Kenapa karhutla berulang di lokasi restorasi gambut di Pulau Tebing Tinggi, Riau?
Oleh ZamzamiPERPANJANGAN usia BRGM tentu tampak berdampak positif. Apalagi jika dilihat dari tugas utamanya; yakni memulihkan fungsi ekosistem gambut, paska kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015 silam.
Hanya saja, para pemangku kebijakan dalam lembaga nonstruktural ini patut mengevaluasi setiap kerja-kerja yang sudah pernah dilakukan di daerah. Evaluasi juga mesti dilakukan pada instansi yang melakukan tugas pembantuan (TP) di wilayah yang sudah dipetakan, khususnya Kalimantan Selatan.
Satu dari sekian cara untuk mengevaluasi kerja kelembagaan adalah dengan melempar laporannya lewat ekspose atau penyampaian hasil kinerja restorasi kepada publik. Terlebih, pemaparan akan lebih tepat jika disampaikan kepada masyarakat sekitar gambut yang merasakan langsung manfaat dari program.
Dengan ekspose kinerja, lembaga akan lebih mudah mencocokan kinerja mereka dengan hasil yang diperoleh dari masyarakat. Lewat agenda-agenda seperti ini pula, lembaga menjadi lebih terbuka karena berani menyampaikan pertanggungjawabannya ke publik.
Selain ekspose kinerja terdahulu, sudah sepatutnya pula BRGM lewat tugas pembantuan di Kalsel memaparkan rencana mereka terhadap apa yang ingin dilakukan ke depan kepada publik secara masif. Bisa dimulai sari tugas utama, program kerja, hingga anggaran yang digelontorkan pada tahun ini.
Persoalannya, di Kalsel, jarang terdengar paparan hasil kinerja restorasi gambut dari tahun ke tahun di masyarakat. Begitu pun di media massa. Narasi-narasi mengenai restorasi gambut di Kalsel diwartakan tidak utuh dan akhirnya problem kurang dapat begitu dipahami. Artinya, ada persoalan komunikasi antarlembaga yang harus dibereskan segera.
Yang terjadi justru penambahan wewenang baru berupa mangrove. Dengan bertambahnya mangrove sebagai sasaran kerja, bukan hanya pekerjaan BRGM makin berat. Tapi tanggungjawabnya pun kian luas. Apalagi persoalan yang meliputi ekosistem rawa gambut hingga kini masih terus berlangsung. Misalnya dari soal land grabbing, persoalan hak asasi manusia, wilayah restorasi yang mungkin bertumpangtindih dengan konsesi, pemetaan sosial dan spasial yang belum komprehensif dan maksimal, hingga kebakaran hutan dan lahan yang bisa terjadi kapan saja dengan eskalasi dan luasan yang mungkin berubah-ubah.
Karena luasnya wewenang dan wilayah yang harus direstorasi (gambut) dan direhabilitasi
(mangrove), ada baiknya BRGM belajar dari pengalaman di masa lalu ketika lembaga ini masih bernama BRG. Karena sesungguhnya, telah banyak “catatan kaki” terhadap jejak langkah dan program BRG yang di kemudian hari mungkin masih juga belum maksimal bermanfaat bagi masyarakat yang hidup dari kebaikan ekosistem tempat mereka tinggal.
BRGM sesungguhnya meninggalkan dan menghadapi persoalan yang sesungguhnya berulang. Sering terjadi, ketika restorasi ditargetkan di wilayah konsesi, persoalan justru lebih ruwet. Jamak diketahui, banyak ekosistem rawa gambut di Kalsel yang sudah berubah menjadi wilayah konsesi perusahaan perkebunan sawit berskala besar.
Perusahaan-perusahaan itu ketika mulai beroperasi mungkin telah mengikuti peraturan perundang-undangan dan beragam kebijakan yang langsung atau tidak berhubungan dengan ekosistem rawa gambut. Namun karena kebijakan berubah –misalnya ada semacam kewajiban merestorasi wilayah yang mereka gunakan dan kuasai—eksistensi mereka kemudian relatif terganggu. Apalagi ketika restorasi misalnya diwajibkan di wilayah konsesi untuk memenuhi program dan target kerja BRGM.
Contoh kasus yang relatif “sederhana” adalah yang terjadi di Desa Hapalah, Banua Lawas, Tabalong. Sebuah perusahaan misalnya sudah “terlanjur” menguasai wilayah konsesi yang luasnya memasuki sebagian wilayah desa. Karena kondisi alam yang tak menguntungkan, kawasan itu tak juga kunjung digarap perusahaan. Atau bisa jadi kasus lainnya yang terjadi di kawasan rawa gambut Nagara, Hulu Sungai Selatan (HSS) yang kini lahannya banyak dibuka oleh perkebunan kelapa sawit.
Kondisi yang seperti itu tentu membuat suasana kebatinan warga desa terganggu. Mereka kemudian mengadu ke berbagai lembaga, termasuk pemerintah lokal dan meminta BRG turun tangan. Namun entah mengapa, hasilnya tak juga membuat warga desa tenteram. Kasus semacam ini tentu bisa terjadi di berbagai wilayah di Kalsel. Apalagi perkebunan kelapa sawit berskala besar hampir ada di seluruh wilayah Kalsel.
Kemungkinan besar kurang tajamnya “taring” BRG dalam menjalankan program restorasi di wilayah konsesi ini terjadi karena masih belum maksimalnya komunikasi dengan perusahaan-perusahaan pemegang konsesi. Atau bisa jadi karena ada semacam ketidakikhlasan perusahaan untuk sama-sama menjalankan restorasi di wilayah konsesi yang mereka kuasai.
Dua hal inilah yang sepertinya harus dimaksimalkan dalam jejak langkah BRGM ke depan.
*Penulis ialah Direktur Eksekutif Walhi Kalsel dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalimantan Selatan
**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN PADA TANGGAL 9 AGUSTUS 2021 DI MEDIA ONLINE jejakrekam.com**