Oleh Budi Kurniawan
dari Pantau Gambut

Warga Hulu Sungai Utara telah mencoba berbagai cara untuk melindungi lingkungan dan sumber mata pencaharian mereka, termasuk melalui upaya hukum. Namun, semua upaya tak akan berujung hasil tanpa ketegasan pemerintah daerah dalam memberikan kepastian hukum. 

Semua sudah dilakukan Haji Karani (70 tahun). Ia bersama ratusan warga sudah melayangkan surat keberatan yang ditujukan kepada Bupati Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan, H Abdul Wahid HK. Demonstrasi di halaman kantor Bupati HSU juga sudah ia lakukan bersama berbagai elemen masyarakat sebagai bentuk pernyataan sikap menolak terhadap hadirnya perkebunan kelapa sawit PT Hasnur Jayanti Lestari (HJL).

Upaya Karani, warga Desa Bararawa, Kecamatan Paminggir, HSU itu tak berujung manis. Apalagi, surat Bupati Nomor 414/2013 tentang izin lokasi perkebunan kelapa sawit kepada PT HJL seluas 10.079 hektar, yang meliputi tiga kecamatan, yaitu Paminggir, Danau Panggang, dan Babirik, sudah terlanjur diterbitkan. Seluruh areal yang masuk dalam izin itu adalah rawa gambut yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian warga. 

Selain sebagai sumber perikanan dan pertanian, rawa gambut juga menjadi habitat kerbau kalang (kerbau rawa). Saban hari ratusan kerbau kalang menggantungkan nasib pada lahan ini. Mereka keluar kandang saban subuh, digembalakan di hamparan rawa mencari makan sepanjang hari, dan pulang ke kandang masing-masing saat magrib menjelang.

Penolakan warga terhadap masuknya PT HJL ke HSU didukung 18 dari 30 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dukungan itu disampaikan DPRD HSU dalam  rapat dengar pendapat dengan Bupati H Abdul Wahid HK dan juga dihadiri warga pada 21 Agustus 2014 di Gedung DPRD HSU di Amuntai.  

Sebanyak 18 anggota DPRD HSU membuat pernyataan sikap menolak diterbitkannya Surat Bupati No.414 Tahun 2013 tentang izin lokasi perkebunan kelapa sawit PT HJL. Beberapa fraksi ikut menandatangani pernyataan sikap itu. Dari Fraksi PKB yang menandatangani adalah, H Hormansyah, Mawardi, Junaidi, dan Lisdawati. Dari Fraksi PPP adalah Fathurrahim, M Arsyad, Isbandi, Yaser Arafat, Zainab, Sutoyo Sandhi, dan Hj Hasnah. Fraksi Demokrat diwakili Zulfinizar dan H Norsyamsiar. Fraksi PBB diwakili Salman Farisi dan Akhmad Junaidi. Sementara itu, Fraksi PBR diwakili Arminansyah. Namun, 12 anggota DPRD HSU lainnya,  di antaranya 5 orang dari Fraksi Golkar, memilih abstain atau tak mau menandatangani pernyataan sikap. 

Walau secara politis ada dukungan yang jelas atas penolakan yang diajukan warga, Karani tetap saja khawatir. Karena, katanya,  izin lokasi dari bupati sudah keluar, sehingga bukan tidak mustahil perkebunan kelapa sawit itu tiba di desa mereka dalam hitungan hari. Pernyataan sikap penolakan yang ditandatangani 600-an warga dan 18 anggota DPRD HSU bisa jadi hanya tinggal tanda tangan tanpa memiliki kekuatan yang mampu menggagalkan kehadiran perkebunan kelapa sawit itu.

Di tengah kekhawatiran itu, Karani bersama warga lainnya berencana melayangkan surat penolakan kembali kepada Gubernur Kalimantan Selatan kala itu, H Rudy Ariffin. Karani dan kawan-kawan juga akan menggugat Bupati Hulu Sungai Utara secara hukum ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). “Kami memang berencana menggugat secara hukum. Rasanya inilah jalan terakhir untuk mempertahankan hak kami,” ujar Karani.

