Menagih Komitmen Penegakkan Hukum Karhutla di Kalimantan Selatan
Oleh Donny MuslimTak pelak Pilkada 2020 yang akan berlangsung pada 23 September 2020 di Kalsel (Kalimantan Selatan) membuat suhu politik demam. Di tujuh kabupaten, kota, dan provinsi yang akan menggelar Pilkada, peta politik berlangsung sangat dinamis. Sosok-sosok yang akan bertarung memperebutkan kursi kepala daerah silih berganti datang dan pergi. Acapkali nama-nama tertentu muncul bersama partai-partai politik yang diklaim telah memberikan dukungan, lalu perlahan tapi pasti menghilang.
Cairnya peta politik ini lebih banyak disebabkan masih belum mengkristalnya koalisi besar partai-partai di level tertinggi pertarungan Pilkada. Biasanya, koalisi besar di tingkat Provinsi akan tergambar dan diikuti di kabupaten dan kota. Namun, hingga kini hal itu masih belum terjadi. Hal ini berdampak pada sosok-sosok yang akan maju melalui jalur perseorangan atau independen.
Di salah satu kabupaten di Kalsel misalnya, baru kali ini sosok yang maju melalui jalur independen jumlahnya berlimpah. Umumnya tiga hingga lima calon. Uniknya publik, juga partai politik, lebih sering sibuk dengan konstalasi, kalkulasi politik masing-masing, dan strategi untuk memenangkan Pilkada. Hampir seluruh energi terkuras untuk itu dan bukan pada produksi isu dan perhatian khusus kepada berbagai hal yang bisa menjadi bahan jualan politik.
Dari sisi isu politik yang menjadi bahan jualan berbagai sosok di Pilkada Kalsel 2020 sesungguhnya tak banyak yang berubah, untuk tak menyebut tak ada hal baru. Isu masih bersifat umum dan berkelindan di sekitar soal infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan isu lingkungan baik umum atau yang spesifik masih belum jadi perhatian atau titik berat isu yang dijual ke konstituen. Bisa jadi isu lingkungan menjadi ‘anak tiri’ dalam setiap perhelatan politik karena dianggap tidak seksi, tidak menarik perhatian, tak menjual, dan tak akan mampu meningkatkan perolehan suara para kandidat.
Padahal, ketika melihat data tentang kondisi lingkungan di Kalsel, harusnya isu itu menjadi bahan jualan utama setiap kandidat yang berlaga di Pilkada. Apalagi ketika Pilkada yang digelar berada di kabupaten atau kota yang mengalami kondisi darurat lingkungan. Misalnya menjadi daerah dengan luasan kawasan ekosistem rawa gambut yang luas yang terbakar kala musim kemarau tiba seperti pada tahun 2015 dan 2019. Atau kabupaten/kota yang di wilayahnya berlimpah izin pertambangan batubara dan perkebunan sawit. Tapi yang terjadi justru di wilayah semacam itu, isu lingkungan, apalagi tentang ekosistem rawa gambut, tak pernah terdengar.
Padahal Dinas Lingkungan Hidup Kalsel mencatat sedikitnya 58.342 hektare atau 60 persen dari 106.000 hektare luas lahan gambut di Kalsel mengalami kerusakan. Luasan lahan gambut yang dianggap rusak berdasarkan prioritas restorasi, baik kerusakan pada kubah gambut berkanal maupun bekas kebakaran di Kalsel pada 2015 masing-masing seluas 45.567 ha dan 11.775,8 ha.
Data BRG menunjukkan di Indonesia sekitar 2,5 juta hektar areal lahan gambut mengalami kerusakan terutama akibat kebakaran hutan dan lahan. Kawasan lahan gambut yang rusak tersebut tersebar di 1.205 desa pada tujuh provinsi yang sebagian besar merupakan desa berstatus desa tertinggal dan desa sangat tertinggal.
