Oleh Budi Kurniawan
dari Pantau Gambut

Kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan dan pemulihan lahan rawa dan gambut seringkali tak seindah kenyataan di lapangan. Kegiatan kadang lebih berorientasi pada program dan proyek semata.

Usianya yang tak muda lagi, 62 tahun, tak membuat Mistani atau biasa disapa Pak Imis, gagap mengikuti berbagai acara. Ia selalu tekun, termasuk ketika acara diisi oleh hal-hal serius, penuh teori, dan ilmiah. Ketika ikut berkunjung ke Desa Danda Jaya, Kecamatan Rantau Badauh, Kabupaten Batola, bersama puluhan peserta sekolah lapang yang digagas Badan Restorasi Gambut dan Tim Restorasi Gambut Daerah Kal-Sel, bulan lalu, Pak Imis tekun mendengarkan kiat membuat pupuk organik dan cara beternak burung puyuh.

Sesekali ia terdiam dan mengernyitkan kening mendengarkan uraian para pembicara. Sesekali ia berbisik dengan rekan sekampungnya dari Desa Hapalah, Kecamatan Banua Lawas, Tabalong, yang ikut serta dalam acara yang sama itu.

Ketika Jambore Masyarakat Gambut digelar di Desa Kiram, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar digelar pada akhir April silam, Pak Imis juga tekun mengikuti berbagai acara. Kadang ia tak bisa menyembunyikan lelahnya. Maklum saja, selain acara berlangsung cukup padat, lokasi kegiatan dan tempat menginapnya di Banjarbaru, cukup jauh. “Tapi, namanya untuk menambah pengetahuan, ya ikuti saja semua acaranya,” ujar Pak Imis, ayah tujuh anak dan kakek dari 12 cucu ini.

Sebenarnya jauh di dalam hati, Pak Imis kadang bingung juga dengan berbagai pengetahuan yang didapatnya dari berbagai acara itu. Betapa tidak, kenyataan yang ia hadapi bersama warga desanya, sungguh jauh berbeda dari teori-teori yang diterima di berbagai acara itu. Kampung Pak Imis, Desa Hapalah kini kondisinya merana.

Di desa yang luasnya 32.000 meter persegi itu sebagian besar lahannya merupakan rawa dan gambut, sudah lebih dari delapan tahun ini warganya tak bisa lagi bertani. 

Desa yang dihuni 287 kepala keluarga itu senyap. Karena tak banyak lagi sumber mata pencaharian yang tersisa, sebagian besar warganya –terutama yang berusia muda—memilih meninggalkan desa mencari peruntungan ke tempat lain untuk mencari mata pencaharian baru di luar provinsi.  Misalnya, ke berbagai kabupaten di Kal-Teng, anak-anak muda itu menjadi tukang jahit. Mereka baru pulang ke Desa Hapalah kala Idul Fitri tiba atau ketika perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW berlangsung. “Saat itulah kami berkumpul. Anak-anak pulang ke kampung,” ujar Pak Imis.

Kondisi kampung yang sepi dan ditinggalkan warganya itu terjadi ketika sebuah perusahaan perkebunan sawit berskala besar (PT Cakung Permata Nusa) mulai merangsek masuk pada tahun 2008. Perusahaan ini mendapatkan konsesi lahan cukup besar, termasuk mengambil lahan pertanian milik Pak Imis dan warga desa lainnya.

Pak Imis bersama warga, tak menerima begitu saja masuknya perusahaan ini. Selain akan menghilangkan lahan pertanian, sumber penghidupan lainnya juga dipastikan hilang. Padahal sejak dulu kala, Pak Imis dan warga telah memanfaatkan lahan rawa dan gambut di desa mereka. Selain sebagai lahan pertanian, kawasan gambut itu juga menjadi tempat ternak bebek warga digembalakan. Di lahan itu juga perikanan yang menjadi sumber mata pencaharian lain berada.

Karena itulah, Pak Imis memimpin gerakan perlawanan terhadap masuknya perusahaan perkebunan sawit berskala besar itu. Perlawanan yang berlangsung bergelombang dan berkali-kali, dibantu para aktivis lingkungan di Kal-Sel itu akhirnya membuahkan hasil. Perusahaan akhirnya tak berani beroperasi. Karena saban kali perusahaan melakukan aktivitas, bahu-membahu warga menolak dan mengusir mereka.

Namun, persoalan tak berhenti sampai di situ. Walau tak lagi beroperasi, hingga kini PT. Cakung Permata Nusa masih mengantongi izin Hak Guna Usaha yang bisa digunakan kapan saja. Untungnya, Desa Hapalah kini masuk dalam program cetak sawah yang digagas pemerintah.

Tapi, ujar Pak Imis, program cetak sawah ini masih jauh dari harapan. Karena pembangunannya lebih banyak tak mendengar aspirasi warga. Misalnya dalam hal pembuatan sekat kanal, pendapat warga tak banyak didengarkan. “Padahal yang mengetahui persis kondisi di lapangan adalah warga. Mereka telah berhuma puluhan tahun. Bahkan mereka berhuma sejak nenek moyang mereka berada di desa ini,” ujar Pak Imis.

Padahal Pak Imis dan warga desa sungguh sangat berharap dengan program cetak sawah itu. Karena sejak ekosistem di sekitar kampung tempatnya bertani rusak akibat air bah –air terlampau berlimpah dan tidak bisa lagi keluar masuk karena pintu masuk air buntu—membuat kegiatan pertanian terhenti. Karena itulah Pak Imis dan warga tak lagi bisa bertani. Kini, sebagian warga menggantungkan hidup dengan menganyam purun menjadi tikar, beternak, dan menangkap ikan di sungai yang airnya kini berwarna coklat.

Penulis adalah jurnalis - kontributor Pantau Gambut Kalimantan Selatan.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.