Oleh Nikodemus Ale
dari Simpul Jaringan Pantau Gambut

Peristiwa banjir di sejumah daerah di Kalimanan Barat menjadi pemberitaan hangat di media massa lokal maupun nasional, akhir-akhir ini. Seorang warga diberitakan meninggal akibat banjir di Kabupaten Melawi. Banjir juga merendam hampir 1.000 rumah di Kabupaten Kapuas Hulu, dan delapan kecamatan di Kabupaten Sintang. Kemudian, 10 desa di Kabupaten Landak, dan lima kecamatan di Kabupaten Mempawah.

Banjir di lima kabupaten tersebut merupakan kejadian kedua dalam dua hingga tiga bulan terakhir. Banjir juga melanda 22 desa di dua kecamatan di Kabupaten Ketapang pada Juni lalu. Banjir terjadi seiring meningkatnya curah hujan di Kalimantan Barat. Sungai meluap sehingga airnya meluber dan mengenangi daratan.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan instensitas dan frekuensi hujan pada tahun ini meningkatkan ketimbang tahun lalu. Peningkatan suhu permukaan laut dan kelembaban udara di atmosfer serta pola angin menyebabkan kondisi curah hujan di atas rata-rata normal. Intensitas dan frekuensi hujan pun diprediksi semakin meningkat pada September.

Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, Melawi, Sintang, dan Kapuas Hulu merupakan daerah langganan banjir. Begitu pula Mempawah, Landak, Ketapang, dan beberapa daerah lain di Kalimantan Barat. Setahun bahkan bisa lebih dari satu kali banjir. Peningkatan curah hujan sesungguhnya hanya pemicu dan bukan menjadi penyebab utama banjir di Kalimantan Barat. Dampak peningkatan intensitas maupun frekuensi hujan masih dapat diatasi atau paling tidak diminimalisasi apabila keseimbangan ekosistem tetap terjaga.

Fakta yang terjadi saat ini ialah wilayah tangkapan maupun resapan air semakin kritis di Kalimantan Barat. Kawasan hutan kian menyusut akibat perambahan dan alih fungsi lahan.

Walhi Kalimantan Barat menginventarisasi ada sekitar 13,31 juta dari 14,86 juta hektare daerah aliran sungai (DAS) di Kalimantan Barat terdegradasi akibat eksploitasi. Perinciannya, sekitar 1,34 juta hektare sangat kritis dan 2,10 juta hektare dalam kondisi kritis. Sementara itu, sekitar 6,14 juta hektare hampir kritis dan 3,73 juta hektare berpotensi kritis.  Jadi, hanya 1,55 juta hektare atau sekitar 10,43% DAS di Kalimantan Barat dalam kondisi baik. Hasil riset pada 2011 tersebut setidaknya dapat menggambarkan salah satu kondisi kerusakan ekosistem di Kalimantan Barat.

Konversi hutan menjadi lahan perkebunan dan aktivitas pertambangan emas liar merupakan penyebab utama kerusakan DAS di Kalimantan Barat. Kedua aktivitas ini mengakibatkan pendangkalan dan erosi sehingga alur sungai menyempit dan tidak mampu menampung luapan air hujan.

Sebagian besar DAS tersebut merupakan hamparan gambut sehingga juga mengakibatkan bencana kekeringan dan rentan terbakar sewaktu kemarau. Fakta tersebut juga memiliki relevansi dengan hasil pemantauan kami sebelumnya. Walhi Kalimantan Barat memperkirakan setidaknya ada 20% izin perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah ini menempati areal gambut. Alih fungsi tersebut bisa mencapai ratusan hektare di satu lokasi.

 

Fungsi ekologis gambut

Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan hamparan gambut terluas ke empat di Indonesia, yakni sekitar 1,72 juta hektare. Hamparan tersebut setara 11,8% dari 14,68 juta hektare luas wilayah Kalimantan Barat. Hamparan gambut tersebar di sepanjang pantai hingga kawasan perhuluan pada DAS utama di Kalimantan Barat. DAS tersebut ialah DAS Kapuas, DAS Mempawah, DAS Sambas, dan DAS Pawan. Ketebalan gambutnya rata-rata sekitar 4 meter.

 

Gambut memiliki kemampuan dalam menyimpan cadangan air sehingga dapat mencegah banjir pada saat musim penghujan dan kekeringan sewaktu kemarau. Peranan gambut tersebut tidak ubahnya spon atau tandon air. Fungsi hidrologis gambut dapat terganggu bahkan macet total akibat perubahan vegetasi alami, pembuatan drainase, dan pembakaran lahan. Pembuatan drainase membuat lapisan gambut menjadi cepat mengering sehingga kemampuan dalam menyerap air berkurang drastis.

