Oleh Zamzami
dari Pantau Gambut
Deru gergaji mesin (chainsaw) terdengar nyaring selama perjalanan Pantau Gambut dari Desa Sungai Tohor menuju Desa Lukun, Kepulauan Meranti, Riau, pada pertengahan Oktober 2021. Sepanjang sisi jalan poros -berupa pengerasan tanah dan pasir- terdapat hamparan hutan gambut. Ketika melintasi jalan, tampak para pembalak sedang membabati pohon.

Tumpukan potongan kayu hasil perambahan terlihat di beberapa titik di jalan poros yang menghubungkan tiga desa, yaitu Sungai Tohor, Sungai Tohor Barat, dan Lukun. Lahan gambut yang berada di samping jalan terlihat sudah dipetak-petak.

Dulu hutan gambut itu merupakan area konsesi perusahaan bubur kertas (pulp). Saat masih dikelola perusahaan untuk konsesi, warga Desa Sungai Tohor pernah protes. Mereka protes karena tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi soal izin konsesi tersebut, bahkan hingga saat perusahaan mulai mengelola lahan.

Keberadaan konsesi yang mengancam kelestarian hutan membuat masyarakat setempat terus memperbesar ungkapan protes berkampanye di media sosial. Pada 14 Juni 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencabut Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) perusahaan bubur kertas itu yang luasnya 10.390 hektare. Selanjutnya, masyarakat mengajukan permohonan Hutan Desa kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memilih skema Perhutanan Sosial. Pada 17 Maret 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Hutan Desa.

Ada tujuh desa yang mendapatkan program Perhutanan Sosial. Semua desa itu berada di sekitar konsesi. Bagian hutan untuk Desa Lukun adalah yang paling luas, yakni 2.400 hektare berdasarkan Surat Keputusan Perhutanan Sosial.

Pada 10 Februari 2019, terjadi kebakaran di area yang tak jauh dari kawasan Hutan Desa di Lukun. Waktu itu, kebakaran selama hampir dua bulan yang menghanguskan 1.450,73 hektare lahan gambut. Pada waktu bersamaan, di dalam Hutan Desa juga terjadi pembalakan liar. Ada banyak jalan setapak yang digunakan untuk akses masuk dan keluar para pembalak. Pohon yang ditebang jenis kayu keras antara lain kempas, dan meranti.

 Kawasan hutan Desa Lukun yang dirusak oleh pembalak liar pada awal 2019. Dokumentasi: Zamzami
Kawasan hutan Desa Lukun yang dirusak oleh pembalak liar pada awal 2019. Dokumentasi: Zamzami

Pembalakan liar yang masih terus berlangsung juga ancaman kebakaran saat musim kemarau membuat warga khawatir atas keberlangsungan ekosistem Tasik Ulu Mahmud. Kawasan Tasik Ulu Mahmud ini tidak jauh dari area kebakaran yang berdekatan dengan hutan desa Lukun

Tasik dalam bahasa Melayu berarti danau. Saat terjadi kebakaran, dari tasik inilah, helikopter Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengambil air terdekat untuk memadamkan api (water bombing). Tasik Ulu Mahmud berguna penting sebagai sumber air utama saat terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Desa Lukun. Pada musim kemarau, bukan hal mudah mengambil volume air yang banyak untuk memadamkan kebakaran hutan.

“Kalau tidak ada air di tasik (danau), tidak akan selesai itu (kebakaran),” kata Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Lukun, Amran.

Pantau Gambut juga menemukan riwayat area terbakar di kawasan hutan dekat Desa Lukun pada 2014. Pengamatan melalui sensor satelit Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) Burned Area Product University of Maryland, luas area hutan yang terbakar mencapai 3.038,97 hektare. Dari keseluruhan luas area terbakar itu menghanguskan 2926,26 hektare lahan gambut.

 Area terbakar di kawasan hutan Desa Lukun pada 2014. Visualisasi oleh Pantau Gambut (2021)
Area terbakar di kawasan hutan Desa Lukun pada 2014. Visualisasi oleh Pantau Gambut (2021)

Amran bersama anggota LPHD Lukun terus berupaya melindungi hutan desa dari deforestasi dan kebakaran. Upaya tersebut terus diperjuangkan, supaya Tasik Ulu Mahmud tetap lestari. Ia berharap, wilayah hutan di Tasik Ulu Mahmud segera ditetapkan sebagai kawasan lindung. Perlindungan itu harus tertuang dalam regulasi dari pemerintah. “Para datuk kami dahulu sudah melarang untuk menebang (kayu di sekitar Tasik Ulu Mahmud),” kata Amran. Berdasarkan seluruh pedoman tentang larangan dari para tetua itulah menunjukkan betapa penting nilai kearifan lokal untuk menjaga Tasik Ulu Mahmud.

