Food Estate: Membuka Kembali Gambut demi Pandemi
Oleh Dimas N. HartonoRasau dan bekantan merupakan bagian dari ekosistem gambut yang perlu dilindungi. Semakin subur lahan gambut, maka akan semakin banyak pula tanaman rasau dan binatang bekantan yang tumbuh dan tinggal di sana. Namun, kebakaran hutan dan lahan pada 2015 justru membuat flora dan fauna tersebut menjadi berkurang.
Berbagai jenis flora dan fauna hidup di lahan gambut sebagai bagian dari keseimbangan ekosistem gambut. Salah satu tanaman yang tumbuh di lahan gambut dan bermanfaat bagi makhluk hidup lainnya adalah rasau atau selingsing. Rasau (Pandanus Helicopus) merupakan tumbuhan jenis pandan yang biasanya hidup di tepi sungai atau danau di kawasan rawa gambut. Tanaman ini terdapat di wilayah Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaya, hingga Thailand.
Rasau dapat tumbuh dengan baik di daerah rawa yang memiliki karakteristik air berwarna kehitaman dan tidak berbau. Tanaman ini berkembang biak melalui tunas dan tumbuh dengan lebat sehingga tingginya dapat mencapai enam meter. Rasau memiliki cabang lebih dari satu dengan daun yang mengumpul di ujung dan tersusun spiral dalam tiga baris; daunnya berwarna hijau tua dengan bagian pangkal kekuningan atau kemerahan, serta bagian bawah berwarna keputihan.
Meskipun dapat berpotensi sebagai tanaman pengganggu yang menghalangi aliran air, rasau juga memiliki manfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Rasau dapat dimanfaatkan dalam bidang ekonomi, salah satunya dalam pembuatan tikar. Selain itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok akademisi di Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa rasau berpotensi menjadi tanaman obat yang memiliki kapasitas antibakteri. Meskipun pemanfaatan rasau belum dilakukan secara optimal, namun manfaat yang paling dapat dirasakan bagi ekosistem gambut adalah buahnya yang berfungsi sebagai makanan alternatif bagi bekantan.
Bekantan (Nasalis Larvatus) sendiri merupakan monyet berhidung panjang dengan rambut cokelat kemerahan yang hanya ditemukan pada spesies jantan. Binatang ini memiliki ukuran yang dapat mencapai 75 cm dengan berat mencapai 24 kg. Binatang dengan perut buncit ini tersebar di wilayah hutan bakau, rawa, dan hutan pantai di Kalimantan, Sabah, Serawak, dan Brunei. Keunikan bekantan membuat fauna ini dijadikan sebagai maskot provinsi Kalimantan Selatan.
Binatang ini hidup secara berkelompok dengan jumlah anggota terdiri atas 10 sampai 32 bekantan. Sistem sosialnya terbagi menjadi dua, yaitu sistem one-male group yang terdiri atas satu bekantan jantan dengan beberapa betina dewasa dan anak-anak; dan sistem all-male yang terdiri atas beberapa bekantan jantan remaja.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada tahun 2015 turut berpengaruh terhadap kerusakan habitat bekantan. Kebakaran tersebut mengakibatkan berkurangnya pohon-pohon yang menjadi sumber pangan bekantan sehingga keberadaan tanaman rasau di sepanjang tepi sungai yang mayoritas tidak ikut terbakar menjadi sumber makanan alternatif bagi bekantan. Sementara itu, tanaman rasau akan terus tumbuh meskipun bekantan mencabut tanaman rasau hingga rusak.
Dalam ekosistem gambut, bekantan memiliki fungsi sebagai pengatur silvikultur hutan dengan memakan daun dan pucuk tanaman, termasuk tanaman rasau yang kemudian tumbuh semakin lebat. Selain itu, pemberdayaan bekantan dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat juga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.
Hilangnya bekantan juga dapat berdampak pada menurunnya kualitas lahan basah dan populasi macan dahan di Kalimantan sehingga populasi bekantan menjadi simbol hutan yang baik dan sehat di Kalimantan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perlindungan dan pemulihan gambut tidak hanya berdampak pada kondisi lahan itu sendiri, melainkan juga bagi banyak pihak; baik itu flora dan fauna yang hidup di lahan gambut maupun masyarakat yang tinggal di area lahan gambut. Untuk itu, mari kita sama-sama menjaga lahan gambut demi keberlangsungan hidup ekosistem gambut!