 

Penurunan fungsi gambut akibat perubahan lansekap dan pembangunan drainase tidak saja berdampak pada lokasi setempat, tetapi juga berskala luas. Akibat berkurangnya volume gambut, peluang terjadi banjir semakin meningkat. Begitu pula peluang kekeringan sehingga lahan rawan terbakar pada saat kemarau. Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare di Kalimantan Tengah sebagai contoh konkret kesalahan fatal dalam pengelolaan ekosistem gambut. Pembuatan drainase berlebihan membuat eks lokasi proyek gagal tersebut menjadi sumber banjir sekaligus penghasil kabut asap. Kekeringan pada musim kemarau juga semakin memperparah penyusutan permukaan air di sejumlah sungai di Kalimantan Tengah.

 

Perubahan iklim 

Ketebalan gambut di Indonesia berkisar 0,5 hingga lebih dari 10 meter. Setiap meter ketebalan gambut menyimpan 400-700 ton karbon per hektare sehingga Indonesia diperkirakan memiliki 300 hingga lebih dari 6.000 ton cadangan karbon dari setiap hektare lahan gambut.

Jika merujuk pada peta sebaran gambut, diperkirakan Indonesia memiliki cadangan 27 Gigaton karbon dari lahan gambut. Itu dengan asumsi bahwa sekitar 14,9 juta hektare gambut tersebut berkedalaman rata-rata 3 meter.  Namun, laju pelepasan karbondioksida dari lahan gambut ke atmosfer semakin meningkat akibat konversi, pembuatan drainase atau kanal, serta kebakaran hutan dan lahan. Karbon terlarut juga banyak hanyut bersama aliran air pada kanal gambut. Gambut yang seharusnya menyerap justru menjadi pengumbar emisi karbondioksida.

Karbondioksida merupakan penyumbang terbesar gas rumah kaca di dunia. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut karbondioksida menyumbang lebih dari 60% penyebab pemanasan global, yang berdampak terhadap perubahan iklim

Program Pembangunan PBB (UNDP) melaporkan badai El Nino maupun La Nina, penyebab cuaca ekstrem semakin sering terjadi di Indonesia. Kemunculan El Nino akibat meningkatnya suhu laut di Samudera Pasifik sehingga terjadi kemarau panjang. Sebaliknya, La Nina terjadi akibat penurunan suhu air laut sehingga curah hujan meningkat dan rawan banjir. Pergerakan siklon tropis dilaporkan juga semakin sering terjadi sehingga angin kencang, dan hujan deras dapat berlangsung hingga berhari-hari di Indonesia. 

Peningkatan frekuensi dan intensitas hujan seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini di Kalimantan Barat diperburuk dengan semakin berkurangnya kawasan resapan air, termasuk areal gambut.  Selain dikonversi, banyak lahan gambut dalam kondisi kritis akibat pembakaran hutan dan lahan.

Kebakaran lahan menurunkan dengan cepat fungsi ekologis gambut karena tidak hanya menghanguskan vegetasi dan lapisan gambut, tetapi juga mengganggu keseluruhan ekosistem. Berdasarkan sejumlah kajian ilmiah, kebakaran hutan dan lahan merusak serta memusnahkan biji-biji tumbuhan yang berada di permukaan maupun terkubur di tanah. Peluang tumbuh dan regenerasi jenis vegetasi asli setempat pun menjadi sangat kecil.

Karena itu, tanpa mengurangi simpati mendalam terhadap korban terdampak banjir, bencana kali ini dapat menjadi momentum untuk merefleksikan diri dan melakukan perubahan. Kita harus berupaya menjaga dan mengembalikan fungsi gambut seperti sedia kala. Kita berharap para pengambilan kebijakan juga konsisten dalam menerapkan, mengawasi, dan menegakan aturan agar banjir kali ini menjadi bencana ekologis terakhir di Kalimantan Barat. (*)

 

*Penulis ialah Direktur Eksekutif Walhi Kalbar dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalbar.

**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI KOLOM OPINI PONTIANAK POST PADA TANGGAL 28 SEPTEMBER 2020 DAN KOLOM OPINI MEDIA CETAK PONTIANAK POST HALAMAN 2 PADA TANGGAL 29 SEPTEMBER 2020 **  

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.