Menjalankan Peraturan Sekaligus Menjaga Kearifan Lokal: Polemik Pembukaan Lahan dengan Membakar
Oleh Pantau GambutBulan Agustus yang lalu, penulis berkesempatan untuk melihat langsung penutupan kembali kanal-kanal di kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan dengan menggunakan media utama berupa tanah, dan kayu gelam. Pada masa orde baru, Padang Sugihan dikenal sebagai tempat bermukim dan bertaninya bagi para perantau. Belakangan kawasan tersebut mulai dikembalikan fungsinya termasuk dengan menata kembali kanal-kanal untuk menjaga pasokan air di lahan gambut sepanjang tahun.
Butuh waktu sekitar 90 menit perjalanan dengan speedboat untuk dapat sampai di lokasi. Dari tempat pemberhentian di bibir Sungai Padang yang keruh, butuh waktu jalan kaki sekitar 10 menit. Melintasi semak belukar dan padang ilalang tidak bisa dihindari.
Sesampainya disana, terlihat bongkahan bulat menyerupai bola pada permainan sepak takraw di sudut sebuah kanal. Tidak hanya satu, akan tetapi ditemukan hingga belasan biji benda yang berwarna hijau agak gelap itu. Belakangan baru tahu benda tersebut merupakan kotoran Gajah yang masih hidup bebas di alam Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan, Banyuasin, Sumatera Selatan. Mamalia dari family elephantidae dan ordo proboscidea masih bertahan berkat masih adanya beragam tumbuhan yang menjadi asupan utama mereka.
Lokasi ditemukannya kotoran Gajah berada sekira selemparan batu dari salah satu kanal yang berhasil ditimbun kembali oleh pihak Badan Restorasi Gambut (BRG).
Kanal ditimbun kembali untuk menutup akses perambah liar dan juga menjaga kawasan yang terdiri atas rawa, gambut, hutan dan rumah bagi beragam jenis hewan dari jilatan api di musim kemarau.
Maklum tahun 2015 yang lalu sekitar 63 ribu hektar kawasan ini rusak akibat terbakar. Menurut Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead, upaya yang dikenal sebagai canal backfilling ini merupakan salah satu cara menjaga tingkat kebasahan lahan gambut selain dengan metode penyiraman dan bom air.
Pemilihan opsi penimbunan kanal bukan penyekatan yang dilakukan oleh BRG disebabkan oleh lebar kanal di wilayah konservasi yang mencapai lebih dari 10 meter.
Canal backfilling ini terletak di titik koordinat S2.925524 E105.10407. Sampai disana tampak jelas penutupan kanal mampu menahan air di bagian hulunya. Dari genangan itu, air mengalir dan menembus hingga kebagian dalam tanah pada sisi kiri maupun kanan kanal. Sedangkan di bagian hilir yang mengarah ke sungai Padang tampak permukaan air tidak ada sama sekali.
Kepala badan Restorasi Gambut atau BRG, Nazir Foead menjelaskan proses penutupan kembali sudah berlangsung sejak 2017 namun demikian hasilnya bisa dirasakan setiap musim kemarau. Lahan di sekitar kanal kata dia tetap lembab bahkan ada beberapa diantaranya yang masih digenangi air sama sekali. Itu artinya kata Nazir, penutupan kanal berhasil menjaga ketinggian permukaan air di lahan rawa dan gambut. Padahal di kawasan tersebut sudah hampir sebulan ini tidak turun hujan. Kondisi tersebut sangat rentan terbakar.
Di dalam Suaka Margasatwa, setidaknya sudah ada 12 titik penutupan kembali kanal-kanal. Selain penutupan kanal, BRG juga melakukan pembuatan sumur bor pada wilayah-wilayah yang sulit dijangkau oleh sumber air. Pembuatan sumur bor juga difungsikan untuk menyiram tanaman berupa pohon-pohon dalam rangka penghijauan di lahan bekas terbakar. Dengan kondisi kemarau saat ini, pohon pohon itu masih tampak hijau, segar dan mulai ditumbuhi tunas pada beberapa bagian batangnya.
Penutupan kanal menurut Nazir terbukti dapat menjaga tingkat kebasahan lahan. Sehingga meskipun sudah hampir sebulan ini tidak ada hujan, kawasan tersebut tetap basah. Dari hasil analisis overlay hotspot dari bulan Januari - September 2019 dengan lokasi penimbunan kanal, dapat dilihat bahwa disekitar lokasi penimbunan hanya ada 1 hotspot yang muncul.
