Oleh Nikodemus Ale
dari Simpul Jaringan Pantau Gambut

Pandemi Covid-19 masih menghantui dunia. Entah kapan berakhir. Walaupun pemerintah menggaungkan new normal sebagai bentuk adaptasi baru, itu bukan berarti pandemi telah teratasi.

Pandemi Covid-19 berdampak sangat besar pada hampir setiap sendi kehidupan manusia di muka bumi saat ini. Nyaris tidak ada aktivitas atau sektor kehidupan yang tidak karut-marut atau setidaknya gamang dalam menghadapi situasi serbapelik tersebut. 

Hampir sebagian besar pula sumber daya manusia dan fokus perhatian pemerintah saat ini tertuju kepada penanggulangan dan dampak Covid-19. Dana pembangunan pun dipangkas demi memenuhi memenuhi kebutuhan angggaran penanggulangan pandemi Covid-19, yang totalnya mencapai Rp405 triliun. Kebijakan pemangkasan anggaran tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Terdapat sebanyak Rp95,7 triliun anggaran belanja kementerian dan lembaga direalokasikan untuk penanganan pandemi Covid-19. Pemangkasan dilakukan pada pos belanja barang, perjalanan dinas, dan belanja modal. Seluruh belanja modal bahkan dipangkas lagi sebesar Rp50 triliun.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi salah satu kementerian dan lembaga negara yang mengalami pemangkasan tersebut dengan total sebesar Rp1,5 triliun. Pemangkasan itu termasuk anggaran untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang dipotong sebesar 39% dari perencanaan awal. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai garda terdepan dalam operasi pemadaman karhutla pun saat ini terbelah konsentrasinya. Mereka lebih terfokus pada penanggulangan pandemi Covid-19.

Kami sejauh ini belum mengetahui persis apakah anggaran penanggulangan karhutla pada BNPB juga ikut dipangkas. Namun, berdasarkan informasi yang kami peroleh, anggaran di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Barat yang bersumber dari APBD dipangkas hingga 90%. Anggaran itu juga direalokasikan untuk penanggulangan pandemi Covid-19.

Efektivitas pemadaman

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak kemarau tahun ini berlangsung pada Agustus hingga September. Kondisi kekeringan tersebut hampir dipastikan memicu karhutla, terutama pada lahan gambut. Karhutla gambut tentu tidak hanya terjadi pada puncak kemarau, tetapi juga sebelum dan setelahnya. Berdasarkan pengalaman selama ini, musim kabut asap masih berlanjut hingga Oktober-November.

Pada tahun lalu, Kalimantan Barat berada di posisi ketujuh sebagai provinsi dengan areal karhutla terluas di Indonesia. Ada sekitar 3.300 hektare lahan terbakar dalam rentang Januari-Juli 2019 di Kalimantan Barat. Kejadian seperti itu bisa saja berulang bahkan lebih parah pada tahun ini. Itu jika pemerintah abai dan menganggap karhutla sebagai peristiwa biasa dengan penanganan yang serbabiasa pula.

Operasi pemadaman karhutla menyedot banyak dana bahkan bisa dibilang tidak pernah cukup untuk setiap tahun. Karena itu, pemangkasan anggaran sudah pasti berdampak terhadap penanggulangan karhutla. Pada tahun lalu saja BNPB menghabiskan sebanyak Rp3,4 triliun untuk menanggulangi 747 kasus karhutla di Tanah Air. Alokasi itu kurang lebih separuh dari Rp6,7 triliun dana siap pakai yang digunakan BNPB untuk menangani 3.768 bencana alam selama 2019.

Pada masa pandemi saat ini, pendanaan untuk pemadaman karhutla kemungkinan besar membengkak. Ada kebutuhan tambahan yang harus dipenuhi untuk memastikan pemadamannya mematuhi protokol kesehatan dalam pencegahan penularan virus korona, penyebab Covid-19. Petugas dan para sukarelawan wajib mengenakan alat perlindungan diri (APD) standar. Seluruh peralatan lapangan, termasuk armada pemadam juga harus didisinfeksi saat sebelum maupun setelah digunakan.

Tantangan dalam pemadaman karhutla semakin berat karena petugas, sukarelawan maupun warga harus menjaga jarak fisik. Konsekuensi logisnya, personel yang dikerahkan harus dikurangi untuk menghindari kerumunan, tetapi itu tentu saja berdampak terhadap efektivitas pemadaman karhutla.

