Restorasi Gambut di Areal Konsesi di Jambi
Oleh AntoPrasasti Talang Tuwo yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-7 menyimpan nilai-nilai pelestarian lingkungan. Tulisan ini merupakan bagian kedua dari penelusuran lokasi sisa-sisa prasasti tersebut berada dan melihat perubahan-perubahan di sekitar akibat nilai-nilai titipan nenek moyang yang diabaikan.
Berdasarkan penelitian para arkeolog, Prasasti Talang Tuwo memuat 14 baris tulisan Pallava yang merupakan aksara dari kawasan India bagian selatan dan berbahasa melayu kuno. Prasasti ini diduga berasal dari tahun 606 Saka atau 684 Masehi. Prasasti ditemukan di sebelah barat kota Palembang yang saat ini sudah masuk dalam wilayah kelurahan Talang Kelapa, Kecamatan Alang-Alang Lebar pada 17 November 1920. Berita penemuan dimuat dalam laporan kepurbakalaan triwulan ke empat, OV. 1920:117, dan Louis Constant Westenenk (1921:5).
Secara keseluruhan, kata Yenrizal, Prasasti Talang Tuwo bercerita tentang pembuatan taman Sri Ksetra oleh Raja Sri Baginda Srijayanasa atau Punta Hyang Sri Jayanasa, yang merupakan raja pada kerajaan Sriwijaya di abad ke-7. Prasasti ini berisi titah sekaligus amanah dari Sang Raja kepada rakyatnya perihal rencana mempercantik wilayah dengan mengatur pemukiman, perkebunan, air, kolam-kolam, dan taman-taman. Kepada warga, Raja meminta menanam tumbuhan tertentu yang hasilnya kelak bisa untuk dimanfaatkan dan kemakmuran bersama. Prasasti juga memuat doa dalam ajaran Buddha.
Dr. Yenrizal M.Si, dosen komunikasi lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Raden Fatah Palembang, menjelaskan Prasasti Talang Tuwo, saat ditemukan, masih berupa bongkahan batu yang menyerupai lempengan. Saat itu, di sekitar lokasi masih berupa wilayah perbukitan yang dikelilingi oleh sebuah sungai dan dihuni oleh banyak harimau Sumatera. Menurut Yenrizal, dalam buku “Nilai-nilai Lingkungan Hidup Pada Prasasti Talang Tuwo”, prasasti ditemukan oleh seorang bernama Alwi Lihan, petani asal Dusun Meranjat pada 17 November 1920. Alwi kemudian membawa batu tersebut ke karesidenan yang berpusat di Bukit Siguntang dan menyerahkannya ke residen Palembang saat itu, L.C.Westenenk.
Setelah prasasti yang asli dipindahkan ke Museum Nasional di Jakarta tahun 1920, dengan nomor inventaris D.145, duplikat prasasti ini dibuat dan diletakkan di tempat yang sama. Namun pada tahun 1980, duplikat tersebut berpindah tangan pada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dulu, menurut buku karya Yenrizal, lokasi penemuan prasasti ditandai dengan sebuah “makam” Mbah Banua. Makam ini terletak pada bagian punggung sebuah talang atau tanah yang tinggi. Di sekelilingnya terdapat lembah-lembah yang dialiri sungai-sungai kecil yang bermuara ke Sungai Musi. Wilayah ini dulunya merupakan hutan adat milik marga Talang Kelapa. Sebagaimana hutan adat, hutan ini peruntukannya untuk hutan rimba. Dari pengakuan warga setempat hingga awal tahun 1980an, di tempat tersebut masih sering dijumpai berbagai jenis binatang seperti harimau, kancil, rusa, dan kijang. Berbagai tanaman sebagaimana yang tercantum dalam prasasti juga masih bisa ditemukan seperti bambu, kelapa, dan pinang.
Prasasti Talang Tuwo terbilang unik. Dia memiliki teks terpanjang bila dibandingkan dengan teks pada prasasti peninggalan Sriwijaya yang lain seperti prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Boom Baru, dan Prasasti Sabokingking. Selain itu, Talang Tuwo merupakan satu-satunya prasasti yang berisikan petuah dalam tata kelola air, ruang, lingkungan hidup, taman, dan tumbuh-tumbuhan.
Berikut terjemahan lengkap naskah Prasasti Talang Tuwo:
Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman yang dinamakan Sriksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat baginda: semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren dan sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan demikian pula bambu haur, waluh dan pattum, dan sebagainya. Dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.
Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih panennya. Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apapun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia kepada mereka dan berbakti, lagi pula semoga teman teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka menjadi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, pembunuhan atau penzina.
Selain itu semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik, Semoga dalam diri mereka lahir pikiran boddhi dan persahabatan dari tiga Ratna dan semoga mereka tidak terpisah dari tiga Ratna itu. Dan juga semoga mereka senantiasa bersikap murah hati, taat pada peraturan, dan sabar, semoga dalam diri mereka terbit tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis, semoga semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan dan kecerdasan. Lagi pula semoga mereka teguh pendapatnya, bertubuh intan seperti maha sattwa berkekuatan tiada bertara, berjaya dan juga ingat akan kehidupan mereka sebelumnya, berindra lengkap, berbentuk penuh, berbahagia, bersenyum tenang bersuara yang menyenangkan, suara brahma.
Semoga mereka dilahirkan sebagai laki-laki dan keberadaannya berkat mereka sendiri, semoga mereka menjadi wadah Batu Ajaib, mempunyai kekuasaan atas kelahiran-kelahiran, kekuasaan atas karma, kekuasaan atas noda dan semoga akhirnya mereka mendapatkan penerangan sempurna lagi agung. (Terjemahan dari naskah asli oleh George Coedes tahun 1930).
(Bersambung ke bagian 3)