Melihat Lingkaran Konflik Perkebunan Kelapa Sawit di Kalteng
Oleh Dimas N. HartonoKini setiap liburan panjang tahunan terutama lebaran dan tahun baru, jumlah kunjungan wisatawan sangat tinggi. Hal ini tidak pernah dibayangkan oleh pengelola yang juga warga desa. Pada lebaran Idul Fitri 2017 lalu, tingkat pengunjung mencapai 16.600 orang. Jumlah itu adalah kunjungan selama 10 hari liburan. Pada lebaran 2018 tingkat kunjungan berkurang dibandingkan tahun sebelumnya. Namun angkanya masih cukup tinggi yakni mencapai 10 ribu lebih pengunjung.
“Mungkin karena ekonomi (lesu) pengunjung pun awak tengok berkurang. (kini) Perkembangan pariwisata itu sifatnya masih pengen tahu. Ada obyek wisata baru, mereka ramai. Ketika orang sudah banyak tahu, kunjungan selanjutnya semakin sedikit,” ujar Amril awal November 2018.
Saat ini jumlah pengelola mencapai 32 orang. Karena perlu dana operasional yang besar dan pertimbangan jumlah pengunjung, wisata andalan Desa Dosan ini hanya difokuskan pada hari-hari libur besar seperti lebaran dan tahun baru.
“Kalau di hari biasa, sekarang itu danaunya kayak mati. Tapi nanti pas hari libur akan dibersihkan lagi,” lanjut Amril.
Ditanya tentang bagaimana awal cerita pengembangan Danau Naga Sakti ini menjadi obyek wisata, Amril berubah serius. Menurut dia, mengembangkan potensi danau ini adalah bagian dari rencana pembangunan desa secara berkelanjutan. Dengan perlindungan danau dan hutan di sekitarnya, Ia berharap generasi mendatang masih bisa menyaksikan tutupan hutan dengan kayu-kayu alam.
“Salah satu harapan awak (warga), dengan melindungi hutan di danau ini, anak cucu ke depannya (akan masih) mengenali kayu-kayu asli bumi Dosan seperti meranti,” ujar Amril.
Komitmen yang melindungi kawasan seluas lebih kurang 300 hektar itu adalah bagian dari implementasi Peraturan Desa (Perdes) Dosan, Kecamatan Pusako. Perdes yang berisi tentang komitmen warga Desa Dosan untuk tidak memperluas kebun sawit mereka ke kawasan berhutan diterbitkan tahun 2011. Komitmen formal perlindungan hutan yang tersisa itu terus dijaga hingga sekarang.
Dahlan, petani sawit Desa Dosan yang juga salah satu pendorong utama Perdes tersebut mengungkapkan, sejak Perdes diterbitkan 2011, tidak ada lagi kebakaran hutan dan lahan. Padahal kawasan desa mereka banyak yang bertanah gambut. Sebab para petani sawit tidak lagi menebang hutan untuk diubah menjadi kebun-kebun sawit baru.
Dalam peraturan desa itu juga tertulis komitmen petani untuk menjalankan pertanian sawit dengan cara berkelanjutan. Pembangunan sekitar 723 hektar kebun sawit di lahan bergambut oleh Pemerintah Siak tahun 204 disertai pembangunan kanal. Pembangunan kanal bertujuan untuk mengeringkan gambut agar bisa ditanami sawit. Namun dampaknya justru sebaliknya, mudah terbakar.
“Dulu pernah terbakar lantaran kebun sawit kering karena kanal-kanalnya langsung tembus ke sungai. Tapi sekarang sejak komitmen 2011, kanal-kanal sudah kami tutup agar lahan kebun tetap basah dan terhindar dari kebakaran,” ujar Dahlan.
Selain itu, Masyarakat Pemadam Api (MPA) Desa Dosan juga terus-terusan sosialisasi dampak buruk kebakaran lahan kepada petani. Dalam sosialisasi itu, dia dan MPA menjelaskan bahwa kebakaran lahan dan hutan bukan saja merugikan satu orang, namun seluruh warga termasuk anak-anak di Dosan.
“Kita senantiasa memberi kesadaran kepada masyarakat. Bahwa kalau kebakaran itu bukan satu pihak yang mengalami kerugian, tapi seluruh masyarakat. MPA sering memberi sosialisasi,” katanya.
Seperti halnya Dahlan dan Amril, mereka telah menerapkan bagaimana kebijakan lokal tingkat desa bisa mengubah risiko terjadinya bencana kebakaran menjadi berkah. Menjaga hutan di sekitar danau juga akan menjamin perlindungan sumber satu-satunya air bagi desa mereka.
“Ini bukan saja soal bagaimana melindungi desa kami, tapi juga menjamin anak cucu nanti masih melihat kayu-kayu hutan alami di desa mereka. Air di danau yang terjaga akan menyeimbangkan kekeringan di musim kemarau,” tambah Amril.