Amran sudah berupaya mencari tahu pelaku yang mengatur aktivitas pembalakan. Sayangnya, sampai sekarang ia pun belum detail mengenali pelakunya. Pembalakan liar itu dilakukan secara terorganisasi. Para pembalak ini lihai saat melakukan aktivitasnya, termasuk memilih waktu untuk membabati pohon. Setiap kali aparat melakukan patroli, tak ada aktivitas pembalakan. Tumpukan kayu juga sudah tak ada di hutan. Kalau pun ada tak diketahui pemiliknya. Amran berharap peran langsung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggerakkan instansi di bawahnya untuk menangani masalah pembalakan liar.

“Supaya (unsur pelaksana) yang di provinsi dan kabupaten bisa serius kalau sudah ada instruksi dari pusat,” ujar Amran

Laporan Badan Restorasi Gambut pada 2017 menjelaskan, bahwa kawasan hutan di Desa Lukun ditumbuhi berbagai jenis flora khas lahan gambut. Dari semua jenis pohon di hutan itu, punak dan kempas tergolong semakin sedikit jumlahnya, sehingga sulit ditemukan. Dua jenis kayu itu selalu menjadi target incaran para pembalak liar, karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Kepala Seksi Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dan Pemberdayaan Masyarakat di wilayah Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Tebing Tinggi Timur, Prayoto mengatakan, bahwa cukup sering melakukan patroli. Namun, setiap meninjau lokasi petugas hanya menemukan tumpukan kayu. “Kami tidak menemukan siapa pemilik kayu,” kata Prayoto.

Prayoto menjelaskan, untuk memberantas pembalakan liar perlu dukungan aparat lainnya, yaitu kepolisian, bagian penegakan hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga militer di tingkat desa. Menurut dia, cara itu akan efektif memberantas pembalakan liar. “Saya yakin illegal logging (pembalakan liar) bisa tuntas secara cepat dan hutan desa yang dikelola warga akan terjaga,” ujarnya.

Nilai budaya Tasik Ulu Mahmud

Tasik Ulu Mahmud merupakan bagian kebudayaan warga Desa Lukun. Sejak dahulu, Tasik Ulu Mahmud dimanfaatkan masyarakat di sekitar Kecamatan Tebing Tinggi untuk melaksanakan tradisi bele kampung, yakni kegiatan adat untuk menolak bala. “Umpamanya dokter di rumah sakit, ini obat, sirup, tabletnya, seperti itu juga (Tasik Ulu Mahmud),” tutur Amran yang juga tokoh masyarakat Desa Lukun.

 Tasik Ulu Mahmud dari tangkapan layar video Rumvio Studio
Tasik Ulu Mahmud dari tangkapan layar video Rumvio Studio

Saat kegiatan adat bele kampung, warga membuat miniatur tiruan kapal dan rumah berbahan pelepah pohon sagu yang ditaruh di sekitar danau. Biasanya selain meletakkan miniatur tadi, warga juga menyajikan telur dan ketupat. Warga memercayai mitos yang berkembang akan muncul buaya sebanyak tiga ekor berwarna kuning, hitam, dan putih. Sesungguhnya tradisi itu dilakukan saban tahun. Tapi, sudah tujuh tahun belakangan tidak lagi dilakukan karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama yang dianut mayoritas warga.

Masyarakat di sekitar Kecamatan Tebing Tinggi Timur juga mengadakan ritual tahunan, yakni mandi Safar. Ritual ini hampir sama maknanya untuk menolak bala.  Warga yang melangsungkan tradisi mandi Safar akan mulai membersihkan akses masuk menuju Tasik Ulu Mahmud. Selanjutnya warga akan membuat wadah penampung air yang bersumber dari aliran menuju Tasik Ulu Mahmud dan sungai di sekitarnya.