Data yang dilansir Badan Restorasi Gambut (BRG) misalnya menyebutkan, restorasi gambut di Kalsel pada tahun lalu dilaksanakan pada sebaran lahan gambut rusak seluas 105.023 hektare yang tersebar di empat kesatuan hidrologis gambut (KHG). Kawasannya meliputi KHG Sungai Barito-Sungai Alalak seluas 47.935 hektare dengan luas lahan gambut 20.301 hektare. Sebaran lain ialah KHG Sungai Utar-Sungai Serapat seluas 107.737 hektare dengan luas lahan gambut 27.176 hektare. Restorasi juga dilakukan pada KHG Sungai Balangan-Sungai Batangalai seluas 30.859 hektare dengan luas lahan gambut 11.008 hektare dan KHG Sungai Barito-Sungai Tapin seluas 112.227 hektare dengan luas lahan gambut 45.998 hektare.
Keempat KHG ini berada di delapan kabupaten, Balangan, Banjar, Barito Kuala, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Tabalong, dan Tapin. Berdasarkan Peta Indikatif Restorasi Gambut BRG 2016, Peta Kesatuan Hidrologis Gambut dan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional KLHK 2017, area prioritas restorasi di Kalsel meliputi lahan gambut terdampak kebakaran hutan, lahan dan perkebunan pada 2015 seluas 12.798 hektare, kawasan budi daya meliputi kawasan hak guna usaha perkebunan seluas 1.586 hektare, kawasan hutan tidak berizin seluas 6.728 hektare, dan kawasan area peruntukkan lain selain hak guna usaha seluas 4.484 hektare.
Restorasi pada kubah gambut atau gambut dalam yang sudah telanjur diperuntukkan sebagai kawasan budi daya mencapai 45.836 hektare. Terdiri dari kawasan hak guna usaha seluas 26.022 hektare, kawasan hutan tak berizin seluas 1.579 hektare, dan kawasan APL seluas 18.235 hektare.
Perlindungan kawasan gambut yang belum dibuka dan masih utuh mencapai luasan 33.398 hektare. Terdiri dari kawasan budi daya meliputi kawasan HGU seluas 1.485 hektare, kawasan APL selain HGU seluas 10.468 hektare, dan kawasan hutan tak berizin seluas 21.445 hektare.
Restorasi juga harus melakukan perbaikan tata kelola air dan peningkatan infrastruktur pengendalian seluas 12.444 hektare, yang merupakan kawasan budi daya. Terdiri dari kawasan HGU seluas 1.084 hektare, kawasan hutan tak berizin seluas 5.414 hektare, dan kawasan APL selain HGU seluas 7.135 hektare. Dalam skala nasional, BRG mengemban tugas untuk merestorasi gambut seluas 2 juta hektare di tujuh provinsi hingga 2020. Provinsi Kalsel merupakan salah satu provinsi target restorasi kawasan lahan gambut di empat kabupaten seluas 35.000 hektare.
Hingga kini, hampir tak ada calon yang akan berlaga di Pilkada Kalsel 2020 yang mmencantumkan dalam visi misi mereka tentang lingkungan dan ekosistem rawa gambut yang menjadi prioritas jika mereka terpilih. Menilik kondisi yang sama pada tahun 2018 ketika Pilkada digelar, isu lingkungan dan ekosistem rawa gambut juga tak pernah muncul ke permukaan di Kalsel.
Padahal ketika itu, berdasarkan data sensor MODIS NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) untuk periode Februari hingga pertengahan Mei 2018, yang bertepatan dengan periode kampanye Pilkada, terdapat ratusan titik panas berpotensi kebakaran di lokasi-lokasi prioritas restorasi gambut seperti terlihat dalam gambar di bawah. Tapi ketika itu, fakta titik api dan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalsel tak menjadi perhatian para kandidat yang berlaga di Pilkada. Tahun ini, hal itu berulang kembali.
Berdasarkan data dan fakta, bisa jadi publik harus meningkatkan daya kritis sebelum menjatuhkan pilihan kala Pilkada digelar. Satu suara begitu sangat berharga, sehingga harus hanya diberikan kepada sosok yang punya kepedulian dan langkah yang jelas untuk menyelamatkan lingkungan dan ekosistem rawa gambut di Kalsel dan masing-masing kabupaten/kota.