Galeri Foto Acara HAPPI KLHK
Oleh Pantau GambutDaun pandan berduri yang dirangkai menjadi lapik atau tikar, lazim digunakan sebagai lambar (alas) sejak raga manusia datang hingga meninggalkan dunia. Semenjak jabang bayi masih ada di dalam perut seorang calon ibu, tanaman pandan sudah dipercaya untuk menangkal kekuatan jahat yang dapat mencelakakan keduanya. Pandan biasa ditemui dalam bentuk tumbuhan yang ditanam di pekarangan rumah ataupun perkakas rumah yang menggunakan pandan sebagai bahan dasarnya.
Saat menyambut kelahiran seorang bayi, anyaman lapik pandan jamak digunakan oleh calon ibu sebagai bantalan saat melahirkan karena teksturnya yang lembut dan tidak mudah menyerap dinginnya lantai. Ketika manusia mulai bertumbuh dan mengenal manisnya hidup, lapik pandan populer digunakan sebagai alas dudukan dalam momen pernikahan seseorang. Hingga di ujung usia, lapik pandan lumrah digunakan sebagai bagian dari pembungkus jasad manusia saat dikembalikan ke dalam tanah.
Sayangnya, kepercayaan daya magis anyaman pandan di Kumpeh, Muaro Jambi, kian memudar. Jumlah perajin anyaman semakin sedikit karena ilmu nganyam sulit untuk diturunkan kepada orang muda. Saat kami mengunjungi kediaman Ibu Rubiyah (54) di Desa Seponjen, dirinya bercerita jika kegiatan nganyam menjadi kurang populer karena masyarakat di sana belum melihat pandan sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomi potensial.
“Masyarakat sini gak lihat tikar (pandan) ini sebagai nilai ekonomi yang bagus, tapi hanya sebagai barang historis dan adat saja. Makanya tradisi nganyam ini cuma (orang) yang tua-tua saja yang melakukan”, tutur Ibu Rubiyah sembari anaknya menuangkan suguhan teh hangat ke gelas kami. Suara tayangan sinetron dari televisi dan lagu berbahasa jawa yang diputar melalui gawai anak Ibu Rubiyah, ikut meramaikan malam kami di rumah Ibu Rubiyah.
“Saya biasa nganyam sambil nonton TV kalau malam. Kalau siang ke ladang”, terangnya.
Sebagian masyarakat Seponjen memang hanya menjadikan komoditas anyaman pandan sebagai usaha sampingan dari hasil ladang untuk mendapatkan pemasukan tambahan. Mereka belum tergerak untuk mengolah pandan menjadi aneka produk yang lebih populer seperti tas, sandal, atau sejenisnya. Padahal, akses informasi digital tergolong sudah cukup memadai bagi warga Seponjen. “Anak-anak disini kebanyakan mainan HP (handphone)”, celetuk Ibu Rubiyah.
Produksi pun hanya dilakukan pada malam hari ketika perajin yang mayoritas sudah berusia lanjut ini mendapatkan pesanan dari tetangga yang memerlukan lapik. Selain karena alasan meladang pada siang hari, menganyam di malam hari ternyata juga mempermudah perajin dalam merangkai daun pandan. Suhu ruang yang lebih rendah membuat daun menjadi melunak dan memberikan elastisitas yang lebih baik untuk dirangkai. Sementara pada siang hari, daun akan memuai dan cenderung menjadi lebih kaku, sehingga perajin lebih sulit untuk menyusun dedaunan ini menjadi sebuah rangkaian anyaman.
Belum ada sistem produksi secara kontinu untuk menciptakan rantai pasok komoditas yang lebih mapan di Desa Seponjen. Terlebih saat musim tanam atau panen padi, intensitas kegiatan menganyam jauh berkurang karena perhatian warga akan banyak ditujukan ke ladang. Dengan sistem produksi yang ada, potensi komoditas anyaman yang dibuat oleh warga Seponjen belum bisa menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.
Biasanya perajin membutuhkan waktu 3 hingga 4 hari untuk membuat lapik pandan selebar 2,5 x 1,5 meter dengan harga jual Rp100.000. Proses dimulai dengan memanen daun pandan yang sengaja ditanam di pekarangan rumah ataupun pandan liar yang tumbuh subur di rawa gambut dangkal di sekitar desa. “Nanamnya ndak rumit, cuma dicucuk (ditancapkan) di tanah nanti bisa merumpun sendiri”, terang Ibu Rubiyah. Pandan yang dipanen sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan, kemudian dilayukan menggunakan api. Proses pelayuan ini biasanya membutuhkan satu hari untuk setiap lapik yang diproduksi.