SM Padang Sugihan juga dikenal dengan banyaknya kawanan gajah yang masih hidup bebas disana. Berdasarkan data yang diperoleh dari pengelola Pusat Pelatihan Gajah, SM Padang Sugihan, saat ini terdapat sekitar 38 gajah jinak yang berada di sana sedangkan 50-60 ekor lainnya merupakan gajah liar. Mereka terdiri atas gajah jantan dan betina dewasa, anak-anak dan bahkan ada gajah dalam keadaan hamil besar. Bila berkaca pada kejadian tahun 2015 silam, maka tahun ini gajah disana juga sedang terancam oleh kebakaran lahan dan hutan.
Dr. Ir. Muh. Bambang Prayitno, M.Agr.Sc. dosen pada fakultas pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) mengenal sebagian besar kawasan SM. Padang Sugihan. Sejak awal tahun 1990 an, dia pernah datang ke lokasi untuk tujuan penelitian dan keperluan lainnya. Terakhir katanya pada tahun 2017 dia datang ke seputar Padang Sugihan untuk melihat dampak kebakaran dua tahun sebelumnya dan memikirkan langkah yang harus diambil pemerintah untuk menyelamatkan ekosistem gambut.
Diceritakan oleh Bambang, Kawasan SM. Padang Sugihan di awal tahun 1980 dibuka oleh pemerintah untuk dijadikan kawasan transmigran. Pembuatan kanal-kanal dimaksudkan untuk mengeringkan lahan agar bisa dijadikan tempat bercocok tanam dan pemukiman. Sayangnya langkah tersebut tanpa kajian mendalam sehingga berdampak merusak ekosistem gambut. Kawasan di sekitar kanal menjadi kering, alhasil pada musim kemarau sangat rawan terbakar. Pembukaan kanal juga mempermudah akses bagi perambah.
“Harusnya dulu itu pemerintah pikirkan juga vegetasi dan suplai makanan satwa yang menjadi penghuni disana. Seharusnya ditutup cepat-cepat dan ternyata tidak sehingga semua orang bisa masuk,” kata Bambang.
“Sekarang kayu Gelam saja sudah habis apalagi untuk jenis-jenis kayu yang berkelas. Gambut juga hampir habis tinggal di beberapa spot tertentu,” imbuhnya. Untuk itulah dia sangat mendukung langkah penimbunan kembali kanal-kanal yang ada di daerah SM. Padang Sugihan. Menurutnya dengan penimbunan kembali maka air tidak akan lari ke sungai saleh, sungai padang maupun sungai sugihan. Selain itu dengan penimbunan kembali itu maka permukaan air akan tetap tinggi sehingga bisa membasahi areal di sekitar kanal. Setelah berhasil menjaga kebasahan lahan, langkah berikutnya adalah dengan me-revegetasi kawasan.
Dari berbagai penelitian dan juga kajian tentang ekosistem gambut, Bambang Prayitno merekomendasikan agar sedapat mungkin mempertahankan fungsi primary forest maupun secondary forest dimanapun itu termasuk di Sumsel. Sedangkan untuk kawasan terlanjur rusak dia meminta untuk secepatnya melakukan peningkatan fungsi dari sebelumnya serta melakukan perbaikan perbaikan lahan disekitar hutan gambut dengan metode: Rewetting atau pembasahan kembali, revegetation atau penanaman kembali serta peningkatan kesejahteraan atau revitalization. “Petani dibina dengan cara diantaranya menanam kayu gelam agar ekonomi mereka bisa meningkat.”
Onesimus Patiung, Kepala sub kelompok kerja Sumatera Selatan, menjelaskan BRG telah melakukan kajian mendalam sebelum melakukan penimbunan kanal. Hal itu disebabkan banyak faktor lainnya yang menjadi pertimbangan sebelum melakukan penutupan. Di beberapa tempat misalnya, upaya untuk menjaga ekosistem gambut pernah ditentang oleh masyarakat. Bahkan ada beberapa kasus, penutupan dirusak oleh warga lantaran sawah mereka menjadi kering akibat laju air tertahan.
Penimbunan sendiri sudah berlangsung sejak awal tahun 2017 sebanyak 10 titik, tahun 2018 sebanyak 18 titik dan tahun ini direncanakan sebanyak 9 titik. “Penimbunan dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi ekosistem Gambut di SM. Padang Sugihan ,” kata Onesimus.
Acuan pelaksanaan restorasi mengacu pada wilayah-wilayah yang terbakar pada tahun 2015. Hingga saat ini sudah tercatat sekitar 47 ribu hektar gambut sudah terdampak langsung oleh penutupan kanal. Berdasarkan sejarahnya, pembuatan kanal dimaksudkan untuk mengeringkan lahan gambut. Sebagai akibatnya pada pada musim kemarau kawasan menjadi sangat rawan terbakar. “Kalau gambut kembali terbasahi harapannya kondisi ekosistem gambut akan kembali terpulihkan dan kondisinya mendekati kondisi awal sebelum kanal tersebut dibangun,” imbuhnya.