Oleh Admin
dari Pantau Gambut

Menjadi pahlawan gambut untuk Nusantara tidaklah mudah. Perlu waktu bertahun-tahun untuk bisa mengolah lahan gambut dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Tiga pahlawan gambut berikut ini membuktikan bahwa upaya mereka dalam memperjuangkan lahan gambut tidak sia-sia.

Gambut adalah pahlawan ekosistem yang berperan penting dalam memurnikan air, mengurangi bencana banjir, menyediakan tempat tinggal bagi flora dan fauna, dan menyimpan karbon dalam jumlah banyak. Meskipun luasan lahannya hanya meliputi 3% dari luas daratan di dunia, gambut menyimpan dua kali lipat jumlah karbon yang ada di seluruh tanah di bumi.

Sayangnya, pengalihfungsian, pengeringan, dan pembalakan liar lahan gambut mengakibatkan kerusakan lahan gambut. Kerusakan ini tidak hanya berdampak negatif terhadap kehidupan flora dan fauna yang tinggal di lahan gambut, tapi juga terhadap masyarakat sekitar lahan gambut. Jika sudah begitu, siapa yang akan menjadi pahlawan penyelamat gambut?

Berikut ini adalah beberapa kisah tentang pahlawan gambut yang berupaya untuk melindungi dan merestorasi gambut sehingga tanah yang satu ini bisa tetap menyejahterakan masyarakat dan melindungi ekosistem gambut lainnya.

Masyarakat di Teluk Meranti

Teluk Meranti berada di bantaran sungai Kampar yang berjarak ±135 kilometer dari ibukota Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Sebelumnya, jalur ini hanya bisa ditempuh dengan menggunakan angkutan sungai seperti speed boat, kapal, dan motor dari Pangkalan Kerinci. Namun, saat ini, wilayah tersebut sudah dapat ditempuh melalui jalan darat.

Potensi alamnya yang baik tidak hadir begitu saja. Ada masyarakat Teluk Meranti yang telah berjuang mengolah lahan gambut di wilayah ini sehingga ada pendapatan bagi mereka, baik dari hasil panennya maupun dari sektor lain seperti pariwisata.

Masyarakat Teluk Meranti juga terus mempertahankan kearifan lokal dalam mengelola lahan gambut. Mereka membuka lahan gambut dengan cara tebas (tobe tobang) berdasarkan arah mata angin, serta waktu berladang yang aman. Sebelum membuka hutan untuk ladang, masyarakat akan melakukan musyawarah dengan Bomo (dukun khusus ladang) untuk memastikan hutan mana yang boleh dan diizinkan untuk dijadikan lahan perladangan. Hal ini tentu saja menjadikan lahan gambut tetap bisa dilindungi karena tidak semua lahan bisa ditebang seenaknya.

Masyarakat paling banyak menanam dan mengelola ladang padi sekitar lima jalur dengan ukuran kurang dari dua hektar. Pembukaan hutan gambut dilakukan dengan melihat arah angin dan membiarkannya sekitar tiga bulan agar bekas tebas tebang menjadi kering. Lalu, pada angin selatan (sekitar bulan Mei dan Juni), dilakukan pembakaran selama tiga hari dengan menggunakan kemenyan. Setelah api dan asapnya hilang, barulah dilakukan penyemaian padi.

Jenis padi yang ditanam di lahan gambut ini pun disesuaikan dengan jenis tanah gambut karena tidak semua padi dapat tumbuh subur di lahan gambut. Selama masa penanaman,  padi yang telah ditanam akan ditinggalkan agar tidak rusak atau diganggu hama. Setelah memasuki bulan keenam, barulah penuaian dilakukan.

Transmigran di Ogan Komering Ilir

Selain masyarakat di Teluk Meranti, ada juga pahlawan gambut lain yang telah berupaya untuk mengelola gambut selama bertahun-tahun. Mereka adalah para transmigran asal Jawa yang tinggal di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan.

