Sekat Bakar Penghimpun Rupiah
Oleh Aries MunandarIndonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam, di antaranya sumber hayati penghasil karbohidrat tinggi. Sesuai potensi alam dan hayati yang dimiliki, Indonesia seharusnya menjadi negara pengekspor bahan baku sumber karbohidrat. Sayangnya, Indonesia belum mampu mengoptimalkan sumber daya tersebut sehingga masih mengandalkan bahan baku SK impor dari negara lain.
Padahal, berdasarkan data BPS pada 2015 yang dipublikasikan di Koran Sindo, disebutkan bahwa ekspor pati tapioka mencapai 91% dibandingkan dengan sumber pati lainnya, seperti pati jagung (maizena) dan kentang. Selain itu, Kementerian Pertanian juga menyatakan bahwa pengembangan keanekaragaman pangan dari sisi konsumsi mengalami peningkatan, salah satunya tercermin dari peningkatan skor Pola Pangan Harapan (PPH) Indonesia dari 86,0 pada 2016 menjadi 90,4 pada 2017.
Sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2015 Pasal 1 Ayat 15 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, beras termasuk ke dalam bahan pangan pokok karena dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, Indonesia menghadapi kendala akibat produksi beras yang semakin menurun sehingga pada akhir Januari 2018, pemerintah terpaksa kembali melakukan impor beras sebesar 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam. Kebijakan tersebut diambil sebagai langkah untuk mengatasi lonjakan harga beras dan memperkuat cadangan beras nasional. Padahal, beberapa pihak menganggap bahwa impor beras tidak perlu dilakukan jika Indonesia mampu melakukan penganekaragaman pangan.
Masyarakat Indonesia sendiri sebenarnya telah lama melakukan penganekaragaman pangan dengan memanfaatkan sumber karbohidrat selain beras. Di Papua dan Maluku, masyarakat terbiasa mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok. Di Madura dan Nusa Tenggara Timur, masyarakat mengonsumsi jagung sebagai makanan pokok.
Penganekaragaman pangan merupakan upaya menciptakan kedaulatan pangan yang dapat terwujud jika masyarakat mampu memproduksi pangan secara mandiri, mampu menjual produksi pangan lokal dan kemudian memenuhi kebutuhan ekonomi dari hasil penjualan yang dilakukan.
Satu di antara beberapa sumber pangan yang bisa dijadikan alternatif sumber karbohidrat adalah sagu. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Papua menyebutkan bahwa tanaman sagu mampu menghasilkan pati kering antara 300 hingga 500 kg per pohon. Selain itu, budidaya tanaman sagu juga memberikan keuntungan lain secara ekologis karena mampu menyerap karbon dioksida dalam jumlah tinggi untuk proses fotosintesis sehingga dapat mengurangi efek gas rumah kaca yang berdampak pada pemanasan global.
Potensi Komoditas Sagu
Sagu memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dijadikan sebagai komoditas pangan nasional. Tanaman sagu tumbuh di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Ambon Utara dan Papua. Namun, sejumlah penelitian menemukan bahwa varietas sagu terbanyak ditemukan di wilayah Papua. Oleh sebab itu, tidak heran jika Papua menjadi pusat keragaman tanaman sagu.
Selain memiliki banyak varietas, tanaman sagu juga memiliki potensi agronomis karena dapat tumbuh di area rawa atau gambut. Tanaman sagu juga bertoleransi baik terhadap tanah dengan tingkat keasaman atau pH rendah, dapat dipanen kapan saja jika telah mencapai usia 8-10 tahun, serta dapat dipanen secara terus-menerus tanpa perlu memperbaharuinya. Pemeliharaan yang intensif juga tidak diperlukan sehingga budidaya sagu menjadi lebih mudah dan murah, namun tetap menghasilkan sumber pangan yang berkualitas dan mampu memenuhi kebutuhan karbohidrat masyarakat.
Melihat kondisi tersebut, akan sangat baik jika program budidaya sagu di Papua dilakukan secara optimal oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Apalagi, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Pertanian RI No.134/Permentan/OT.140/12/2013 1/11 tentang Pedoman Budidaya Sagu yang Baik.
Di dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa potensi produksi sagu dapat mencapai 20-40 ton pati kering/ha setiap tahunnya apabila dibudidayakan dengan baik. Selain sebagai sumber pangan pokok yang potensial, sagu juga dapat digunakan sebagai bahan baku agroindustri, seperti bahan penyedap rasa, asam laktat, gula cair, dan bahan baku energi terbarukan.
Krisis Pangan Sagu
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, diversifikasi pangan melalui budidaya sagu memang menjadi salah satu program yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Sayangnya, semakin tinggi konsumsi olahan sagu dan budidaya yang tidak dilakukan dengan baik menyebabkan tanaman tersebut dieksploitasi besar-besaran sehingga tanaman ini menjadi langka akibat pemanfaatan sagu yang hanya dilakukan untuk tujuan komersial.
Pengelolaan sagu yang baik harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pihak swasta sampai masyarakat lokal sehingga tata cara dan prosedur pengelolaan sampai pengolahan dapat dilakukan sesuai dengan praktik pertanian yang berkelanjutan. Praktik ini dimaksudkan untuk menjaga nilai ekologis lingkungan hidup namun dapat meningkatkan perekonomian masyarakat melalui produksi sagu.
Sayangnya, budidaya sagu yang intensif hanya dapat dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan swasta karena masyarakat masih memanfaatkan teknologi mekanis (mesin parut) dan teknologi tradisional yang hanya mampu menghasilkan produk dalam jumlah terbatas dengan kualitas yang tidak terlalu tinggi. Selain itu, petani juga tidak memiliki modal yang memadai dalam pengembangan usahanya. Oleh karena itu, masyarakat perlu meningkatkan inovasi dalam pemanfaatan lahan sagu yang intensif dan terpadu agar dapat mengembangkan komoditas lokal tersebut.
Dengan dukungan dari pemerintah, melalui pelibatan masyarakat dalam budidaya sagu, pengurangan kapasitas impor sumber karbohidrat pun akan dapat tercapai sehingga kemandirian sektor pangan dapat mengurangi defisit yang sering terjadi pada Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN). Sementara itu, dengan dimasukkannya komoditas sagu ke dalam program Kementerian Pertanian melalui Inpres No. 9 Tahun 2017, Indonesia berkesempatan untuk memperbaiki krisis pangan yang ada dan memberikan dampak positif terhadap kondisi ekonomi, sosial, budaya, hingga lingkungan masyarakat.
Ayo, bantu atasi krisis pangan di Indonesia dengan menerapkan budidaya sagu di lahan Nusantara!