Nilai budaya dan sosial dari hubungan masyarakat Desa Lukun dengan hutan gambut di sekitar Tasik Ulu Mahmud menjadi bukti kearifan lokal yang telah lama memberi perlindungan bagi warga dan lingkungan. “Kearifan lokal serupa banyak ditemui di masyarakat (etnik) Melayu di Riau,” kata Risdayanti, selaku peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau

Risdayanti menjelaskan, banyak nilai budaya yang berakar dari lingkungan alam di sekitarnya. Masyarakat Melayu memaknai hutan memiliki kehidupan yang juga harus dihargai. “Nilai tanaman pada masyarakat Melayu sangat erat, selain nilai ekonomi,” tuturnya.

Ia mencontohkan, kehidupan masyarakat di Pelalawan. Masyarakat lokal di sana tak boleh menebang pohon tanpa izin, karena ada hukuman yang berlaku merujuk aturan adat. Kayu yang bisa diambil hanya yang sudah tak produktif lagi. “Boleh diambil untuk kayu bakar,” kata Risdayanti.

Menurut dia, aktivitas pembalakan liar dipengaruhi oleh pergeseran nilai budaya yang tergerus, karena tekanan ekonomi. Pandemi virus corona (Covid-19) juga tak pelak melemahkan ekonomi masyarakat pun lapangan pekerjaan di perkotaan makin berkurang. “Lalu masyarakat melihat hutan sebagai sumber ekonomi yang akan memberikan uang dengan cepat,” ujarnya.

Risdayanti mengatakan, bahwa pemerintah daerah perlu memperkuat regulasi hukum positif yang mengakomodasi nilai kearifan lokal. Hal itu supaya hukum adat tak hanya dipandang sebelah mata. Perlindungan nilai adat akan berdampak baik untuk penjagaan hutan di sekitar desa. “Pemerintah daerah harus mengangkat kearifan lokal sampai ke sanksi hukumnya,” kata Risda.

Tasik Ulu Mahmud memikat para peneliti

Keberadaan Tasik Ulu Mahmud memikat para peneliti dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, dan Pusat Studi Bencana Universitas Riau. Penelitian mereka telah dipublikasi pada Desember 2019.

Kajian itu menguraikan, panjang Tasik Ulu Mahmud 140 meter dan lebar 60 meter. Kedalaman air 5 meter hingga 7 meter. Keseluruhan luas permukaan kawasan air 8.400 meter persegi. Saat musim hujan, ketinggian permukaan air meningkat hingga 50 sentimeter. Adapun 150 meter tambahan luas air yang tergenang dari tepi Tasik Ulu Mahmud. 

Ahmad Muhammad, salah satu peneliti dari Universitas Riau mengatakan, Tasik Ulu Mahmud merupakan ekosistem gambut kecil di Tebing Tinggi Timur. Ia  menjelaskan, pencatatan di lebih dari 37 tasik di lahan gambut Riau, keunikan Tasik Ulu Mahmud, karena berukuran kecil dan tersembunyi. “Ini istilahnya landlocked (pedalaman), tidak terhubung dengan badan sungai, betul-betul sebagai perigi berisi air,” katanya.

Tasik Ulu Mahmud makin memunculkan daya pikat untuk para peneliti saat puncak musim hujan, biasanya air akan meluap pada November, Desember, Januari. “Ini (muncul) musiman air dangkal berawa, itulah sejatinya hutan rawa gambut. Ini jarang sekali ditemukan, formasi vegetasinya masih bagus,” ucap Ahmad.

Para peneliti juga mencatat adanya 22 spesies burung yang hanya ditemukan di Tasik Ulu Mahmud. Dari keseluruhan spesies lima jenis burung termasuk satwa yang dilindungi hukum. Lima jenis burung itu, elang hitam (Ictinaetus malayensis), kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris), rangkong badak (Buceros rhinoceros), cica daun besar (Chloropsis sonnerati), dan delimukan zamrud (Chalcophaps indica).

Sebanyak 39 spesies burung juga dapat ditemukan di lingkungan lain yang masih kawasan Desa Lukun. Para peneliti juga menjelaskan, bahwa ancaman dan degradasi yang terjadi di kawasan Tasik Ulu Mahmud akan mengurangi jumlah mikroalga dan zooplankton yang memengaruhi rantai makanan di perairan Tasik Ulu Mahmud. “Tahun 2020 kami mulai mengendus illegal logging (pembalakan liar) yang baru di tempat tersebut. Sayang sekali,” ujarnya.

Penulis : Zamzami
Editor  : Bram Setiawan

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.