Transparansi publik

Pemerintah mengedepankan upaya pencegahan dalam menanggulangi karhutla selama pandemi Covid-19. Itu sebenarnya bukan solusi baru. Program pencegahan selama ini juga patut dipertanyakan efektivitasnya. Kerja-kerja tersebut pun selalu terkendala oleh persoalan klasik, yakni keterbatasan anggaran dan personel, kendala geografis, hingga minimnya daya dukung infrastruktur.

Upaya pencegahan karhutla juga tidak kalah berat selama pandemi Covid-19. Aktivitas sosialiasi tidak bisa lagi leluasa. Begitu pula restorasi gambut, terbatas ruang geraknya. Selain terikat dengan kepatuhan terhadap protokol kesehatan, sejumlah desa berinisiatif memberlakukan karantina wilayah (lockdown). Personel TNI dan Polri yang selama ini dilibatkan dalam pencegahan maupun pemadaman karhutla pun terkonsentrasi pada penanggulangan pandemi Covid-19 beserta dampaknya.

Pandemi Covid-19 dan karhutla sama-sama menjadi ancaman serius bagi warga Kalimantan Barat. Dampaknya kesehatan yang ditimbulkan juga memiliki gejala dan menyerang organ tubuh yang sama. Serangan Covid-19 semakin sulit ditangani jika pasien memiliki riwayat penyakit lain atau penyerta. Begitu pula Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit akibat terpapar asap karhutla.

Beberapa jenis penyakit penyerta pada Covid-19 serupa pada ISPA, seperti asma, bronkitis serta gangguan pernapasan dan paru-paru. Kelompok masyarakat yang rentan terserang kedua penyakit itu juga sama, yakni bayi, balita dan lansia. Tidak kurang dari 6.000 warga dilaporkan menderita ISPA akibat kabut asap pada tahun lalu di Kalimantan Barat. Ini juga merupakan persoalan teramat serius jika terjadi pada masa pandemi Covid-19. Pemerintah harus menjamin akses layanan kesehatan bagi penderita ISPA, terutama mereka yang membutuhkan ventilator dan ruang perawatan khusus.

Aspek pengawasan juga tidak kalah penting. Seruan, imbauan, surat edaran, bahkan aturan hukum sekali pun akan menjadi formalitas belaka apabila tidak disertai pengawasan. Berdasarkan pemantauan kami, pengawasan tersebut selama ini tidak berjalan efektif. Itu dibuktikan dengan masih berulangnya kasus karhutla gambut pada lokasi konsesi perusahaan yang sama. Tindakan pengawasan dan penegakkan hukum malah menyasar kepada para peladang padahal aktivitas mereka itu bagian dari kearifan lokal dan dilindungi undang-undang.

Keterbatasan dana dan personel, serta faktor geografis juga masih menjadi hambatan klasik dalam pengawasan terhadap pemegang izin konsesi lahan. Kondisi tersebut semakin jelas menggambarkan bagaimana nasib penanganan karhutla pada masa pandemi. Sejauh ini, kami belum mendengar rencana strategis dan taktis penanggulangan karhutla beserta dampaknya saat pandemi di Kalimantan Barat. Informasi tersebut setidaknya belum pernah disampaikan secara terbuka di media massa.

Rencana tersebut penting diketahui khalayak untuk meningkatkan partisipasi dan pengawasan publik. Jangan pernah berharap banyak terhadap kepedulian warga jika informasi sepenting itu pun sulit diakses. Jaminan bahwa setiap warga negara berhak memeroleh informasi merupakan amanat konstitusi. Begitu pula layanan kesehatan dan hak atas lingkungan hidup, sudah menjadi kewajiban negara yang diamanahkan kepada pemerintah.

Permasalahan kesehatan tidak semata mengenai pengobatan dan tindakan medis. Lingkungan hidup yang baik dan sehat juga tidak kalah pentingnya. ISPA dan Covid-19 sesungguhnya menjadi sinyal merah bahwa kerusakan lingkungan sudah tidak bisa lagi ditoleransi.

*Penulis ialah Direktur Eksekutif Walhi Kalbar dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalbar

**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI MEDIA ONLINE PONTIANAKPOST.CO.ID PADA TANGGAL 15 JULI 2020**

 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.