Oleh Romes Irawan Putra
dari Kaliptra Andalas/Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau

Sejumlah wilayah di Dumai, Riau, diliputi asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang telah mulai terjadi sejak awal tahun. Karhutla yang membawa asap ke Kota ini terus terjadi meski sudah ada upaya pencegahan, salah satunya melalui program restorasi gambut.

Angka indeks standard pencemaran udara (ISPU) yang terpampang di laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan kualitas udara di Kota Dumai, Riau, berada angka 75 yang berarti kategori sedang. Namun angka itu tertanggal 12 Februari 2019 dan belum ada pemutakhiran. Kondisi di lapangan sudah memburuk. Asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah menyelimuti kota dan membuat jarak pandang hanya sekitar 100 meter pada Kamis 21 Februari 2019.

Sejumlah wilayah Dumai dilanda karhutla semenjak awal tahun. Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mencatat 843 hektar lahan terbakar di Riau selama periode 1 Januari hingga 18 Februari 2019. Dari total tersebut, 117 hektar kebakaran terjadi di Kabupaten Rokan Hilir; 43,5 hektar di Kota Dumai; 637 hektar di Kabupaten Bengkalis; 20,2 hektar di Kabupaten Meranti; 5 hektar di Siak; 14 hektar di Kabupaten Kampar; dan 16 hektar di Kota Pekanbaru.

Salah satu penyumbang asap di Riau adalah karhutla yang berulang di Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai. Kecamatan Medang Kampai adalah salah satu wilayah target program restorasi gambut melalui Badan Restorasi Gambut (BRG), badan yang dibentuk pada 2016 untuk mengkoordinir pelaksanaan restorasi 2 juta hektar lahan gambut. Restorasi ini diharapkan dapat menurunkan risiko berulangnya karhutla hebat pada 2015. Sayangnya, pelaksanaan program restorasi di Medang Kampai nampaknya belum menunjukkan dampak yang signifikan terhadap upaya pencegahan karhutla di gambut.

Medang Kampai memiliki hutan gambut yang membentuk ekosistem dan sangat rentan terhadap kebakaran karena banyak lahan yang tidak dikelola secara baik atau sering disebut dengan lahan tidur. Beberapa waktu lalu, Kaliptra Andalas yang juga merupakan Simpul Jaringan Pantau Gambut untuk wilayah Riau melakukan pemantauan ke salah satu wilayah Medang Kampai, yaitu Kelurahan Guntung dan Kelurahan Teluk Makmur.

Tahun 2016 BRG membuat rencana kontijensi restorasi rewetting yang meliputi rencana pembangunan sekat kanal dan sumur bor untuk pelaksanaan pada tahun 2017 di Riau. Dalam rencana tersebut, terdapat program pembangunan 8.827 unit sekat kanal dan 1.716 sumur bor. Tim Kaliptra Andalas melakukan tumpang susun peta restorasi dan perencanaan pembangunan infrastruktur pembasahan tersebut. Hasil tumpang susun menunjukkan rencana pembuatan 5 unit sekat kanal dan 16 sumur bor di Kelurahan Guntung serta 22 unit sekat kanal dan 69 sumur bor di Kelurahan Teluk Makmur. 

Namun, saat turun langsung ke lapangan, tim Kaliptra Andalas tidak menemukan sekat kanal dan sumur bor yang direncanakan di Kelurahan Guntung dan hanya menemukan 12 unit sekat kanal di Kelurahan Teluk Makmur.

Tim Kaliptra Andalas mencoba bertanya kepada warga terkait apakah mereka mengetahui informasi terkait sumur bor dan sekat kanal untuk program restorasi. Menurut penjelasan Bapak Misri yang pernah menjadi ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) dan sekarang merupakan ketua kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA), warga Kelurahan Guntung pernah mempertanyakan masalah mengapa Kelurahan Guntung tidak mendapatkan program pembangunan sekat kanal. Padahal, tahun 2015 Kelurahan Guntung pernah mengalami kebakaran. Sayangnya, menurut Bapak Misri, Kelurahan Guntung tidak termasuk kawasan rawan terbakar berdasarkan kajian dari BRG. 

Kelurahan Guntung merupakan salah satu area program Desa Peduli Gambut (DPG) dari BRG. Sejumlah program telah dijalankan di kelurahan ini, tetapi yang berbentuk fisik hanya sebatas mini demplot (demonstration plot) seluas 1 hektar untuk tahun 2017. Lokasi Demplot berada di RT 02 Jl. Parit Ibrahim, Kelurahan Guntung, sekitar 2 km dari pemukiman masyarakat. Sebanyak 15 orang anggota masyarakat menjadi pengelola demplot ini dan melakukan penanaman tanaman jangka pendek yaitu nanas dan jangka panjang yaitu pohon matoa. Faktor jarak membuat demplot ini tidak mendapatkan perawatan rutin, di samping bahwa para anggota pengelola juga harus bekerja untuk penghidupan mereka masing-masing. Hingga saat ini, tanaman nanas belum jaga menghasilkan buah dan belum bisa dipanen.

Sementara itu di Teluk Makmur, tim menemukan sejumlah sekat kanal yang rusak. 

Dari pengamatan tim pemantauan, penyebab kerusakan kanal ini adalah konstruksi kayu yang tidak sesuai dengan ukuran sungai sehingga sekat tidak mampu menahan debit air.  Akibatnya, terjadi kekeringan di bagian hilir kanal yang sangat merugikan masyarakat karena area ini merupakan ladang pertanian palawija, seperti jagung, bayam, kangkung, kacang, dan lain sebagainya.

 

Dari dialog dengan masyarakat, tim Kaliptra Andalas melihat bahwa masyarakat berpandangan baik dan apresiasi terhadap upaya-upaya restorasi gambut yang dilakukan di Kelurahan Guntung dan Teluk Makmur. Namun, mereka berharap upaya pencegahan karhutla melalui kegiatan-kegiatan pembasahan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan dampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi mereka. 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.