Masran, warga Desa Palukahan, Danau Panggang, HSU, mendukung upaya hukum itu. Menurutnya, gugatan secara hukum itu tidak perlu dan tidak bakal terjadi seandainya bupati terlebih dahulu berkoordinasi dan berbicara kepada warga di tiga kecamatan yang wilayahnya akan dimasuki sawit sebelum menerbitkan izin lokasi perkebunan kelapa sawit kepada PT HJL.

Bupati ngotot mengeluarkan izin dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kata Masran, kebijakan sepihak bupati ini bisa menimbulkan konflik sosial di masyarakat suatu saat nanti. “Saat ini saja sudah sering terjadi konflik lahan di Danau Panggang,” ujar Masran.

Konflik bakal bertambah panjang, kata Masran, apabila masyarakat tidak pernah tahu lokasi sesungguhnya dari perkebunan kelapa sawit seluas 10.079 hektar itu. Seandainya lokasi perkebunan berada di tengah pemukiman masyarakat, atau di tempat warga mencari ikan dan ladang pertanian, maka tinggal menunggu bom waktu saja hingga konflik muncul. 

Pertemuan antara anggota DPRD HSU dan Pemerintah Kabupaten HSU untuk membahas soal keberatan H Karani dan kawan-kawan juga sudah dilakukan. Dalam pertemuan itu, dewan meminta penjelasan tentang lokasi-lokasi persis perkebunan kelapa sawit seluas 10.079 hektare yang diberikan kepada PT HJL berdasarkan Surat Bupati Nomor 414/2013. 

Selain meminta penjelasan, Ketua Komisi I DPRD HSU Hormansyah mengatakan dewan juga meminta pemerintah kabupaten mengkaji ulang dampak manfaat dan mudarat pemberian izin itu. Dewan, tambah Hormansyah, tetap dalam sikap menolak. Untuk itu, dewan sedang berupaya melihat celah kesalahan dalam pemberian perizinan oleh bupati ini. Pemberian izin lokasi itu diduga sarat dengan pelanggaran karena tidak sesuai dengan beberapa perundang-undangan, misalnya UU Nomor 41 /1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Perda HSU Nomor 12 /2012 tentang RTRW HSU tahun 2012-2032.

Apabila itu terbukti, kata Akhmad Junaidi, anggota DPRD HSU dari Fraksi PBB,  DPRD HSU akan membentuk panitia khusus (Pansus) dan menggunakan hak interpelasi. “Hasil Pansus nantinya disampaikan kepada Pemkab HSU. Isinya menunda atau mencabut ijin perkebunan kelapa sawit PT HJL,” ujar Akhmad Junaidi.  

Kini empat tahun sudah berlalu. Persoalan terancamnya ekosistem rawa gambut di desa yang ditempati Karani dan desa-desa lainnya di HSU masih belum juga menemui titik terang.

Persoalan pun kian runyam. Pemkab HSU malah mengeluarkan izin baru bagi sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar di sekitar lokasi PT HJL. Kali ini izin prinsip dikeluarkan untuk PT Sinar Surya Borneo seluas 8.000 hektare, tertanggal 26 Oktober 2017.

Banyak pihak memprotes izin baru tersebut, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan. Apalagi, pemberian izin kala itu dilakukan empat bulan menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Kalimantan Selatan setahun silam. "Lahan perkebunan berada di areal gambut dengan kedalaman 2 meter hingga 4 meter sehingga pemberian izin itu melanggar aturan," kata Manajer Kampanye, Data, dan Program Walhi Kalsel, Rizqi Hidayat.

Izin yang dikeluarkan ini juga bertentangan dengan moratorium yang dikeluarkan pemerintah pusat. “Selain membangkang aturan yang dikeluarkan Presiden, izin ini telah mengabaikan kepentingan rakyat dengan mendahulukan kepentingan korporasi. Izin itu menambah porsi total penguasaan perkebunan sawit terhadap lahan gambut di Kalimantan Selatan bertambah menjadi 44 persen dari sebelumnya 42 persen,” ujar Rizqi. 

Setelah empat tahun berlalu, baik izin yang dikeluarkan untuk HJL maupun Sinar Surya Borneo, masih tak tentu arah. Bupati HSU sendiri tak mengeluarkan kebijakan apa-apa mengenai masa depan dua perizinan itu. Akibatnya, hingga kini warga masih dilanda harap-harap cemas. Nasib mereka tetap menggantung. 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.