringkan untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit PT. EWF. Kubah gambut disodet, air dialirkan melalui kanal-kanal dan dikendalikan dengan pompa raksasa untuk mengatur sirkulasi airnya. Perusahaan juga membangun tanggul sepanjang 9-11 km dengan tinggi 8 meter sebagai penghadang banjir.

Hal ini berdampak pada danau dan lopak (danau kecil) menjadi kering. Datuk Syafei, tokoh masyarakat Rukam menyampaikan, bahwa setidaknya ada 10 danau dan lopak dikeringkan untuk perkebunan kelapa sawit, yaitu Danau Leban Condong, Belanti, Sarang Burung, Mentangur dan lopak Hijau, Bulat, Rumbai, Panjang, Senen serta lopak Betung. Ekosistem ikan air tawar yang telah ratusan tahun menopang hidup nelayan Rukam langsung lenyap. Tidak ditemukan lagi perahu yang sibuk wara-wiri membelah belantara rawa gambut. Jaring dan tangkul—jala ikan dengan bambu dipasang menyilang membagi empat sisi—dibiarkan mangkrak tak terurus. Perlahan Desa Rukam berubah menjadi desa nelayan tanpa ikan.

Hasil studi yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi bersama peneliti dari  Universitas Jambi pada 2019, menemukan perekonomian warga Desa Rukam memburuk sejak PT. EWF datang dan menghabisi rawa gambut. Banyak nelayan kehilangan hasil tangkapan akibat habitat rusak. Selama ini sektor perikanan jadi penyumbang ekonomi terbesar bagi warga Rukam, nilainya ditaksir mencapai  Rp 26 miliar setahun.

Sebelumnya, ketika musim hujan datang antara November hingga Februari, nelayan di Rukam panen besar. Banyak ikan gabus, tembakang, lembat, bujuk, serandang terbawa air dan  terperangkap jaring warga. Hasil tangkapan nelayan meningkat berkali lipat. Dulu, Syafei menggambarkan air yang menggenang itu sebagai berkah.

Musim panen terus berlanjut sampai genangan air perlahan mulai surut. Banyak ikan merah, lambak, jale, beterung terjebak dalam danau dan lopak. Jika sore tiba, waktunya para nelayan berburu ikan Botia (Chromobotia macracanthus), ikan hias endemik Sumatra yang memiliki nilai ekspor. 

Tetapi sekarang tidak ada lagi musim panen setelah ekosistem di Rukam berubah. “Pokoknya jenis ikan yang mahal itu hilang semua. Sekarang tinggal gabus, betok, sapil, sepat siam. Botia sudah dak ado lagi,” kata Syafei.
Ikan botia dapat ditemukan di perairan Sungai Batanghari dan Sungai Barito. Ikan bercorak dominan hitam dan orange ini selain diperdagangkan di Indonesia juga diekspor ke Tiongkok, Singapura, Malaysia bahkan sampai Norwegia.

Tedjo Sukmono, seorang peneliti biologi dari Universitas Jambi mengatakan bahwa aktivitas antropogenik seperti alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan kerusakan lingkungan menjadi salah satu penyebab populasi ikan air tawar di Jambi terancam.

Katanya, lopak di sepanjang Sungai Batanghari memiliki fungsi penting sebagai area penyelamatan ikan saat musim kemarau datang. Ikan jenis grey fish seperti baung dan black fish seperti gabus, toman, sepatung, tembakang, guramai dan sepat, paling terdampak saat terjadi gangguan habitat air. 

 “Kalau diganggu lingkungannya dan oksigennya menjadi kurang, ditambah  ruang hidupnya menyempit, maka mereka tidak bisa bersarang,” jelasnya.

Selama ini setiap kali penyusunan dokumen AMDAL untuk pembukaan lahan, ikan kurang dilihat bahkan cenderung diabaikan. Menurut Tedjo ada dua faktor penyebabnya, pertama tim teknis penyusun amdal tidak paham seluk beluk ikan, kedua ikan dianggap tidak punya dampak besar. 