Sejak 1981, masyarakat OKI telah melakukan berbagai cara untuk bisa mengolah lahan gambut dengan baik sehingga mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di wilayah tersebut. Masyarakat OKI telah melakukan teknik sonor, praktik penebaran benih dengan sistem pembakaran lahan, selama bertahun-tahun.

Tidak seperti pembakaran yang dilakukan oleh perusahaan, masyarakat OKI membakar lahan sebesar maksimal dua hektar untuk kepentingan tabur benih. Mereka membakar lahan bersama-sama dan mematikan apinya agar tidak menjalar ke lahan lainnya. Setelah kering, barulah dilakukan penebasan pada tanaman-tanaman yang berada di atas gambut, lalu dilakukan penebaran bibit-bibit tanaman di atasnya.

Sebelumnya, masyarakat OKI tidak mengetahui tanaman apa yang bisa tumbuh di lahan gambut. Lalu, pasca kebakaran hutan dan lahan pada 1982,  masyarakat OKI melihat berbagai tanaman tumbuh subur di atas lahan mereka. Dari situlah mereka tahu bahwa lahan gambut adalah lahan yang subur bagi berbagai jenis tanaman seperti kopi, padi, kelapa, dan tanaman palawija lainnya.

Meski pemerintah melarang masyarakat untuk melakukan pembakaran sebelum tanam, namun masyarakat OKI yakin jika mereka perlu membakar lahan untuk mengurangi pirit, yaitu senyawa yang akan teroksidasi dalam kondisi kering dan bisa meracuni akar tanam jika sudah terkena air.

Selain itu, masyarakat OKI juga telah berjuang melindungi gambut dengan menolak masuknya investor di wilayah mereka. Sayangnya, pemerintah lebih berkuasa untuk memberikan perizinan pada para investor tersebut sehingga yang bisa dilakukan oleh masyarakat OKI hanyalah mengolah lahan gambut dengan baik dan berharap jika pemerintah mau menerapkan konsep lindung untuk lahan gambut agar lahan tersebut tidak terganggu. Dengan begitu, gambut tetap lestari dan masyarakat pun tetap bestari dan sejahtera.

Januminro di Kalimantan Tengah

Seorang laki-laki Suku Dayak juga muncul sebagai pahlawan gambut dengan mendedikasikan waktu, tenaga, dan biaya untuk melindungi dan merestorasi gambut di wilayah Kalimantan Tengah yang kini dikenal sebagai hutan Jumpun Pambelom.

Jumpun Pambelom adalah hutan rehabilitasi yang berlokasi sekitar 30 kilometer dari Palangka Raya. Hutan yang satu ini berhasil diselamatkan dari kebakaran hutan dan lahan yang melanda Indonesia pada 2015 lalu karena di hutan ini, Januminro menggali lebih dari 20 sumur bor dengan jarak 100-150 meter  untuk membasahi area hutan yang rawan kebakaran, terutama di tepi-tepi jalan.

Selain itu, bapak tiga orang anak ini juga membangun tujuh buah sekat kanal yang terbuat dari bahan kayu yang tahan terhadap pelapukan air. Namun, Januminro tidak sendiri. Ia juga melibatkan masyarakat sekitar untuk bekerja sama dalam melindungi dan merestorasi gambut di wilayah ini. Keterlibatan masyarakat setempat dalam upaya perlindungan dan restorasi gambut ini juga dibuktikan dengan terbentuknya sukarelawan Serbu Api yang secara resmi dibentuk pada 2010. Selain menjaga kawasan Jumpun Pambelom, para relawan ini juga melakukan pengendalian api yang ada di luar kawasan tersebut.

Komunitas ini juga bahkan menyediakan nomor darurat yang bisa dipanggil jika masyarakat menemukan adanya indikasi kebakaran di wilayah mereka. Berkat perjuangannya ini, tidak heran jika Januminro mendapatkan penghargaan Kalpataru sebagai pengabdi lingkungan.

Selain tiga pahlawan gambut yang berjuang untuk menjaga lahan gambut di Nusantara di atas, siapa lagi yang layak disebut sebagai pahlawan gambut?

Bagikan cerita tentang pahlawan gambut di sekitarmu di sini, yuk!

 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.