“Bukan pandan yang biasa untuk sayur!” sela Ibu Rubiyah di tengah penjelasan proses penganyamannya. Pandan yang ditanam merupakan pandan berduri (Pandanus helicopus) yang biasa tumbuh alami secara merumpun di rawa gambut dangkal. Pandan berduri ini biasa disebut rasau atau selingsing oleh masyarakat lokal. Pandan jenis ini memiliki cabang yang banyak dan tersusun secara spiral. Dedaunannya mengumpul di bagian ujung dengan panjang sekitar 45-75 cm.
Proses dilanjutkan dengan memisahkan pandan ke beberapa ukuran tali anyaman menggunakan pisau kecil yang biasa disebut nyaut. Pandan kemudian dilembutkan menggunakan jangko atau sebuah alat khusus yang dibuat menggunakan bambu. Perajin lantas menyiapkan air panas yang sudah diberi pewarna untuk merebus helaian pandan ini. Pandan yang sudah berwarna kemudian dijemur dan siap untuk dianyam. Dalam sehari penganyaman, Ibu Rubiyah dapat menghasilkan lapik seluas 3-4 meter persegi. Uniknya, perajin dari Seponjen terbiasa mengukur panjang lapik menggunakan tapak kaki mereka.
Selain pandan, masyarakat Seponjen juga pernah akrab dengan beberapa jenis belukar endemik gambut lain sebagai bahan baku anyaman, seperti purun dan rumbia. Kedua belukar tersebut menjadi alternatif pandan karena ukuran daunnya yang lebih panjang dan lebar. Karakter tersebut memudahkan perajin dalam merangkai anyaman yang lebih besar karena mengurangi sambungan antar daun meski kekuatannya tidak sekuat pandan.
Menurut penuturan Ibu Rubiyah, dahulu ketiganya banyak tumbuh liar di rawa gambut dangkal yang ada di sekitar desa. Hanya saja, alih fungsi lahan gambut yang terus berlangsung membuat habitat alami belukar ini terus menyusut. Masyarakat pun mulai kesulitan untuk menjangkau rawa gambut tempat ketiga belukar tersebut tumbuh. Kepemilikan lahan oleh konsesi membuat akses masyarakat menjadi terbatas. Tidak jarang para perajin yang ingin mengambil pandan, purun, ataupun rumbia harus menempuh jarak yang lebih jauh dari sebelumnya.
Nasib pandan tergolong lebih beruntung dari pada purun ataupun rumbia. Adanya daya magis yang dipercaya oleh masyarakat untuk menangkal kekuatan jahat membuat pandan lebih banyak dijumpai di pekarangan rumah warga Seponjen. Berbeda dengan purun dan rumbia, tempat keduanya hidup semakin terdesak oleh perluasan lahan perkebunan monokultur.
Data dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada tahun 2017 menyebutkan paling tidak terdapat lima konsesi yang beroperasi di Desa Seponjen. Pada tahun tersebut, konsesi sawit setidaknya menguasai tanah desa seluas 3.343 hektare dari total 6.474 hektare. Dengan kata lain, 51% luas lahan desa telah ditutupi tanaman sawit dan tidak menutup kemungkinan luasan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu.
Perkebunan sawit semakin menjamur di Desa Seponjen pasca kebakaran hutan dan lahan (karhutla) besar di tahun 2015. Rusaknya ekosistem gambut karena karhutla membuat serangga kutu putih (Planococcus citri) berkembang biak secara tidak terkendali dan menjadi hama tanaman cokelat yang mematikan mata pencaharian sebagian warga Seponjen. Gagal panen dan matinya pohon-pohon cokelat pada periode tersebut membuat warga terpaksa beralih untuk menanam sawit ataupun bekerja sebagai karyawan perkebunan sawit.
Perputaran uang dari komoditas sawit yang lebih cepat membuat komoditas lain terlihat semakin kurang menggiurkan untuk ditekuni warga Seponjen. Padahal, sangat mudah dijumpai penelitian yang menyebutkan jika sawit tidak ramah terhadap gambut. Meski begitu, Ibu Rubiyah berharap orang muda di desanya bisa mendapatkan pelatihan dan peralatan yang bisa digunakan untuk memudahkan proses menganyam. Dengan adanya dukungan yang diberikan kepada orang muda, peluang ekonomi melalui anyaman pandan ini bisa menjadi lebih terbuka.
Harapannya, cara masyarakat dalam memandang anyaman pandan tidak lagi hanya sebatas artefak budaya saja. Ilmu ngayam bisa mendapatkan lebih banyak perhatian dari warga Seponjen sebagai sarana mendapatkan penghidupan dan menghindari alih fungsi lahan yang semakin sulit untuk dikendalikan. Lebih jauh lagi, daya magis anyaman pandan akan terus hidup dalam kepercayaan masyarakat untuk menjauhkan dari kekuatan yang mencelakakan.