Akibat perubahan habitat, 12 spesies ikan air tawar di Jambi dalam kondisi menghawatirkan. Tiga spesies di antaranya masuk ke dalam status terancam punah (endangered), yakni arwana silver, putak, dan belida. Tiga ikan lainnya masuk ke dalam status hampir terancam (near threatened), yakni parang bengkok, lais kacadan, dan sepat mutiara. Sementara, kerapu rawa, tilan, flying fox, botia dalam risiko rendah (least concern). Terakhir, radiangus dan gurami coklat sudah sulit ditemukan, sehingga masuk ke dalam status belum dievaluasi (not evaluate).

Tedjo menyarakan agar database ikan di areal yang akan dialih fungsikan bisa diperkuat, tidak hanya soal pemanfaatkan ikan tetapi juga aspek ekomorfologi serta ekobiologinya.

“Misalnya di wilayah yang mau dibuka itu ditemukan ridiagus, statusnya kan dilindungi, atau ikan langka seperti belida, semestinya areal itu tidak diganggu atau harus dijadikan areal konservasi, karena kita menemukan hal yang penting. Jadi harus ada pertimbangan khusus.”
 

Derita masyarakat Rukam akibat gambut rusak

Pada tahun 2013, setelah lebih dari sepuluh tahun menguasai lahan Desa Rukam, PT. EWF membangun tanggul setinggi 8 meter dengan panjang 11 km untuk menghalau banjir yang datang setiap tahun.

Pihak perusahaan juga membangun 7 titik pompa air untuk membuang luapan banjir yang masuk ke dalam perkebunan kelapa sawit. Dua di antaranya dibangun mengapit Desa Rukam. Satu titik dengan 12 pompa dibangun 2 km dari Desa Rukam,dan 8 pompa dibangun sekitar 1 km dari desa.

Sejak itu, banjir yang menggenangi Rukam setiap tahunnya semakin tinggi. Bukan hanya rumah yang terendam tetapi juga ladang warga. Bakri mengaku bolak-balik gagal panen cabai gara-gara terendam banjir pada musim hujan. Waktu tanam semakin singkat, karena banjir kerap datang tiba-tiba.

Sementara di musim kemarau, warga mengalami kekeringan. Kanal perusahaan yang dibangun sedalam 8 meter diduga menjadi penyebabnya.

Sebagai kompensasinya pihak perusahaan membangun dua sumur bor untuk kebutuhan air warga. PT. EWF juga menjanjikan untuk membangun cetak sawah, namun hingga kini belum terealisasi.

Selain menimbulkan bencana ekologis, hilangnya hutan rawa gambut membuat para nelayan kehilangan penghasilan dan memaksa mereka menjadi buruh lepas perusahaan untuk bertahan hidup. Bahkan, ada yang pindah ke desa lain karena ekonomi mereka berantakan.

Sudah tiga bulan Bakri meninggalkan Rukam dan pindah ke Desa Ramin, yang letaknya sekitar 4 jam dari Rukam untuk mencari penghidupan baru. Katanya, hidup di Rukam sudah tidak layak.

“Dulu hidup kito makmur walau di kampung, sekarang sejak masuk perusahaan konflik terus, capek nggak sudah-sudah, jadi mending pindah,” katanya.

Sejak 2015, Walhi Jambi telah terlibat untuk advokasi warga Rukam. Dwi Nanto, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi Walhi Jambi mengatakan konflik dengan perusahaan sulit dihindari saat wilayah desa dikonversi menjadi izin konsesi.

Alih fungsi lahan membuat warga Rukam harus beradaptasi kembali untuk bisa bertahan hidup. Namun kerusakan lingkungan membuat  tantangan mereka lebih berat. Kata Dwi, hilangnya rawa gambut berdampak besarbagi warga Rukam yang mayoritas pencari ikan.

“Sekarang mereka banyak yang jadi buruh perusahaan, ekonomi juga sulit, makanya banyak warga yang memilih pindah. Lama-lama Rukam itu kosong ditinggal warganya.”

Pantau gambut juga menghubungi PT EWF guna mendapatkan tanggapan. Namun pesan permintaan untuk wawancara sampai tulisan ini diterbitkan belum ditanggapi.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.