Integrasi aspek ekologi dan sosial dalam pemanfaatan lahan gambut
Oleh PantauGambutTertarik menelusuri seluk beluk Undang-Undang Simbur Cahaya? Maka perlu mengenal lebih dekat sosok penggagas sekaligus penulisnya. Sosok itu adalah Ratu Sinuhun, istri dari Pangeran Sido Ing Kenayan, yang berkuasa selama enam tahun dari tahun 1636 – 1642 M. Ratu Sinuhun dikenal sebagai sosok panutan karena Undang-Undang yang dibuatnya berisi kearifan lokal dalam hal hubungan sosial kesetaraan gender.
Kemas Ari Panji, Akademisi dan Sejarawan dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang menuturkan Ratu Sinuhun merupakan sosok panutan dalam berbagai hal. Sang ratu tidak hanya dikenal karena kepeduliannya dalam menata dusun dan lingkungan tetapi juga dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan. Pada masanya di tahun 1630-an, Ratu Sinuhun menunjukkan bahwa perempuan memiliki tingkat intelektual tinggi dan berdiri setara dengan laki-laki. “Ratu Sinuhun telah menunjukkan kesetaraan gender bahkah popularitasnya melebihi suaminya,” kata Ari Panji.
Karena tokoh dan sejarah menarik tersebut, saya datang untuk berziarah ke komplek pemakaman Sabok Kingking di Sei Buah, Ilir Timur II, kota Palembang. Makam Sabok Kingking dikenal sebagai pemakaman para raja awal kerajaan Islam Palembang yang telah berusia sekitar 500 tahun. Terdapat 41 makam di dalam areal seluas 100x100 meter itu. Di pemakaman yang sama juga terdapat makam Panglima Kiai Kibagus Abdurrachman dan juga Al Habib Al Arif Billah Umar bin Muhammad Al Idrus bin Sahab yang dikenal sebagai imam kubur Pangeran Sido Ing Kenayan dan Ratu Sinuhun.
Di sana saya bertemu dengan penjaga makam bernama Husni yang banyak bercerita mengenai sejarah berdirinya pemakaman. Pada awal ditemukan, komplek pemakaman ini masih berupa kuburan biasa tanpa ada bangunan yang menutupinya. Bahkan, ketika itu pemukiman penduduk masih sangat jarang, yang ada hanyalah hutan belantara dan rawa-rawa. “Ketika awal ditemukannya dulu, pemakaman ini ada ditengah hutan dan PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (Pusri) belum berdiri,” katanya.
Kitab Simbur Cahaya merupakan perpaduan antara hukum adat dan ajaran Islam. Kitab ini diyakini sebagai bentuk Undang-Undang tertulis berlandaskan syariat Islam, yang pertama kali diterapkan bagi masyarakat Nusantara khususnya di Sumatra Selatan.
Bahkan, menurut Saudi Berlian, Dosen Ilmu Budaya Dasar (IBD) di Universitas Sumatra Selatan, UU Simbur Cahaya juga mengajarkan tentang harmoni terhadap lingkungan alam, lingkungan sosio-kultur dan religi. Sementara secara tekstual buku Oendang-Oendang Simboer Tjahaja, penerbit “Typ. Industreele Mlj. Palembang, 1922” terdiri dari 5 bagian, yaitu:
Bab I : Adat Bujang Gadis dan Kawin (32 pasal)
Bab II : Aturan Marga (29 pasal)
Bab III : Aturan Dusun dan Berladang (32 pasal)
Bab IV : Aturan Kaum (19 pasal)
Bab V : Adat Perhukuman dengan (58 pasal)
Taufik Wijaya, pegiat lingkungan hidup di Palembang mengatakan Undang-Undang Simbur Cahaya khususnya pada Bab III banyak menjelaskan mengenai hubungan lingkungan dan manusia. Didalamnya terdapat berbagai aturan mengenai cara membakar lahan agar tidak merugikan orang lain, ketentuan memelihara binatang ternak, larangan membunuh ikan dengan racun dan lainnya. Peraturan-peraturan tersebut masih sangat relevan bila diterapkan pada masa sekarang ini, karena dalam Undang-Undang yang berusia ratusan tahun ini terdapat norma, aturan dan sanksi yang jelas dan tegas setiap pelanggaran.
Dari banyaknya kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat ini, sebenarnya di Undang-Undang Simbur Cahaya sudah mengatur tata cara, sanksi dan perilaku pembukaan hutan yang harus sangat berhati-hati sehingga tidak menyebabkan kebakaran di tempat lainnya. Contohnya dalam Bab III pasal 20 disebutkan:
“Djika orang membakar ladang lantas orang lain poenja tandoeran seperti doerian kelapa soeroe atau lain-lain moetoeng (terbakar) sebab orang jang bakar ladang koerang djaga maka itoe orang kena denda dari anem ringgit sampai doea belas ringgit dan kena ganti tandoeran yang meotoeng dengan harga jang patoet. Dan denda dibahagi doea sebahagi poelang pada jang poenja tandoeran dan sebahagi pada proatin-proatin”
Pasal tersebut menjelaskan mengenai sanksi apabila ada orang yang membuka lahan dengan cara membakar tetapi tidak menjaganya, sehingga kebakaran meluas hingga mengenai ladang orang maka akan dikenakan denda 6-12 ringgit.
Selain memuat mata pasal berupa tuntunan, aturan dan larangan, UU Simbur Cahaya juga memuat sanksi. Khusus yang berkaitan dengan persoalan kebakaran hutan, lahan, ladang dan kebun, contohnya ada dalam pasal 55 yang berbunyi: “Jika membakar ladang lantas api melompat ke hutan lantaran kurang jaga, maka yang salah di denda sampai 12 ringgit”.
Kemudian soal aturan membuka kebun, tertuang dalam pasal 53: “Jika orang membuka ladang atau kebun hendaklah sekurang-kurangnya 7 depa dari jalan besar, siapa saja melanggar dihukum dengan denda sampai 6 ringgit secara bagian dari ladang atau kebunnya yang sudah masuk ukuran depa tidak boleh 2 jukan”.
Menelisik isi Undang-Undang Simbur Cahaya, tentunya membuat kita sadar bahwa orang-orang zaman dahulu sudah sangat memperhitungkan dengan hati-hati kegiatan pembukaan ladang dengan cara membakar agar tidak menyebabkan kerugian maupun bencana alam. Cara, aturan dan sanksi sudah tercantum dalam UU Simbur Cahaya tersebut.
Taufik menuturkan kearifan yang diwariskan oleh leluhur ratusan tahun silam itu menuntun manusia dan alam sekitarnya untuk senantiasa berjalan seiringan. Hubungan yang dia sebut sebagai paradigma ekosentris itu menunjukkan tidak ada perbedaan antara manusia, hewan, tumbuhan, dan semua makhluk hidup lainnya. Semua perilaku manusia harus selaras dengan alam. Semua harus saling menjaga bukan saling menghabisi. Bukti yang menunjukkan paradigma ekosentris tersebut juga terdapat di Kitab Simbur Cahaya yang berlaku di Sumatra Selatan pada masa Kerajaan Palembang. Kitab yang diyakini memadukan ajaran Islam dengan hukum adat, yang sangat peduli dengan alam.